Minggu, 04 November 2012

Inspirasi Bung Tomo

INSPIRASI BUNG TOMO
Oleh: Tirta pawitra

Sesungguhnya bukan semata terinspirasi oleh gaya dan kata-kata Bung Tomo dalam pidatonya kala itu. Namun ada sebuah kenyataan betapa kesadaran sebagai sebuah bangsa sedang berada pda titik tertinggi. Indikator perang setidaknya menjadi ukuran bahwa pengorbanan tertinggi bagi negera adalah penyerahan dan pengorbanan nyawa. Ini Nampak sangat nyata dalam situasi kebatinan saat itu. Hal yang sama apakah mungkin kita akan menemukan dan mendapatan semangat yang sama saat ini dalam konteks kebangsaan.
Apakah untuk menghadirkan semangat itu harus menunggu, negeri ini dijajah oleh bangsa lain sebagaimana Inggris membombardir Surabaya kala itu. Jawabannya bisa ia bisa juga tidak sebab ini sangat tergantung dnegan pemahaman kita dalam memahami apa yang dimaksud dengan pemahaman kita pada definisi tentang penjajahan. Jika penjajahan yang dimnaksud adalah penjajahan militer sebagaimana kedatangan Inggris itu tentu hal itu tidak sedang terjadi di negeri ini. Tapi jika penjajahan yang dimaksud adalah penjajahan ekonomi, kesulitan anak bangsa di negeri sendiri. Itu hal yang sangat lazim terjadi di seantero negeri. Realitas keterjajahan yang sebenarnya justru kini sedang melanda negeri.
Itulah sebabnya mengapa semangat dan Inspirasi Bung Tomo perlu dihadirkan dalam situasi keindonesiaan saat ini untuk menyadarkan bahwa semangat zaman selalu sama. Selalu ada pihak-pihak yang mengekang dan menghalangi langkah bangsa ini untuk maju. Ekonomi yang disetir oleh kepentingan asing adalah kenyataan sejarah yang harus dilawan dan harus ada kesadaran bersama tentang adanya situasi itu serta harus ada orang yang berani berbicara lantang tentang kondisi negerinya agar sadar dan bangkit dari keterpurukan bukan menjadi pelacur atau menyerah pda kepentigan-kepentingan asing yag tidak pro rakyat jelata.
Ribuan nyawa jadi korban dalam peristiwa 10 November, adalah orang-orang yang bersatu hatinya dalam melakukan dan menolak ultimatum Inggris untuk menyerahkan senjata. Ini adaa sikap rakyat jelata anak bangsa meghadapi situasi aneksasi atau tekanan bangsa lain, hingga nyawa jadi taruhannya. Harga diri bangsa lebih tinggi dibanding jabatan atau kedudukan yang akan diberikan asing tapi tetap saja menjadi cukong atau suruhan asing. Bangsa Indonesia semestinya menjadi bangsa yang kokoh di atas tanahnya sendiri. Bukan menjadi pengemis di negeri lain yang dihinakan. Mereka para TKI yang merantau di Negara lain seoleh memperspsikan bangsa ini sebagai bangsa yang miskin, tak mampu membiaya kebutuhan hidup warganya sehingga janji keberhasilan dan kesuksesan selalu dengan ukuran harus bekerja di luar negeri meski hanya menjadi seorang babu sekalipun. Kenyataan ini sama artinya kita telah mnghinakan diri sendiri. Seharusnya para petinggi Negara ini malu. Seharusnya nasib mereka diperjuangkan dan bukan diam seribu bahasa dengan alasan softdiplomacy wlaupun yang sebenarnya tak ada keberanian.
Sebelum muncul soal TKI di negeri ini, penjajahan telah berurat dan berakar terlihat dalam penguasaan sector-sektor ekonomi penting, 90 % dikuasai oleh pihak asing dan pemerintah dengan mudah memberikan Ijin pada perusahaan asing tersebut untuk mengeksploitasi kekayaan Alam Indonesia, sementara kondisi ekonomi rakyat sendiri masih sangat memprihatinkan.
Ironi melihat proyek pertambangan di daerah Bekasi Utara yang megah berdiri, sementara warga di sekitarnya miskin, rumahnya reot bahkan nyaris roboh. Sementara mereka dengan mobil-mobil mewah tiap hari melewati depan rumah mereka yang reot itu. Apakah ini yang dinamakan dengan kesadaran berbangsa. Kesadaran yang sama sebagai sebuah bangsa.?? Yang ada justru adalah antek-antek asing yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Itu contoh kecil. Kasus pengerukan terbesar di negeri yang telah dilakukan asing terhadap Indonesia adalah, eksploitasi Emas di Gunung Papua. Nasib warga Papua dengan kontrak karya sampai tahun 2040, apa yang bisa dinikmati oleh warga asli sebagai orang yang tiap hari mendiami wilayah tersebut. Yang ada justru kelestarian adat yang dicabik-cabik oleh budaya asing atau budaya luar Papua. Kehidupa ekonomi pun tak beranjak menju perbaikan. Sama seperti bunyi sebuah pepatah “Ayam mati Di Lumbung Padi”. Jadi bangsa Indonesia justru menjadi bangsa yang miskin dan menderita di tengah kekayaan alamnya sendiri yang melimpah.
Ernest Renant mengatakan yang dinamakan sebuah bangsa adalah ketika dalam setiap pribadi itu tumbuh semangat dan keinginan yang sama untuk menggapai tujuan sebuah bangsa. Pertanyaannnya adalah apakah ada keinginan yang sama dalam kehidupan berbangsa kita saat ini. Jika dalam kenyataannya adalah hanya memikirkan kepentingan masing-masing golongan dan kelompok atau pertainya sendiri. Adakah pemimpin yang akan lahir dan mendengar dengan hati nuraninya berpikir tentang kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa, melakukan pembelaaan hingga titik darah penghabisan untuk kejayaan bangsa.?
Ada yang hilang di negeri ini..? Tak ada lagi semangat menggelora sebagaimana semenagat Bung Tomo dalam pidatonya sisertai pekik Takbir. Pidatonya membahana di Surabaya mengobarkan perlawanan terhadap anasir asing yang ingin kembali bercokol di negeri ini. Sesungguhnya bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat. Orang-orang pemberani yang berjuang dengan penuh ketulusan untuk negeri ini ada kemaslahatan manusia. Sesungguhnya negeri ini sangat merinduai pemimpin yang kuat yang mengobarkan kesadaran dan kebangsaan akan angsanya. Mungkinkah ia sedang ada dan mulai muncul di negeri ini. Akan pemimpin itu akan segera hadir dan memenuhi harapa-harapan kita untuk kejayaan Indonesaia.
Selama banteng-banteng itu asih ada selama darahnya masih berwara merah yang akan membuat secari kain putih menjadi merah putih selama itu pula perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan neger ini akan terus dilakukan. Allahu Akbar. ALlahu Akbar.
Merdeka..!!


Jumat, 02 November 2012

Sang Bunga


SANG BUNGA
Oleh: Tirta Pawitra


Sang Bunga
Sudah lama aku melihatmu. 
Sudah sejak lama aku mengenalmu. 

Harummu semerbak sadarkan Jiwa yang pernah lara. 
Kutahu Engkau telah sangat memahami rasaku.
Tentang kisah yang tidak semestinya.

Sang Bunga.
Adalah Panorma terindah yang kini ada di depan mata.
Ijinkan aku selalu melihatmu.
Ijinkan aku selalu ada di dekatmu.
Menatapi Indahmu.
Di setiap hari dan waktuku.
Aku ingin mengartikan Indahmu.


Bisa jadi aku salah mengartikan-mu
Bisa jadi indahmu bukan untukku
Bisa jadi harapku bukan harapmu
Pamitku sehari yang lalu
Adalah ketakutanku
Hilangku Beberapa hari yang lalu
Adalah cemburuku

Aku ingin engkau selalu ada Untukku
Walau batasku seringkali membuatmu ragu

Sang Bunga,
Sampai di hari nanti
hari dimana aku telah mampu mengartikanmu
hari dimana keinginan telah bersatu
Saat itu adalah saat terindah dalam hidupku

Sang Bunga,
Ijinkan aku membacamu
Ijinkan juga aku menulismu
hingga sang Tinta tak sanggup menulismu
Kan Kuminta pada sang ranting itu jadi penamu
Kan Kuminta kering dedaunan sebagai Kertasmu


Sang Bunga,
Sesungguhnya kutahu tak ada ragu di hatimu
Sesungguhnya engkau telah menjawab tanyaku
Dan sang waktu kan segera meyakinkanmu
Hingga Tiba Saat
Dimana aku memetikmu.....!!

Cari Blog Ini