Selasa, 05 Juni 2012

OVERLOAD CURICULUM

OVERLOAD CURICULUM DAN NASIONALISME KITA
Oleh: Arif Budiman*


Beberapa hari yang lalu telah diadakan olimpiade Matematika yang diadakan oleh ICAS Australia. Pesertanya adalah siswa SMP di wilayah Asia dan termasuk Indonesia. Test dilaksanakan secara serempak pada tanggal 1 september 2007. Pemaparan fakta ini bukan bertujuan untuk mengangkat persoalan peminat olimpiade matematika. Sesungguhnya fakta dan data ini disajikan untuk menunjukkan hal yang sangat penting dalam wacana pendidikan Indonesia. Betapa olimpiade dan soal yang diajukan itu dalam olimpiade matematika yang diadakan ICAS itu sedang mengabarkan sisi lain realita pendidikan kita. Realita pendidikan tentang beban Kurikulum yang diemban anak didik kita. Lewat olimpiade matematika itu kita telah menjadi tahu tentang sejauh manakah materi mathematika yang telah kita ajarkan. Meski soal diajukan dalam bahasa Inggris sebagian peserta menyatakan tidak mengalami kesulitan dalam menjawab soal yang ada. Contoh pada soal matematika yang disitu hanya dituntut kemampuan anak untuk menunjukkan waktu pada gambar yang terpampang dalam lembar soal. Tentu ini soal yang sangat mudah. Seusia anak SMP, siapa yang tidak bisa menunjukkan angka jarum jam??? Tentu semua sangat paham dan sangat bisa mengerjakan soal dimaksud. Dan masih banyak soal sejenis yang menunjukkan karakter mudah dan tidak sesulit materi yang biasa kita ajarkan pada murid-murid kita di kelas. Materi yang kita ajarkan sebagaimana yang diamanahkan dalam kurikulum nasional kita. Tingkat kesulitan yang ada di soal olimpiade setingkat dengan soal-soal yang ada di sekolah tingkat dasar atau SD. Kata pak Wahyu, salah satu guru matematika di SMP Internat Al kausar Sukabumi...
Melihat fenomena tersebut, ada dua hal terbangun dalam pemikiran kita. Pertama, timbul rasa bangga bahwa kita bisa dengan sebuah pertanyaan apakah ICAS telah salah memberikan soal. Kedua, apakah kurikulum yang telah kita terapkan telah sesuai dengan tugas perkembangan anak???? Bukan tidak mungkin kita telah melanggar dan memaksakan tugas perkembangan anak sehingga materi ajar yang diberikan berada diluar batas kemampuan anak usia SMP. Men-judge Australia salah dalam membuat soal, tentu saja tidak sebab kualitas pendidikan setingkat negara Australia tentu tak diragukan. Terlebih pendidikan untuk remaja atau usia SMP. Atau di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pendidikan Australia menjadi favorit banyak Negara untuk warga negaranya menimba ilmu di Australia. Program beasiswa dan minat anak Indonesia dan Negara lain sekolah di Australia pun menunjukkan angka yang signifikan. Dengan demikian pemikiran pertama tentu tak perlu lagi menjadi persoalan. Yang patut menjadi pertanyaan adalah bahwa kita telah merasa mudah dengan soal-soal Olimpiade dan beberapa kali kita menang lomba olimpiade baik fisika maupun bidang ilmu yang lain, pertanyaannya apakah kemenangan itu mencerminkan kemenangan cita pendidikan kita. Bukankah kita hanya menang dalam hal penguasaan materi dan tidak pernah menang (baca bisa) dalam olipiade hidup yang sesungguhnya. Kita telah menjadi sangat hafal dengan materi pelajaran tapi kita hamper tidak bisa menerapkan materi yang kita kuasai dalam kehidupan seharihari.
Selebihnya pemikiran kita tertuju pada fenomena kedua yaitu tentang realitas kurikulum pendidikan kita (baca: Indonesia) yang tentu saja layak diajukan. Dengan sebuah pertanyaan sudahkah pendidikan terutama sisi kurikulum mempertimbangkan dengan matang beban pembelajaran yang disajikan untuk siswa. Apa tidak mungkin kita telah memaksakan beban kurikulum yang berat dan memberatkan sehingga dalam usia yang masih remaja mereka telah “dipaksa” untuk menelan materi-materi yang belum sepantasnya dipelajarinya. Sementara tugas perkembangan tidak mengamanahkan hal tersebut.
Apakah pembelajaran kita telah overloaded dalam arti kita terlampau memberi beban berat pada siswa dengan materi-materi berat sementara potensi anak belum waktunya menerima materi yang jumlahnya besar atau berat itu. Sementara di tataran praktis, ilmu atau materi yang diajarkan tidak bernilai praktis di lapangan. Artinya tidak ada korelasi antara apa yang diajarkan dengan realitas yang sesungguhnya. Padahal paradigma pendidikan terbaru menghendaki adanya konsep pendidikan yang bernilai praktis atau sesuai dengan kenyataan.
Kenyataan pendidikan kita telah memasuki persoalan yang sangat paradigmatic dan kompleks. Satu sisi negeri ini menghendaki kemajuan dan penguasaan teknologi yang cepat (instant) yaitu dengan cara proses pendidikan yang juga cepat. Menyikapi paradigma ini penyelenggaraan pendidikan mewujud dalam bentuk penyikapan yang berlebihan dengan memahami makna kemajuan cepat itu dengan penguasaan secara kuantitatif materi-materi ilmu pengetahuan. Betapa banyak anak yang telah hafal diluar kepala rumus matematika tapi penguasan dan hafalannya dengan semua rumus itu tidak memiliki nilai yang aplikatif dalam kehidupan. Sehingga ilmu pengetahuan yang dikuasai hanya berhenti pada tataran pengetahuan. Dan saat ilmu pengetahuan hanya tersimpan dalam otak-otak saja tanpa bisa dipublikasikan dalama arti dimanfaatkan, bukankah sesungguhnya tujuan pembelajaran itu telah gagal direalisasikan. Pembelajaran telah gagal menjadikan manusia mandiri dalamkehidupan. Pengetahuan yang dia punya tak ada arti dan gunanya sebab ia hanya menempel di otak tanpa ia mampu menerapkan bahwa realitas yang menunggu jawaban praktis dari ilmu yang sederhana untuk mendapatkan solusi sederhana, tidak berbeli-belit.
Temuan Thomas Alfa Edison dengan lampu pijarnya, saya kira Thomas bisa menemukan lampu tersebut ia tidak harus menunggu sampai dia menguasai semua bidang ilmu pengetahuan. Einstein dengan teori relatifitasnya, saya kira temuannya tentang rumus E=MC, Einstein tidak perlu menunggu dan hafal semua materi tentang fisika. Ketika kita hanya bangga dengan pengetahuan yang melimpah tentang semua ilmu pengetahuan, sesungguhnya kita telah hanya mampu menjadi bangsa yang hanya tahu banyak pengetahuan. Tapi kita telah menjadi bangsa yang kecil sebab dengan ilmu pengetahuan yang di tahuinya, tidak tahu harus berbuat apa. Dalam suatu ajang olimpiade ( sebut saja olimpiade matematika misalnya) menjadi pemenang tentu tidak menjadi kebanggaan jika olimpiade hanya bermakna tahu satu ilmu pengetahuan, tapi tidak pernah diterapkan. Menjadi pemenang olimpiade akan benar-benar menjadi kebanggaan saat kemenangan itu ditunjukkan bukan semata anak tahu banyak ilmu pengetahuan tapi mampu menghasilkan karya nyata dengan pengetahuan itu. Itulah kemenangan yang sesungguhnya.
Bangsa Eropa telah melaju dengan penemuan-penemuan, kita malah sibuk membicarakan temuan mereka. Selebihnya menjadi pengguna utama atas temuan mereka dan enggan berpikir sama untuk sebuah temuan dan terus asyiik dengan temuan bangsa lain. Korea yang terkenal dengan produk Hand Phone-nya yang terkenal terus mengadakan inovasi HP dengan teknologi terbaru, kita malah sibuk ber “pamer ria” untuk memiliki atau berlomba-lomba mendapatkan HP terbaru. Tanpa pernah berpikir dan terpikir untuk berbuat hal yang sama (mencipta teknologi dan inovasi) sebagaimana yang mereka lakukan, atau melakukan temuan-temuan. Alih-alih temuan, mampu memperbaiki HP saja belum sepenuhnya bisa dilakukan. Kita telah menjadi sangat bangga dan secara tidak sengaja menjadi pasar yang sesungguhnya dari produk-produk teknologi bangsa lain. Sejauh itu pula kita telah menjadi tidak berdaya dengan serbuan produk yang datang bertubi itu. Dan pada akhirnya kita harus mengalah dan merelakan apa yang kita punya seperti menjual asset kekayaan sendiri untuk memenuhi sifat konsumtif kita. Saat itu sesungguhnya kita telah menjadi objek yang ditentukan dan bukan menentukan.
Contoh lain, saat kita sedang bersibuk-sibuk dengan menguasai salah satu program aplikasi computer. Sang pembuat telah dan sedang merancang program baru yang kembali akan diluncurkan di pasar konsumen Indonesia. Sementara itu kita masih asyik belajar tentang temuan atau inovasii baru yang baru diluncurkan itu. Eh.. produk ini fasilitasnya bagus lebih lengkap, temannya yang lain menambahkan “eh ini ada lagii yang terbaru, dan seterusnya. Logikanya belum selesai kita total menguasai satu program, tiba-tiba dating program baru yang menjadikan kita juga harus bersegera mengikutinya. Kita telah ditentukan dan bukan menentukan. Kita sedang diarahkan oleh penguasa teknologi dan tidak mengarahkan teknologi. Kita terus belajar untuk tahu, tapi tak pernah mengajarkan.
Belum lagi dari sisi yang lain. Kita telah benar-benar telah dirancang secara sistematis untuk selalu tunduk dengan produk barat (untuk tidak mengatakan kita telah menjadi budak) produk-produk bangsa lain. Dan situasi keterbudakan itu terjadi secara sistematis. Hingga merambah pada sisi lain budaya kita. Misalnya kita yang belajar program Windows, didalam kotak dialog dan seluruh petunjuk pengoperasian dibuat dalam bahasa Inggris. Apa dampaknya..????, pernahkah kita berpikir kesana???? Praktis dilapangan mereka para pengguna windows harus mampu menguasai bahasa windows yaitu bahasa Inggris termasuk bahasa-bahasa pemrograman. Lagi-lagi belum selesai kita menguasai program windows, saat yang sama kita dihadirkan dengan produk program windows yang baru. Situasi ini mejadikan kita makin merasa tidak berdaya dan selalu merasa tertinggal dengan teknologi yang ada. Harus ada perubahan paradigmatic (untuk tidak menyebut revolusioner) tentang bagaimana kita mensikapi secara sewajarnya deras arus perkembangan teknologi yang sulit dibendung. Prinsipnya bukan tidak menghendaki perubahan atau perkembangan teknologi, tapi bagaimana dengan teknologi yang ada kita seharusnya menjadi terbantu dan benar-benar menjadikan kita sebagai manusia yang sebenarnya. Paulo Freire menyebutnya dengan ungkapan memanusiakan manusia.
Sudahkah dengan teknologi dan pendidikan yang kita jalani itu telah menjadikan kita sebagai manusia. Atau malah sebaliknya. Jika dengan teknologi itu kita benar-benar dimanusiakan berarti teknologi itu adalah teknologi yang bermanfaat. Dan sebaliknya jika dengan teknologi itu telah memperbudak kita, maka sesungguhnya teknologi itu adalah teknologi yang semestinya ditinggalkan alias mengandung mudharat. Selanjutnya apakah pendidikan kita telah manusiawi dan tidak lagi ada pemaksaan kurikulum diluar batas kemampuan anak didik kita. Tentunya kita berharap pada pendidikan yang manusiawi, pendidikan yang lebih punya arti. Dan bukan pendidikan yang mematikan hati nurani. Meski demikian kita memang akan tetap menjadi pemenang olimpiade, tapi kita masih menjadi pecundang dalam kenyataannya. Kita juga tidak perlu merasa bangga karena anak-anak kita tiada kesulitan menjawab soal olimpiade. Kita harus lebih memahami arti pendidikan yang sesungguhnya, yaitu memanusiakan siswa. Wallahu alam bishawab.[]
_____
*Arif Budiman, saat ini aktif sebagai tenaga pengajar di SMP Internat Al-Kausar. Jl Habib desa Babakanjaya parungkuda Sukabumi Telp. 0266 732006 hp 08176661322



















Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini