Minggu, 15 Januari 2012

ROMANTISME PEMBELAJARAN

ROMANTISME PEMBELAJARAN

Oleh: Arif Budiman[1]

Salam Guru Indonesia, selamat bertugas dan berkhidmat pada komitmen pedagogik yaitu komitmen pada dunia pembelajaran. Komitmen ini adalah bagian dari amanah kita yang harus kita jalankan dengan penuh keikhlasan dan tanggungjawab. Kita tetap semangat dan sangat bahagia dengan tugas pedagogik kita sebab generasi-generasi yang diamanahkan yang setiap hari kita temui di kelas adalah calon pemimpin dan aktor perubahan. Kesanalah sesungguhnya tujuan utama hendak diraih, yaitu terciptanya pemimpin dan generasi yang mampu mengemban amanah peradaban.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dua sisi pisau yang tajam keatas dan tajam kebawah. Sisi positifnya patut diapresiasi sebagai karya peradaban yang sangat bermanfaat. Sisi negatif, adanya ibarat gelombang yang menghentak dan menggerus pondasi kebudayaan kita. Serbuan pemikiran dalam berbagai format dan tampilan telah menyeret anak kita pada sikap hedonistik, pesimistik dan lebih mengkhawatirkan adalah tumbuhnya sikap anti moral dan bahkan anti agama. Nilai luhur yang kita pegang sedang ditantang. Pembelajaran yang sajikan menjadi tiada bermakna dan kehilangan esensinya

Kerinduan kita akan pembelajaran di masa lalu seperti lagu nostalgi yang selalu asyik kita dengar bahkan kita dendangkan. Untaian syair dalam lagu itu setidaknya terucapkan tentang Anak-anak dulu belajar. Dulu kita pernah belajar penuh khidmat dan perhatian pada guru. Rasa hormat anak terhadap gurunya sangat kuat tertanam. Setidaknya ungkapan ini keluar dari seorang kawan yang kini menjadi kepala Sekolah di Sekolah ternama di Sukabumi. Ia pernah bercerita tentang rasa senangnya karena dapat membawakan tas guru atau membantu menuntun sepeda guru untuk diparkirkan. Itu sepenggal romantisme kecil pembelajaran yang menggambarkan bagaimana hubungan antara guru dan murid di masa yang telah lalu.

Lebih jauh ia mengatakan sikap semacam ini nyaris tiada (untuk tidak mengatakan hilang). Rasa hormat murid pada gurunga kini menjadi harga atau barang langka yang jarang ditemui dalam kelas pembelajaran kita. Loh sekarang kan zaman sudah beda pak. Sekarang era baru sistem pendidikan. Makanya nyaris tak ada tradisi-tradisi itu. Guru diperlakukan tak ada bedanya dengan seorang pembantu atau pesuruh yang hanya penjadi teman yang mengawasi anak-anak seorang majikan yang sibuk karena bisnisnya yang membuatnya tak sempat mengurus anaknya.

Metode termodern itu mensyaratkan anak sebagai pusat pembelajaran (student oriented) sehingga anak harus diberi kebebasan dalam mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kemampuan dan potensinya tanpa harus ada pengekangan. Di lapangan penerapan metode ini diterjemahkan anak bebas berbuat semau sendiri tak peduli dengan nilai keadaban kita. Guru hanya diperankan sebagai fasilitator (baca: pelayan bagi keperluan-keperluan murid). Metode modern secara frontal berhadapan langsung dengan model pembelajaran konvensional yang katanya mengkebiri kreatifitas. Sehingga tanpa basa-basi menuduh metode konvensional sebagai biang ketertinggalan kemajuan pendidikan.

Metode Modern mengandaikan anak atau pesrta didik untuk mengembangkan ide dan nilainya sendiri atau menemukan nilainya sendiri. Itulah asumsi yang coba selalu dikembangkan dan dikampanyekan dengan paket-paket kurikulum yang dibanggakan zaman (baca: mentri baru). Sehingga wajar jika kurikulum kita sering berubah. Tak peduli bagaimana dampaknya bagi tujuan utama pembelajaran dan budaya sendiri.

KTSP lah, KBK lah atau apapun namanya adalah nama-nama kurikulum baru yang terlampau sibuk dengan hal hal administratif tapi lupa dengan moralitas dan generasi itu sendiri. Paradigma dan aneka pemikran tentang pendidikan ini terus datang dengan paket-paket baru yang seringkali kita tidak sadar bahwa di dalamnya ada agenda besar yang berusaha menggeser identitas bangsa sendiri dan nilai luhur kebangsaan. Payahnya seringkali kita justru menjadi jurkam atas ide-ide itu dan bangga dengan pemikiran itu yang sebetulnya menggerus ide dasar filsafat bangsa sendiri.

Wajarlah jika muncul atau lahir Romantisisme untuk sedikit menengok pembelajaran Tradisional kita yang dinilai kaku dan konvesnsional tapi mampu dan terbukti kokoh melahirkan manusia-manusia yang berbudi pekerti dan bertanggung jawab. Merespon perubahan bukan berarti menceburkan diri hingga basah kuyup tanpa bisa mengenali diri sendiri dan asyik dengan kebasahan itu sendiri tanpa mampu bagkit kembali dan kemudian terhina dengan konsep baru dari barat.

Semua yang datang dari barat selalu diidentikan sengan hal yang superior, selalu terbaik dan harus dicontoh. Padahal akar budayanya berbeda sehingga tidak tepat jika kemudian kita hanya mengambil ide baru itu tanpa melihat eksistensi budaya sendiri yang semestinya jadi fundamennnya. Mudah-mudahan bukan sekedar Romantisisme sebab menjiplak romantisisme begitu saja juga akan terkesan memaksakan nilai lama.

Pada azasnya bagaimana nilai yang sifatnya universal dan melampaui zaman itu dapat tetap bertahan. Contoh nilai moral, etika, dll tidak mungkin akan berubah. Soal tampilan luar atau terjemah terhadap nilai itu supaya bisa diaktualisasikan tentu sangat terbuka untuk adanya bentuk-bentuk baru. Namun tetap ada nilai yang abadi. Nilai yang dihargai, nilai yang diterima semua. Nilai yang kita harapkan ada dan tumbuh dalam diri anak-anak kita.

Semoga usaha dan kerja pedagogik kita mampu mewujudkan cita-cita untuk terwujudnya anak dan generasi yang kita idealkan. Generasi yang dewasa dari segala sisi baik intelektualitas maupun moralitasnya. Salam Guru Indonesia, Tetap Semangat…!!



[1] Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Tinggal di Marunda telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id

Sabtu, 14 Januari 2012

BELAJAR DARI REFORMASI ‘98

BELAJAR DARI REFORMASI ‘98

Oleh Arif Budiman[1]

Melihat dan menyaksikan aksi Ribuan Demonstran memadati depan gedung Parlemen DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/1), untuk menuntut hak atas tanah mereka yang dirampas oleh Pemerintah, DPR, Korporasi dengan UU yang merugikan rakyat berakhir ricuh, akibat luapan amarah massa hingga pagar tembok rubuh dengan demikian DPR/MPR Dua fenomena tersebut diatas mengingatkan kita tentang reformasi 1998 yaitu saat bangsa Indonesia mengadakan demo besar-besaran menuntut presiden Soeharto turun dari jabatannya. Semestinya pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan SBY menjadikan beberapa tuntutan dan aksi demonstrasi beberapa hari yang lalu sebagai pelajaran berharga karena kita pernah mengalami hal yang sama di tahun 1998.

Itulah alasan mengapa peristiwa Mesir dan Yaman menjadi penting sebab kejatuhan rezim melalui aksi masa telah menjadi trend yang ampuh untuk menumbangkan kekuasaan dictator di satu negara. Kasus Mesir dan Negara-negara timur tengah lainnya membuktikan bagaimana pelajaran itu sangat nyata. Meski dengan menelan korban baik material ataupun korban manusia yang tidak sedikit. Dengan kata lain mundurnya Husni Mubarak dari kekuasaannya adalah harga mati bagi masyarakat Mesir yang sudah lama merindukan perubahan. Di Indonesia, peristiwa 98 mengajarkan betapa demo besar itu sangat nyata kontribusinya untuk perubahan bangsa Indonesia.

Sudah semestinya bangsa Indonesia belajar dari peristiwa 98. Tentang bagaimana pemerintah tetap berwibawa di hadapan rakyatnya. Tentang pemerintah yang harus lebih berpihak pada rakyat. Hari ini disetiap tempat dan Negara manapun dapat mengalami hal yang sama sebagaimana Reformasi 98 di Negara kita ataupun Revolusi Mesir selama syarat dan kondisi yang ada memungkinkan untuk terjadi. Tema demokrasi demokrasi menjadi alat yang ampuh dalam demo-demo itu setidaknya ditandai oleh pemerintah yang bersih dan tidak korupsi. Reformasi 98 mengusung agenda reformasi yang didalamnya juga mengusung tema anti korupsi oleh nagara, alasannya jelas korupsi adalah musuh Negara dan anti kesejahteraan rakyat. Kasus pertanahan berpusat pada penguasaan tanah oleh perusahaan pertambangan dan asing yang tidak memperhatikan hak-hak rakyat sebagai pemilik yang sebenarnya negeri ini.

Peristiwa 98 adalah keinginan yang besar rakyat Indonesia. Reformasi 98 merupakan kekuatan yang hampir tak pernah diperhitungkan oleh rezim Soeharto. Kekuatan yang terzalimi, dipinggirkan dan terabaikan. Mereka turun ke jalan menuntut perubahan. Kasus mesir, diakui pengamat tanpa unsure kesengajaan dalam arti spontanitas rakyat Mesir untuk demo ke Pemerintah. Mereka adalah para demonstran yang resah dengan kondisi bangsa yang korup dan jauh dari cita-cita Negara..

Belajar dari peristiwa 98, kita tahu bagaimana pemerintah harus membayar harga yang sangat mahal atas akibat yang ditimbulkannya itu. Tapi ini pilihan yang harus diambil meski nyawa harus menjadi taruhan. Meski harus ada mahasiswa yang turun ke jalan meninggalkan bangku kuliah. Masih ingat dalam ingatan kita bagaimana malam mencekan mendera Jakarta. Kerusuhan dan penjarahan terjadi dimana-mana dari Bekasi hingga Jakarta barat dan bahkan luar Jakarta. Toko-toko dibakar. Isu Muslim dan Non Muslim tercipta, pribumi dan non-pribumi mencuat dan lahir pula sentimentaslime yang sangat kuat dalam masyarakat. Daerah bergolak seperti kerusuhan Sampit dan isu kedaerahan yang lain.

Peristiwa 98, semestinya mengajarkan pada pemerintah untuk lebih tepat dalam bersikap di tengah kondisi Negara saat ini. Sebab sangat mungkin hal yang sama terjadi di Negara kita untuk yang kedua kalinya. Mungkinkah itu bias kembali terulang..?? Jawabanya tentu semua punya kemungkinan. Jika pemerintah tutup mata dengan persoalan yang ada. Bersikap diam dan tidak peduli dengan suara-suara yang berkembang di masyarakat, maka rakyat bias kembali menjalankan pernannya sebagai MPR jalanan dan menarik mandatnya sebagai presiden.

Peristiwa 98, adalah gambar yang nyata bagaimana kediktatoran bukan lagi system yang diterima zaman. Dalam kontek Negara, rakyat adalah pemimpin sesungguhnya sebuah Negara. Rakyat memiliki kekuatan atau daya control yang kekuatannya di luar dan melampau kekuatan Negara. Jika rakyat berkehendak maka sangat mungkin terwujud hal-hal yang diinginkannya yaitu merobak dan meruntuhkan kediktatoran itu dan menghancurkan kedzoliman yang dilakukan negara. Sudah semestinya pemerintah lebih mendengar dan berpihak pada rakyat. Meski pahit. Tapi pengabdian yang sebenarnya dan pelayanan sebenarnya dalam konteks negar adalah pelayanan untuk rakyat. Jika pemerintah hanya mementingkan dirinya sendiri kelompok,, takut, dan tidak tegas apalagi mengabaikan hak-hak rakyat dan lebih mementingkan perusahaan asing maka kita pun bias kembali mengalami hal serupa sebagaimanaReformasi 98 atau Revolusi Mesir dimana rakyat bergerak menuntut perubahan untuk menggulingkan kekuasaan.

Kita masih ingat bagaimana tokoh intelektual negeri ini berkumpul, bagaimana kaum agamawan dan budayawan sangat prihatin pada Negara. Terlebih saat mereka sudah ikut ke turun ke jalan, menunjukan betapa situasinya sangat memprihatinkan sebab kaum agamawan dan budayawan adalah kelompok yang dipercaya paling peka yang menjadi simbol kemurnian gerakan dan kesucian dan ketulusan tanpa kepentingan. Jika itu yang terjadi, ini adalah satu petunjuk bahwa Negara dalam kondisi yang sangat serius dan pemerintah pun juga harus serius atas keprihatinan kalangan intelektua dan agamawan itu dan bukan bersikap sebaliknya tersenyum sinis dan mencari pembenaran bahkan menggalang dukungan untuk menyelamatkan dirinya.

Prasyarat terjadi kerusuhan 98, telah sangat sempurna setidaknya itu terlihat dalam beberapa hal seperti, hokum diabaikan, pemerintah korup, Negara militeristik, pengingkaran pada semangat UUD 1945, penghianatan terhadap amanah rakyat. Pemerintah korup, karakter daerah diabaikan dan pemaksaaan terhadap kesamaan dan mengabaikan perbedaan. Wal hasil tak ada jalan lain kecuali melepaskan diri dari semua keterpurukan dan kezalimana yang bekepanjngan dan merajahi semua asepk dalam kehidupan dalam masyarakat kecuali melawan dan menuntut perubahan segera. Seperti mahasiswa turun ke jalan mengusung agenda reformasi.

Sudah semestinya kita belajar pada apa yang terjadi di Mesir dan juga belajar pada pengalaman sendiri, peristiwa 98 sebab keinginan kita bernegara adalah kesejahteraan dan kemakmuran sebesar-besarnya untuk rakyat. Saat Negara mengabaikan kesejahteraan rakyat, maka kedamaian dan ketentraman itu hanyalah sebuah mimpi kita di siang bolong. Saat para pejabat berkelimang harta bahkan menuntut “kenaikan kesejahteraan” padahal fasilitas Negara telah mencukupinya bahkan berlebih, saat itu terjadi ketimpangan yang sangat luar biasa. Kemakmuran dan anugrah bukanlah milik pribadi dan golongan. Maka mesti diperuntukkan sepenuhnya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan bersama.

Peristiwa 98, adalah peristiwa maha besar dalam perjalanan bangsa. Ia akan tetap menjadi inspirasi perubahan. Reformasi 98 bangsa Indonesia adalah wajah kita di masa lampau. Sudah semestinya kita belajar dari cermin kita sendiri Reformasi 98. Tentu agar bangsa kita bias tetap terjaga dan kokoh sebagai sebuah Negara yang berwibawa.



[1] Arif Budiman, Mahasiswa S2 Islamic Philosophy. The IC Jakarta, Pejaten. Tinggal di Marunda telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id

Selasa, 10 Januari 2012

NEGERIKU BUKAN NEGERI PARA CECUNGUK



NEGERIKU BUKAN
NEGERI PARA CECUNGUK
Oleh: Arif Budiman[1]
Inilah cerita tentang Negeriku yang tak semestinya dihuni oleh para Cecunguk. Negeri yang sedang membangun dirinya dan merapikan dirinya menjadi negeri yang baik tapi pejabatnya diisi oleh orang-orang yang perilakunya seperti cecunguk. Negeri ini sebenarnya dibangun oleh orang-orang yang punya niat suci untuk kesejahteraan rakyatnya. Sungguh mulia tujuan dan niat para pendiri negara. Dan mereka yang mengorbankan nyawanya untuk semata-mata pengorbanan. Bukan untuk mengejar jabatan atau kekuasaan dan kepentingannya pribadi. Negeri ini pada awalnya sangat Indah di mata dan sangat damai kita tinggal di dalamnya. Negeri ini memiliki potensi yang sangat luar biasa.Hati dan jiwa-jiwa bersih yang rela mengorbankan dirinya untuk sepenuhnya cita-cita bersama.
Tapi hari ini, suasana negeri ini demikian tidak mengenakan badan. Apalagi di tengah hasil pendidikan yang masih memprihatinkan. Mata pun tak betah memandang sebab tampang-tampang para cecunguk itu sangat memuakan. Dunia telah terbalik. Yang pandai disingkirkan. Yang berbudi tak diakui. Yang komit disingkirkan. Negeri in sungguh sangat memuakan. Yang bersih dibuat kotor atau disingkirkan. Ini negeri yang sangat mengerikan. Coba kalian liat cecunguk-cecunguk di depan matamu. Ia berseliweran setiap waktu. Di otaknya hanya ada satu bagaimana jabatan yang diembannya dapat menghasilkan uang. Bagaimana pekerjaan yang digelutinya hanya bisa menghasilkan uang.
Tapi mengapa Negeriku kini dihuni oleh para cecunguk. Negeri ini ingin dibalik, sang pelayan ingin jadi presiden. Sang Hamba ingin menjadi Tuhan. Di negeriku ini ada perampok yang ingin jadi guru. Si rakus yang ingin tetap berharta dan kadang menyebut dirinya sang Sufi yang tak butuh harta. Si bodoh yang tak pernah tahu batas-batas moral. Si Tolol yang tak bisa membedakan dirinya berbicara dengan siapa. Sebab di depan matanya tak ada lain kecuali uang. Ia merasa paling berkarya walau tak ada kerjaan penting yang sudah dibuatnya.
Negeriku bukan negeri para Cecunguk, bukan negeri yang dikotori oleh manusia tak punya nilai. Manusia yang tak bisa membedakan mana benar mana salah. Walau ada juga cecunguk yang tahu agama. Cecunguk yang tahu agama hanyalah sebatas pengetahuannya tentang agama yang dijadikan tameng agar dirinya tetap terlihat soleh walau sesungguhnya busuk hatinya. Cecunguk adalah orang-orang tak bisa berbuat dan menentukan sikanya sendiri. Ia selalu ngekor apa kata Bosnya yang juga cecunguk. Ia bertindak atas apa yang disampaikan Bosnya. Ia tidak bisa menentukan sikap . Ia telah mematikan hatinya. Sebab menghidupkan hati sama saja menjadikan dirinya manusia. Padahal ia ingin tetap ingin menjadi seekor cecunguk. Sepertinya ia ingin tetap mejadi cecunguk.
Negeri Kunyuk adalah Negeri yang diisi oleh orang-orang dan virus-virus menjijikan. Tak beradab. Di otakknya yang penting hanya kekuasaan. Ia berani demikian karena di atasnya di kekuasaan tertingginya ada yang melindunginya yang juga sama-sama cecunguk.
Aku tidak rela Negeri yang sebenarnya sangat Indah bermartabat, bermoral dan berperadaban ini dikuasai oleh para Cecunguk. Karena aku ingin negeri ini menjadi negeri yang sejuk bukan Kunyuk. Aku tidak rela pendidikan murni di negeri ini diisi oleh guru yang tujuannya hanya untukmencari uang. Aku tak mau ada seorang yang ingin mengganti profesinya pindah menjadi guru hanya karena melihat di bidang keguruan atau pendidikan sedang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sebab tujuannya sudah salah. Dia tidak berniat mengajar tapi sekedar mendapatkan tunjangan atau perbaikan gaji atas pekerjaannya selama ini.
Aku tidak rela negeri ini diajar oleh Cecunguk. Guru harus bersih dari semua unsur dan kepentingan itu. Lebih baik Umar Bakri, naik sepeda butut tapi jujur berbakti. Bagaimana anda bisa menjadi guru kalau anda sendiri tidak pernah menghargai seorang guru. Guru dihinakan. Diperlakukan layaknya seorang kriminal dalam satu persidangan. Martabat guru dicampakan.
Orang yang tidak bisa menghargai guru, maka selamnya ia tidak akan pernah bisa menjadi guru. Guru profesi yang mulia. Yakin bahwa anda tidak pantas menjadi guru jika tujuan anda semata karena dengan profesi itu anda akan mendapat tambahan penghasilan. Yakinlah jika itu yang jadi tujuan, maka itu hanya sekedar angan-angan.
Jangan pernah bermimpi bisa menjadi Guru di Negeri ini jika di otak anda tidak pernah terpikirkan apa artinya mendidik yang sebenarnya. Belajarlah untuk menjadi manusia, maka anda baru bisa menjadi guru sebab guru sejati bagi bangsa dan Negeri ini adalah sosok manusia bukan kunyuk-kunyuk yang tak pernah belajar menjadi manusia. Rubah diri anda dulu menjadi manusia…karena pendidikan hanya ada pada manusia, bukan kunyuk. Selamat belajar menjadi Manusia. Dan jangan sekali-sekali mengubah Negeri ini menjadi Negeri Cecunguk…!!!
Rorotan, 11 Januari 2012


[1] Arif Budiman, Aktifis Pecinta Guru Indonesia

Minggu, 08 Januari 2012

KAPITALISME KELAS

KAPITALISME KELAS

Oleh: Arif Budiman*

Prestasi pembelajaran hampir bisa dipastikan sebagaian besar berpegang pada paradigma Kognitif (Cognitif Minded). Meski jargon pembentukan moral dan akhlaq atau nilai afektif didengungkan hampir tiap hari di sesi pembelajaran kelas, kenyataannya keberhasilan tentang terbangunnya moralitas atau akhlakul karimah hampir tak pernah jadi kenyataan. Sebagaimana bunyi sebuah pepatah ”api jauh dari panggang”. Pendidikan kita tengah didera mimpi tak berkesudahan tentang cita-cita dibangunnya manusia yang sempurna, insan kamil dan seluruh idiom tentang idealitas pribadi anak manusia yang diharapkan mampu membawa perubahan.

Tentu kita semua sadar bahwa kualitas suatu generasi yaitu anak didik kita banyak ditentukan lewat proses pendidikan. Lebih kecil atau lebih spesifik, kualitas itu ditentukan dalam ruang berukuran kurang lebih 6X8 meter yaitu ruang kelas. Ruang yang menjadi tempat bagi berlangsungnya proses belajar. Dalam ruang yang kita punya andil di dalamnya itu, terkandung peran yang sangat menentukan keberhasilan atau ketercapaian sebuah tujuan pendidikan. Kita yang dimaksud tentu saja bukan hanya guru namun kita adalah orang tua, masyarakat, lingkungan dan juga pemerintah. Baik atau tidaknya pengelolaan kelas, akan sangat berpengaruh pada kualitas generasi yang dididiknya. Kenyataan menunjukkan hal yang sangat memprihatinkan. Ketaatan murid pada guru, rasa hormat sampai pada perhatian siswa pada pembelajaran menjadi pemandangan yang jarang kita temukan. Yang ada kelas kita dihiasi dengan anak yang suka membantah perintah guru dengan ulah-ulah atau perilaku keonaran. Kewibawaan dan kehormatan kelas kita telah hilang. Item-item berupa nilai moralitas, ahlaq dan budi pekerti yang dulu pernah ada dalam kelas kita, kini telah menipis bahkan tiada.

Tidak usah menutup-nutupi semua fenomena (baca: kenyataan) yang terjadi dalam kelas pembelajaran. Guru menjadi tiada dihargai dan tiada pula berharga. Ia tidak lagi menjadi sosok yang digugu (dipercaya) dan ditiru (diikuti). Kata-kata kita (guru) akan didengar dengan dua kemungkinan, pertama kita berlaku sebagai penguasa otoriter alias berlaku represif . Pendekatan represif ini sedang sangat gencar ditentang oleh mereka para pengusung ide menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran. Sehingga siswa bebas menjadikan dirinya seorang pembelajar.

Atau dengan kemungkinan kedua yaitu guru memerankan dirinya sebagai seorang entertain (baca: badut, orator, aktor). Menurut saya tanpa harus otoriter dan berperan sebagai badut, kelas kitapun bisa berwibawa. Sebagaimana wibawa kelas yang pernah ada tempo dulu. Bukan bermaksud bernostalgia kosong dengan masa lalu. Tapi paling tidak disanalah kita bisa kembali membuka lembaran-lembaran Indah pendidikan masa lalu yang pernah berjalan. Tidak perlu metodenya tapi rasakan jiwanya atau roh pembelajaran yang dijalankannya.

Kelas kita tempo dulu adalah kelas yang sangat berwibawa. Guru begitu dihargai, sopan santun begitu dikedepankan. Bahkan ada cerita seorang murid ketika berpapasan dengan gurunya, ia memilih menghindar atau mengambil jalan lain. Bukan sang murid takut pada gurunya tapi disana ada penghormatan pada nilai-nilai akhlaq dan sikap yang begitu dijunjung tinggi. Dalam salah satu kitab Ta’alim Muta’alim dalam bab ”Ta’dziimul Ustadz” disana dibahas dengan detail bagaimana sikap seorang murid terhadap gurunya dengan penghormatan yang tinggi.

Hari ini kondisinya sungguh jauh berbeda. Bahkan ada satu kasus di sekolah negeri di Jakarta yang anak muridnya tidak percaya dengan pengelolaan dana Kegiatan perpisahan yang dikelola gurunya dan meminta pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan itu diserahkan ke murid hingga urusan jadwal acara, semua diminta agar segala sesuatau dikelola siswa, guru tinggal datang dan menyaksikan saja acara yang akan digelarnya. Menurutnya, merekalah yang membayar seluruh biaya kegiatan sehingga logis jika semuanya dikembalikan pada murid. Sungguh fenomena ini menunjukkan betapa guru telah dan sedang sangat tidak dihargai (baca: direndahkan). Bukankah guru terkesan layaknya pengemis di hadapan murid. Bukankah guru seolah sedang hanya ditempatkan sebagai tenaga kerja layaknya pelayan toko atau pekerja di Pabrik yang setiap saat bisa diperlakukan seenaknya oleh sang majikan. Bukankah seharusnya kita merasa sangat sedih dengan pelecehan terhadap wibawa keguruan kita?

Kelas Yang Hilang

Ada yang hilang dalam kelas-kelas pembelajaran kita. Moralitas yang seharusnya dikedepankan, kini telah tiada. Kata-kata yang sering kita sampaikan tidak mampu menyentuh intuitas yang ada pada mereka. Bukankah kenyataan itu menjadi hal yang wajar jika kelas kita disebut sebagai kelas yang tidak berwibawa. Bukankah kata-kata kita tentang moral, sopan santun dan budi pekerti pernah (bahkan sering) tidak didengarnya? apalagi meminta mereka untuk mempraktekkan.

Sesungguhnya bukan karena mereka tidak mau mendengar dan bukan pada tempatnya kita menyalahkan anak sebagai biang masalah dengan mengkambinghitamkan dan menjatuhkan punishmen pada mereka sebagai tidak bermoral, urakan dan lain sebagainya. Anak kita adalah kertas putih yang dengan kertas itu kita bisa membuat tulisan apapun dengan corak dan warna apapun. Goresan apapun yang ada dalam kertas itu adalah hasil kerja kita. Jadi jelas bahwa dalam problem ini anak tidak perlu dilibatkan. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap nasib yang menimpa kelas pembelajaran kita? Menyebut guru sebagai yang paling bertanggungjawab, rasanya juga tidak bijak. Meskipun penyelenggaraan proses belajar dalam kelas sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru, kelas yang berwibawa atau sebaliknya kelas menjadi tidak berwibawa sangat ditentukan penyelenggara pendidikan itu sendiri yaitu masyarakat sebab pendidikan adalah rekonstruksi masyarakat. Contoh, ketika masyarakat telah menjadi sangat kapitalis, bukankah segala yang ada didalamya juga harus kapitalis. Demikian paling tidak logika kapitalis berlaku. Termasuk sekolah (baca: Kelas) pun akan mengalami nasib yang serupa seiring berkembangnya masyarakat.

Maka jangan pernah membayangkan kelas kita akan dihiasi dengan anak yang hormat, sopan dan berbudi pekerti luhur, sementara negara atau masyarakat tidak punya komitmen pada bidang pembentukan moral. Kalaupun ada, ha itu hanyalah sebatas jargon. Masyarakat kita telah banyak didominasi oleh logika kapitalis, maka sopan santun, budi pekerti dan religiusitas cenderung disingkirkan karena tidak dibutuhkan. Yang dibutuhkan dalam masyarakat kapitalis adalah hal-hal yang terkait dengan logika pasar, nilai produksi dan keuntungan. Masyarakat kapitalis tidak berpikir bagaimana moralitas, sopan santun dan keagamaan dijadikan acuan atau dasar berprilaku, menurut mereka nilai-nilai tersebut dikembalikan pada masing-masing pribadi. Kelas yang ada dalam masyarakat kapitalis berfungsi sebagai mesin produksi yang diharapkan tercipta manusia-manusia atau tenaga-tenaga (baca; Robot-robot kapitalis). Saat anak sudah punya kecerdasan intelektual (baca: Ketrampilan yang dibutuhkan pasar), maka itu sudah cukup artinya telah tercapai tujuan belajarnya. Maka jangan heran jika nilai atau instalan yang paling penting tertanam dalam diri anak tidak lain, tak bukan adalah nilai disiplin waktu. Logika ini sepadan dengan logika kapitalisme yang sangat berhitung dengan penggunaan waktu untuk mendapatkan kapital.

Kelas Pembelajaran Kapitalis

Kapitalisme yang melanda kelas-kelas pembelajaran kita melahirkan kelas-kelas pembelajaran yang kapitalis. Kelas kapitalis menunjukkan bahwa kelas-kelas dalam pembelajaran di sekolah yang ada selama ini adalah kelas yang berlaku atas logika kapital. Misi sekolah sebagai sarana membangun sisi moralitas, ahlaq dan budi pekerti dinilai sebagai jargon belaka sebab kenyataanya kelas dengan misi pembangunan moralitas, religiusitas itu lebih punya perhatian pada kegiatan pembelajaran untuk memenuhi logika kapitalisme. Ciri kelas pembelajaran yang kapitalis yang utama adalah minimnya materi-materi moral, budi pekerti dan nilai agama. Kurikulum yang dipakai pun terpaksa didisain dengan mengurangi jam-jam pelajaran agama dan kelompok mata pelajaran humaniora lainnya. Hadirnya kelas-kelas pembelajaran yang kapitalis secara otomatis menandai hilangnya wibawa kelas. Sehingga seluruh energi yang ada diarahkan pada upaya sebesar-besarnya untuk terbentuknya masyarakat kapitalis.

Pada saat kelas kita menjadi demikian kapitalis seperti itu, maka mengharap kelas kita menjadi kelas berwibawa adalah pekerjaan berat. Sehebat apapun konsep kurikulum yang diterapkan, tidak akan mampu membentuk kelas berwibawa sebab kesatuan visi antara masyarakat dan sekolah adalah dua hal yang harus diperhatikan dalam menyusun arah pendidikan. Selama jiwa masyarakatnya masih kapitalis, maka penyelenggaraan di bidang pendidikan pun akan terpengaruh dengan pola kapitalis. Anak tidak merasa perlu mengembangkan sisi moralitas sebab dalam system kapitalis hal itu tidak diperlukan. Pembelajaran moralitas, budi pekerti dan juga agama hanya akan menyebabkan perkembangan kapital itu terhambat. Sehingga sudah selayaknya pembelajaran pada bidang-bidang itu diabaikan. Baginya saat ia telah menjadi cerdas dengan bekal ketrampilan berpikir, bahasa dan lain-lain, itu dirasa lebih penting.

Kelas kita telah menjadi begitu tidak berwibawa dan bukan lagi menjadi tempat bagi anak untuk belajar pengalaman-pengalaman suci atau nasehat-nasehat kemanusiaan. Kelas kita telah menjadi sempit makna. Kelas kita hanya berperan sebagai tempat bermain ketika orang tua menitipkan anaknya pada sekolah karena kesibukan orang tua. Sehingga wajar jika kelas kita menjadi “lembaga jasa” penampung anak-anak yang ditinggal ortu-nya yang sibuk. Dalam kasus tersebut kelas kita telah menjadi lembaga profit. Bahkan tanpa malu sekolah pun berlomba-lomba memasang tarif/harga untuk dan atas jasa yang diberikan. Dalam kasus kapitalisme dalam dunia pendidikan yang lebih kompleks, sekolah yang ada telah menjadi ruang tertutup dan terbatas hanya dan hanya untuk mereka yang mampu membayar sesuai tarif yang ditentukan. Saat itu sekolah tidak lagi punya hubungan kolaboratif-edukatif dengan orang tua, yang ada adalah hubungan balas jasa. Maka jangan heran setelah anak lulus, jarang didapati komunikasi dan hubungan berkelanjutan antara anak dan guru atau sekolah. Hubunganguru dan murid itu hanya terjadi saat ada selama dalam ikatan sekolah. Sesudahnya tinggal cerita dan masa lalu yang hanya indah untuk dikenang.

Orientasi Kelas

Kedepan tentu harus dibangun kembali wibawa di dalam kelas pembelajaran kita sebab kelas kita adalah garda terdepan dalam system pendidikan yang dijalankan. Kelas kita adalah ruh yang menggerakan dan tidak digerakan. Ruh yang menentukan dan tidak ditentukan. Kelas kita merupakan perpaduan tak terpisahkan dengan tujuan masyarakat, sehingga kemana masyarakat itu hendak dituju, kesana pulalah kelas atau sekolah kita juga akan diarahkan. Wibawa kelas kita adalah jiwa otonom yang membangun basis kediriannya pada kesadaran utuh tentang tujuan utama pembelajaran.

Kejelasan orientasi kelas merupakan hal mendasar ketika wibawa kelas itu hendak dibangun. Kewibawaan kelas adalah perisai utama saat panji-panji keberhasilan pendidikan hendak kita kibarkan. Jangan terpengaruh sedikitpun dengan gagasan diluar tujuan yang pasti, sebab pendidikan membutuhkan kepastian langkah. Kelas punya satu tujuan yaitu tujuan yang telah dirumuskan oleh mereka para penyelengara pendidikan dalam satu meja diskusi yang ditentukan berdasarkan filosofi masyarakatnya. Bukan tujuan orang tua, bukan tujuan para kapitalis dan atau tujuan-tujuan yang lain.

Kalau masyarakat atau bangsa kita belum memiliki orientasi kemana masyarakatnya akan dituju, maka itu merupakan prioritas utama yang harus diperhatikan. Arah pendidikan kita sangat ditentukan oleh arah masyarakat atau pemerintah. Saran yang ingin kita sampaikan adalah kejelasan arah pendidikan yaitu arah yang ditentukan dan didasarkan atas tujuan masyarakat. Tentu saja stujuan masyarakat yang humanis, demokratis, berkeadilan dan berkesejahteraan sesuai dengan karakter asli masyarakatnya. Kita adalah masyarakat yang sangat menghargai, nilai sopan-santun, menghormati dan jiwa keagamaan yang kuat. Bukan masyarakat yang hedonis atau masyarakat yang merasa paling modern tapi melupakan nilai moralitas dan spiritualitas. Masyarakat dan pendidikan dalam hal ini tentu saja adalah satu kesatuan. Sehingga bagaimana wujud kelas itu ditampilkan dan dihidupkan akan sangat ditentukan jiwa masyarakatnya. Kalau masyarakat masih memperdebatkan tujuan masyarakatnya, maka wajar jika wibawa kelas pun akan sulit diwujudkan. Meskipun demikian sejauh dan sekeras apapun perdebatan masyarakat dan tokoh tentang tujuan masyarakat dan kebudayaan kita. Hal mendasar dalam pendidikan tentu saja dapat kita sepakati. Dari sana tentu wibawa kelas dapat dipastikan. Kelscas pun tidak perlu goyah dalam berproses sebab telah ada pondasi yang kuat. Dan kita semua termasuk orang tua pun harus diberikan penyadaran tentang makna kelas itu. Kembalikan makna kelas pada tempatnya. Kembalikan guru di kelasnya. Perlakukan murid sebagaimana seharusnya murid dan tidak perlu berpikir lain pada mereka kecuali memanusiakannya. Bukan menjadikannya mesin atau robot-robot kapitalis. Bukan pula menjejalkan ke dalam dirinya semua kecerdasan intelektual, tapi emosional dan spiritualnya dilupakan. Pendidikan dalam kelas kita adalah pendidikan untuk mengembangkan semua potensi anak baik inteketual, emosional dan juga spiritualnya sebab potensi inilah unsur-unsur utama kewibawaan kelas pembelajaran. Wibawa kelas kita adalah ruh yang harus terus ada. Wibawa kelas pembelajaran kita adalah penjaga tapal batas nilai-nilai moral agar tetap pada posisinya yang kokoh. Hilangnya wibawa kelas kita dapat terjadi karena kita lalai. Hilangnya wibawa kelas pembelajaran kita adalah bencana pendidikan. Tapi bencana tidak akan ada selama kita menyadari hal utama dalam kewibawaan kelas. Wibawa kelas pembelajaran kita adalah gambaran bagaimana masyarakat kita. Wibawa kelas kita adalah gambar pendidikan kita, wibawa kelas kita adalah gambar budaya kita. Karena itu jangan biarkan wibawa kelas pembelajaran kita hilang. Pastikan ia terus ada.[]

­­_____________

*Arif Budiman, saat ini aktif sebagai tenaga pengajar dan Tim Pengembang kurikulum di SMP Internat Al-Kausar Jl. Habib, Desa Babakan Jaya Sukabumi Telp. 0266734576, 0266734577 HP: 08176661322 E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id

Cari Blog Ini