Senin, 04 Juni 2012

LA TAHZAN

LA TAHZAN
(Tiada Kesedihan Jiwa)

    12 Januari 2005. Inilah perasaan Dina. Perasaan yang tertutupi, perasaan yang  sulit kumengerti. Perasaan Cinta yang tak kuketahui. Kesedihannya tak kuketahui. Air mata yang tumpah di kamarnya tak kulihat bekasnya.
“Ya Allah, mengapa aku terlambat mengetahui perasaannya…?”
Aku tahu kabar Dina Larasati dari Mas Agus. Aku sangat kaget. Lebih terkejut lagi saat tahu kalau Dina ada saat itu sedang ada di Jakarta. Mas Agus, dimana ibunya[1] jualan satu blok dengan Mama. Mas Agus memberi informasi tentang Dina. Dari informasinya, kutahu ternyata Dina sangat cinta padaku. Perasaan yang lama tertutupi, perasaan Cinta yang lama tak terungkap.
Kereta bernafas lepas, di St Gombong hari Sabtu. Jam menunjukan pukul 06.15. Suhu udara sangat bersahaja, hembus udara, arahnya kurasai bertiup menuju utara, Setidaknya lambai pohon pisang dipojok rumah menggibas-gibaskan daunnya mengingatkanku pada pertunjukan pasar malam yang sering membuat poon pisang itu tak bisa tumbuh sempurna apalagi menanati hinga berbuah. Awan Sirus yang memayungi waduk Sempor seperti bulu ayam yang menyebar dan terlihat mengkilat. Meski rasa ini kurasa sangat pekat. Sosialitas di tingkat Negara kita diramaikan dengan isu RUU APP. Antara yang mendukung dan menolak. Euphoria kebebasan pers melahirkan kekuatan massive.  Para penggiat Moral, dipaksa memahami apa artinya kebebasan berekspresi. Menolak HAM dianggap melanggar HAM, membiarkannya memiliki kost sangat mahal yaitu tentang Narasi Dekadensi Moral yang tak pernah dipikirkan oleh mereka para pengusung kebebasan. Mereka cenderung membebaskan dan menyerahkan seluruh persoalan pada masing-masing individu
Jalur lintas selatan depan rumahku terlihat biasa. Tak ada yang istimewa. Hanya suara kendaraan  menderu. Bagiku jalan depan rumah ibarat sungai dengan arus derasnya.
Im pethuk Mama…![2] Seru bapak dari samping. “Iya Pak…!! Dengan “motor” bapakku, ku meluncur menuju Pasar Wanakriya. Sampai disana, Mama masih sibuk dengan dagangannya. Antar-jemput mama adalah tradisi lama artinya itu adalah kebiasaanku  antar jemput mama ke Pasar. Suatu kebetulan aku bertemu Mas Agus sore itu. Ia sedang merapikan daganganya. Dari pertemuan dengan Mas Agus itu aku jadi tahu kondisi Dina. Selain usaha bengkel, Mas Agus tinggal di pertokoan kecil belakang Pasar Wanakriya, dekat rumah Dina.
Mas Imam  kemana aja…? Itu kalimat pertama yang kudengar dari Mas Agus saat ketemu dengan Mas Agus. Ia masih dengan sepeda jengki kesayangannya. Meski sebenarnya ia bisa membeli motor, Mas Agus tak pernah mau punya motor
“Sungguh teganya dirimu teganya, teganya. teganya…..!” Mas Agus menyanyikan lagunya “Meggy Z.” . Ia mengajakkku bicara sambil bercanda (baca nyanyi lagu dangdut). Sesekali terdengar tawanya terpenggal.
“Kenapa ngga pernah main lagi…!? Pertanyaan yang bagus, dan akupun balik bertanya pada Mas Agus. “Emang Dina masih ngarepin aku Mas…?
“Ko Mas Imam ngomonge gitu…?”
“Bagaimana aku harus menjawab semua pertanyaan Jiwa ini? Aku orang yang terbatas. Aku manusia fisik yang hidup dalam batas-batas fisik. Dalam perasaan dan kesedihan yang tersimpan dibalik ruang yang jauh sebagaimana dirimu, aku tak mampu membacanya. Sebab  aku manusia biasa.
 “Ia ngga pernah balas suratku…Mas…!”
 “Itu kan sama artinya aku tidak perlu ke rumahnya. Aku ngga perlu lagi ketemu dia..!?”
“Astaghfirulahal adhiiiiim, Ya ngga gitu Mas. Dina nungguin Mas Imam setahun lebih. Dina sangat berduka. Padahal itu bukan sifat Dina banget. Tidak biasanya ia seperti itu.”
Tak ada omongan, tak ada kabar tak ada surat. Mas Agus heran dengan sikapku. Diam dan tak pernah mau main ke rumah. Sikap diam itu yang sungguh sangat menyiksa perasaannya. Dina sangat bingung dan tidak mengerti. Sangat tidak mengerti. Dan aku juga mengalami hal yang sama…!
“Mas Imam tidak pernah main ke rumah jika ada masalah. Diam, tak ada sedikitpun usaha atau niat untuk menanyakan atau mengkonfirmasi langsung. Diam, disimpan” Itu pernyataan Dina yang kutahu dari Mas Agus”
“Dina dimana Mas…?
“Di Jakarta…!”
“Di Jakarta….? Aku kaget.
“Sejak kapan Dina di Jakarta? Aku sesungguhnya sudah tahu dari Mama, Cuma aku ingin memastikan saja.
“Sudah Lama Mas…!”
“Mas Imam ini gimana Sich…?!” Aku kaget mendengar pernyataan Mas Agus itu. Mas Agus ikut kecewa denganku sebab mengaku cinta tapi mengapa wanita yang katanya sangat dicinta itu, yang dulu tiap hari main kerumahnya, yang sangat dekat, sering bercanda di rumahnya. Mengapa Mas Imam tidak tahu kabar tentang Dina…?
“Kamu gimana tohh Im,….!!”
“Aku benar-benar tidak tahu Mas…!”
Dalam hati aku berdoa pada Tuhan. Ya Allah, Wahai Engkau Penguasa Jiwa Manusia.  Maafkan hambamu Ini…! Cemburu telah mematikanku. Aku mengikuti cemburu daripada akal sehat. Mengapa aku begitu bodoh….! Aku baru tahu ternyata ada Cinta di hatinya. Ternyata semua penilaianku salah.” Aku termangu mendengar perkataan Mas Agus. Dan tiba-tiba satu hal yang sangat kurasai kembali hadir dalam ingatanku. Dan mengakhiri lamunanku bersamaan dengan tepukan tangan Mas Agus di pundakku.
“Pengajian Aneh.!” 
“Apa benar Dina ikut pengajian aneh Mas…..? Aku bertanya disertai rasa bersalah.”
“Dina ikut pengajian apa Mas….! Aku ingin tahu lebih dalam apa yang dimaksudnya  dengan “pengajian aneh”  itu. Aku  sangat sensitive  jika mendengar pengajian aneh sebab aku pernah ada disana. “Jangan-jangan sama dengan jenis pengajian Negara Kesembilan yang lagi ramai.
“Iya dulu sempet rame di desa. Dulu bapak pernah nyari-nyari di Jakarta. Dua bulan tak ada kabar…?!”
“Masya Allah, sejauh apa ia terlibat di Negara Kesembilan…?”
Sesungguhnya aku ingin ketawa sendiri. Aku pikir Negara Sembilan hanya aku yang mengalaminya. Aku pikir hal-hal semacam ini tidak akan menimpa orang lain.. Ternyata hal ini terjadi pada Dina. Subhanallah..!! Luar biasa gerakan ini. Ternyat mereka bergerak di semua lini dan lapis sosial dari tukang ojeg sampai Mahasiswa.
“Darimana Ma Agus Tahu..??” Aku meminta penjelasannya.
“Kemaren Dina sempat pulang, badanya tinggal kulit dan tulang. Wajahnya pucat. Matanya cekung. Ibunya sampai menangis saat melihat Dina pasa dulu pernah pulang. Tapi kemudian Dina kembali di Jakarta dan kabarnya sih sampai sekarang hilang lagi…! Tapi katanya bukan karena pengajian itu. Ia tinggal bersama teman-temannya?
“Aku sangat bodoh. Aku orang bodoh dan egois…..!” Kumaki diriku sendiri.
Hari itu, jalan depan rumah Dina adalah saksi tentang Cinta yang bersemi. Rumah mungil. Sederhana. Rumah yang ditempati oleh seorang wanita yang sangat istimewa. Wanita yang memancar dari matanya Indahnya Surga. Sejuk udara waduk sempor pun masih meniupkan hawa asmara. Saat itu Aku tahu Dina tidak ada di rumah. Dina  ada di Jakarta.
TOLONG CERITAKAN SEMUA TENTANG DINA MAS… AKU INGIN TAHU PERASAANNYA PADAKU……..!
Ini kisah tentang Dina yang dituturkan mas Agus. Kisah tentang perasaan Dina yang sesungguhnya. Ketika Cinta diam dan tak mau berbicara.
Saat beliau bicara, kulihat ada keseriusan terpancar lewat mimik wajahnya.
Suara mas Agus kalah oleh suara kendaraan yang menderu, Dan aku minta Mas Agus mengulang kembali apa yang baru saja dikatakannya. Aku perhatikan dan percaya apa yang dikatakannya.. Mas Agus cerita tentang kesedihan Dina karena aku yang lama tanpa kabar berita.
Aku memang tidak bertemu dengannya. Kini dia ada di Jakarta. Tapi sungguh Aku sangat gelisah.
 “Saat Mas Imam tak pernah ada kabar…? Mas Agus pertama-tama memberitahuku soal kondisi terakhir Dina yang sakit. Sebuah kalimat awal yang menandai dirinya mulai menjelaskan kabar Dina secara lebih luas. Itu yang ditunggu-tunggu. Sebenarnya Mas Agus sangat geram dengan kelakuanku.
“Kalau Mas Imam mencintai Dina mengapa tidak langsung menemuinya.”  Kata Mas Agus. Kata-kata itu menohok. Aku penakut yang tak sanggup melihat kenyataan. Menutup mata dengan kenyataan yang ada. Menilai salah orang lain tanpa terlebih dulu dibuktikan. Men-judge orang. Benar suratku memang tak sampai di tangannya tapi bukankah aku bisa bertanya langsung pada Dina tentang kenapa surat itu tak sampai ke tangannya. Hal ini tak kulakukan. Aku tidak pernah mengkonfirmasi berita-berita miring tentangnya. Aku telan bulat-bulat semua berita negatif tentangnya.
Aku diam seribu bahasa. Ngambek. Aku tergagap dengan pertanyaan Mas Agus tentang aku yang tak langsung menemui Dina. Saat kucoba memberikan jawaban. Mas Agus keburu dengan ceritanya. “Tapi biarlah….! Mas Agus berusaha cuek. Mas Aguspun bercerita. “Mudah-mudahan cerita ini juga memberikan kebaikan buat Mas Imam dan juga Dina sebab bagi Mas Agus, Imam dan Dina adalah kawan, tetangga yang baik. Anak yang baik yang telah lama menjadi temannya. Terlebih jika bisa bersatu. Saya sejak dulu berharap Mas Imam dan Dina bisa terus langgeng…!” Aku mengangguk dan mengamini doanya. Sebab itu juga yang kuharapkan.
Inilah salah satu sumber penting penulisan kisah ini. Pembicaraanku dengan Mas Agus. Adalah referensi penting dalam menyusun kisah ini menjadi lebih mendalam (tidak sempurna) .
Mas Agus mulai bercerita. Wajahnya terlihat serius. Aku meyakini dengan sepenuh jiwa. Aku mengenalnya, maka tentu benar apa yang disampaikannya..
“Ia terserang penyakit tipes. Hingga badannya sangat kuru’, Tentang Dina yang kuru’ , aku pernah melihatnya secara langsung dari jalan “De Potter”[3] saat aku naik motor mengantar dagangan mama ke pasar, aku melihatnya. Aku Ia bermuram durja. Tak ada cahaya di wajahnya.
Di Dina sempat tersenyum padaku memanggil tapi aku malah mengabaikannya. Tapi aku tak berhenti. Aku telah melakukan dosa dan menyakiti perasaannya. Aku tidak meresponnya. Masya Allah. Sungguh aku merasa sangat berdosa.
 Memaksa diri menjauhinya, aku tak kuasa. Aku terlanjur melayangkan suratku yang ketiga. Surat yang tak mungkin ditarik kembali. Aku telah memutuskan hubungan cinta dan harus siap dengan segala resikonya.
Terlampau dini menilai Dina. Terlampau cepat menganggapnya tak setia. Aku mudah cemburu. “Dina Menolak Cintaku….!”. Itu Kesimpulanku. Kesimpulan yang didasarkan pada penglihatan pada fakta-fakta yang membuatku cemburuku, seperti: 1. Dina meninggalkanku saat di rumahnya jumat itu, 2. Dina kulihat mesra dan lebih memperhatikan laki-laki yang datang hari itu. 3. Kenyataan surat Cinta yang terkirim untuknya tak pernah dijawab.
           Itulah alas an mengapa aku diam selama ini.  Aku tak pernah mengklarifikasi atau meluruskan berita tentang Dina. Aku telan bulat-bulat informasi tentang diri.  Aku terlanjur cemburu. Dina pun telah sangat kecewa. Kami menjadi tiada pernah menyapa. Kami sama-sama diam. Saling membuang muka. Tak mau tahu alias cuek bebek[4]. Dinding permusuhan seolah terbangun begitu tingginya.
Mas Agus serius……? Aku sempat ragu. Tepatnya sich bukan ragu tetapi sedang memastikan apa yang dikatakannya adalah benar. Aku juga memandang wajah Mas Agus untuk memastikan kejujurannya. Aku sangat memahami bagaimana sikap dan karakter mas Agus. 
“Kamu ngga percaya….? Aku tetangga Dina, jadi aku  tahu betul apa yang  terjadi sama dia. Aku sangat tahu Dina…!.” Aku pernah melihatnya menangis di kamarnya.
Aku terdiam saat Mas Agus  cerita tentang Dina yang pernah menangis di Kamarnya. Aku seperti sedang dihipnotis yang melambungkan pikiran dan khayalanku pada satu sosok yang lama tak kulihat.
“Dina menangis…..?
“Aku ini tetangganya. Dan Aku sering main dan ngobrol dengan keluarganya. Kamu tahu kan….?”
 “Aku percaya Mas. Tapi Benarkah ia menangis?”


Mas Agus Bercerita
Beberapa bulan setelah tak ada kabar dari Mas Imam.  Hari-hari itu bagi Dina adalah derita. Semua terasa sangat hampa. Ia mengatakan padaku tak bisa berbuat apa-apa gara-gara Cinta yang tidak jelas itu.
Suatu hari aku pernah berbicara dengannya. Hari minggu pagi. Matahari belum penuh bercahaya. Aku memompa sepeda yang sering kupakai untuk bekerja di Pabrik Asbes. Rambutnya terlihat berantakan, wajahnya nyaris tanpa cahaya. Dia sedang sangat murung. Situasi seperti itu tidak sekali dua kali aku saksikan. Aku sering melihatnya.
Hari itu tampak sangat berbeda. Ia sedang berduka. Aku  main ke rumahnya. Aku melihatnya menitikkan air mata. Mamanya berusaha menguatkan meski ia sendiri juga merasa sangat sedih. Bu Toto adalah  ibu yang sangat sabar.
 “Surga adalah tujuan yang hendak dituju setiap insane, sebab disana terkandung cita-cita yang menjadikan manusia bergairah, disana terkandung tujuan yang menjadikan manusia bergerak, mengerahkan pikiran dan tenaga. Mas Imam pernah cerita padaku tentang surga dan apa-apa yang ada di dalamnya itu.”
Aku ingin surga itu..!. Bukan Neraka. Kini aku seperti ada di nereka…!? Dina mengutarakan perasaannya.
Menurut Mas Agus apa maksud Mas Imam selama ini.. “Sudahlah Dina…..! Aku jadi ikut sedih….! Menurut Mas Agus, kenapa Mas Imam seperti ini sama aku…?”
Saat itu aku ngga bisa ngasih jawaban apa-apa pada Dina. Aku Cuma katakan pada Dina, bahwa Mas Imam yang kukenal yang orang yang baik dan bertanggungjawab. Sejak pertama ia ada di Gombong ini. Aku tahu ayahnya. Aku kenal ibunya. Aku tahu latar belakang keluarga, meski tidak lahir di Gombong. Tapi Aku sudah cukup tahu banyak tentang latar belakang mereka. Imam yang kutahu adalah orang yang sangat baik. Dia juga laki-laki yang bertanggungjawab. Dia orang yang tahu agama.
“Aku digantung Mass…..!”
Aku menungguinya Mas. Tapi kenapa ia ga pernah datang. Kenapa ia ga ada kabar. Kenapa Mas.! Aku bingung. Aku ngga ngerti…?
Saat itu aku lihat Dina  menangis. Ia terus bertanya tentang keseriusan laki-laki yang pernah dikenalnya padaku.
Akupun terus berusaha membesarkan hatinya.  
“Koq mas Im tega banget sama aku. Dulu aku mengenalnya sebagai seorang kakak dan juga teman yang sangat baik, sangat perhatian, selalu mengerti perasaan Dina. Tapi kini jauh dari apa yang kukenal. Untuk sekedar main ke rumah ini pun dia sudah tidak sudi. Dia kaya dulu lagi Mass. Mas Imam mengulangi kebiasaan buruknya[5].  Ia seperti dulu lagi. Abai padaku dan tak pernah mau mengerti perasaanku….! Aku dulu sudah memaafkan sikapnya dulu, tapi mengapa hari ini kejadian itu kembali diulanginya….! Kenapa? Dina masih menagis. Ia sangat kecewa.
Dulu ia curiga saat aku ikut festival di Vanderwijk. Kini ia juga diam, tak ada penjelasan.  Aku sangat kecewa dengan dia Mas. Aku benci dia. Memang seperti itu ya lelaki. Tidak punya perasaan….!. Mas Imam Egois…….!. .
Untuk yang kesekian kalinya, aku hanya memintanya tetap sabar….!!!
            “Lebaran kemaren dia tidak datang Mas. Aku ga ngerti apa maksudnya. Sungguh Aku sangat tidak mengerti apa maunya. Aku sudah sangat senang karena yang kutahu Mas Im akan datang.Ternyat Tidak…!!!. Mas Im lewat depan Rumah dengan motor waktu itu. Aku liat dia Mas….! “Mas Imam ngliat aku dan aku liat Dia tapi Mas Imam malah buang muka dan berlalu begitu saja.”
Dina kembali menangis terisak dan menutup wajahnya dengan Bantal.
Sejak itu, aku berjanji untuk tidak mau mempedulikan Mas Imam. “Aku tidak mau menemuinya….!!”.
Dina mengancam. Aku hanya bisa mendesah, iba melihat kondisi Dina Larasati. Dina sangat menderita, aku sangat paham Dina. Aku sangat mengerti perasaannya.

Saat Jam menunjuk pukul 5 sore, Mas Agus menghentikan ceritanya. Perasaanku telah luluh lantak. Tubuhku serasa tak bertulang.
Itulah kisah yang sebenarnya tentang Dina Larasati….!!

Mas Agus mengakhiri ceritanya. Dan benar bahwa saat ini Dina sedang ada di Jakarta..!
“Trimakasih atas ceritanya…”
 Bagiku ini kisah pilu yang membuatku masih bisa tersenyum manis, meski aku tak bisa merasai manisnya. Karena merasa berdosa lebih tepat dibandingkan kenikmatan berita tentang dirinya yang masih mencintaiku. Aku seperti pendosa dan akan terus menjadi pendosa yang melukai perasaan wanita. Ini kisah yang sangat menyesakkan dada. Aku hampir tak kuasa. Aku akan ke Jakarta dan menemuinya. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Seusai aku dengar cerita dari Mas Agus, akupun berpamitan, dengan sesak dada……!
“Seandainya Suratku sampai di tangannya……!



[1] Kini ibunya sudah tak berjualan lagi, warung di belakang pasar pun tak dibuka. Hanya dijadikan tempat tinggal Mas Agus dan Ibunya. Mba Eny, yang kini karyawan Bank Swasta di Jakarta tiap bulan mengirim uang, Suami, Mas Harits adalah PNS di Departemen Pendidikan yang Sukses.
[2] Artinya, Im Jemput Mama Jam Empat…!
[3] Nama gaul SMA Semanding De’Potter (DEPOTER), adalah kependekan dari Dekat Potongan Ternak.
[4] Cuek Bebek, sikap tak mau peduli sebagaimana bebek yang menyeberang jalan tak pernah mau peduli dengan orang berkendara.
[5] Dulu maksudnya adalah saat di Pondok Kopi, saat aku sedang dalam pengaruh Negara Kesembilan.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini