Selasa, 10 Februari 2015

TERUSIR DI RUMAH SENDIRI



TERUSIR
Di Rumah Sendiri

Oleh: Tirta pawitra[1]

Hari ini Minggu, 8 Pebruari 2015, aku berulang tahun. Aku pulang ke rumah di Jawa. Aku pulang karena ada sesuatu yang ingin kuantar. Sebulan lalu, saat pindahan ke Jawa, Bapak minta motor yang tak terpakai di Jakarta itu agar bisa dibawa ke Kampung. Kini Motor ini telah kubawa sesuai pesan Bapak. Maaf beberapa kali aku membuat ketidakpastian akan kepulanganku sebab jasa paket pengiriman yang berbiaya mahal dan  kuputuskan untuk mengantar motor ini langsung ke Jawa dengan Bis.
Hari minggu jam 10.00 aku sampai di Kebumen. Bus terlambat karena mogok di wilayah Larangan Brebes.  Karenanya aku belum sampai rumah dan hari itu juga, minggu sore  harinya aku mau langsung pulang balik ke Jakarta sebab senin harus kembali kerja. Ma, kau Nampak lebih kurus..? Tentu karena engkau lebih lelah hari-hari ini. Engkau kulihat diam sebagaimana diammu saat menunggu pembeli di warung kita tempo hari saat di Jakarta. Emang ngga ada pembeli apa gimana?
“Iya begini dagang di Kampung..,  sama seperti di Jakarta pembelinya satu dua orang saja. Tapi disini kan mending dari pada di Jakarta yang sudah sepi pembeli, suasannya juga tidak nyaman karena ramai kendaraan. Sepi dagang di Jakarta sebab posisi ruko yang tidak strategis, kedua karena belum ada pelanggan. Aku tahu di Jakarta memang tidak setenang di tempat ini sebab ini adalah rumahmu. Ini tempat tinggal yang biasa kautempati bersama kekasih sejatimu, Dia, lelaki yang beruban itu adalah kekasihmu. Lelaki yang selama ini telah dengan sangat setia menemanimu.
Mama, jangan salahkan beliau (Bapak) yang kini sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Walau karya beliau membuat grobokan sering tak masuk akal dan di luar nalar kita, sesunguhnya beliau sedang berusaha membahagiakanmu, mencoba membantumu keluar dari masalah yang sedang kalian hadapi..? Ia ingin membuat karya itu untukmu…”
Hasilnya sudah ada koq, itu meja panjang yang sedang kau gunakan untuk berjualan Gado-gado itu kan hasil karyanya. Ia ingin selalu punya karya yang bisa membuatmu bahagia. Beliau ingin membuatmu tertawa, dari sedih yang selama bertahun-tahun ini mendera. Ia sangat mencintaimu. Ia sangat menyayangimu. Mama harus percaya denganku dan jangan marah dengan tingkah-tingkahnya yang aneh. Beliau sesungguhnya sedang tidak ingin membuat kekacauan atau berbuat aneh, beliau sedang membuat karya yang itu bisa membuatmu bahagia, walau yang terjadi sebaliknya. Bersabarlah dengan suamimu.
Mama, ada Apa, kulihat kini raut wajahmu sangat berbeda. Ada sesuatu yang membuatmu menyesak dada. Walau engkau terlihat berusaha tenang dan meyimpan semua masalahmu, tapi aku dapat merasakan ada hal yang nampaknya ingin kau ceritakan. Tentu bukan hutang yang besar sebab masalah itu sudah sama-sam aku ketahui. Tapi ini berbeda, Ada apa.? Aku melihatmu berbeda. Kenapa.?
Ceritalah jika engkau ingin cerita, Bicaralah jika itu bisa membuatmu bahagia? Engkau menangis, engkau titikkan air mata, Ayo ceritalah..??
Sungkono…!Panggilmu jelas padaku. Iya. Aku sudah siap mendengar keluhmu. Bicaralah.
Bertahun-tahun Mama dan Bapak membangun rumah ini, Bertahun-tahun kami mendirikan rumah yang memang tidak megah, tapi inilah rumah yang Bapak dan Ibumu bangun. Di tempat ini pula kalian dibesarkan. Senang, sedih dan bahagia kita berkumpul bersama. Di tempat ini…>
Iya Ma, Sungkono tahu. Mama mau cerita pegawai Bank yang akan menagih lagi?  Bukan..!! Bukan Itu..?
“Soal pegawai Bank itu soal yang Mama dan Bapak juga akan bisa terima. Seandainya pun Rumah dan tanah itu terpaksa disita oleh pihak Bank, Mama pun sudah pasrah. Mama sudah ikhlaskan jika itu harus terjadi. Selalu meminta bantuan anak-anak dan termasuk dirimu, itu juga terlampau memberatkan kalian. Mama tidak tega melihat kalian. Apalagi engkau Sungkono yang hingga kini belum juga menikah..?
“Mama mau menjodohkanku?”  Aku menebak apa yang dipikirnya. Ia menghela nafas panjang.
“Memintamu menikah saat seperti ini juga akan membuatmu tertawa karena sepertti biasa kamu akan jawab menikah pake Apa?. Hutang saja belum beres..? Itu kan yang akan kau katakana..!! Aku tersenyum kecil. “Walau apapun akan mama lakukan, asal engkau Mau segera menikah. Inayati, anak Pak Sugeng kembali kau tawarkan padaku kemaren.
“Benarkah itu yang sedang Mama pikirkan?”
“Itu juga  jadi pemikiran Mama. Tapi bukan itu yang mau Mama sampaikan.
Bukan, Bukan Soal itu.
Lalu Apa.? Ceritakanlah?
Ini soal rumah dan tanah ini. Bukan Bank yang mau menyita rumah ini atau Kamu yang belum juga menikah. Setahun sudah Mama di Jakarta dan tinggal bersamamu. Dan membuka usaha untuk melunasi hutang agar rumah ini tak disita. Dan nyatanya usaha itu pun belum ada hasilnya. Ke Jakarta itu dilakukan untuk sesaat menghindar dari para penagih hutang yang sering dating ke rumah meminta uang setoran. Tak sedikit dari mereka yang berbicara kasar..
Kemaren para penagih itu juga dating, mereka sudah tahu kalau mama  ada di kampong karenanya mereka dating dan meminta agar hutang itu diselesaikan. Dan lagi-lagi Mama hanya bisa berjanji akan mengembalikan dan tekanan dan situasi itu kembali datang. Karenanya Mama dan Bapakmu dating ke Jakarta. Semata untuk menenangkan pikiran.
Mama dan Bapakmu telah setahun pergi meninggalkan Rumah jelek ini. Rumah yang telah renta setua umur kami yang tak akan lama..?
Mama Ngomong Apa? Jangan bicara yang ngga-ngga.
Setahun sudah kami tinggal di rumahmu meninggalkan apa yang sangat kami cintai tanah ini, rumah ini. Udara bersih yang selalu kami hirup tanpa harus membayar. Tinggal di Jakarta ternyata tidak semudah  dan seindah yang ada dalam banyangan…>>
Mama dan Bapak Maafkan Sungkono Ngga bisa bahagian Mama saat di Jakarta. Sungkono malah sering merepotkan Mama dan Bapak?
Sungkono…, bukan karena sikapmu ke kami? Sebab selama di Jakarta, Aku karo bapkmu merasa sangat berterima kasih sebab engkau  telah sangat perhatian pada kami sebab hanya engkau satu-satunya yang bisa dimintai pertolongan di saat kami terpuruk,  dan terjatuh dihina orang. Hanya engkau yang belum menikah, yang lain telah sibuk dengan keluarganya masing-masing.
 “Mama merasa terusir di rumah sendiri, Mama dan bapakmu seperti diusir dari tanah kelahiran ssendiri. Adimulyo adalah tempat kelahiran Mama dan Bapakmu. Artinya tanah ini adalah asal kami. Hutang-hutang itu telah membuat kami pergi dari tanah ini, bersembunyi sesaat, dari masalah berat. Ya setahun kami tinggal di tempatmu, di Jakarta.”
“Sudahlah Ma…, jangan diingat-ingat lagi masalah itu, semakin kita berpikir tentang masalah itu semakin berat dan itu akan membuatmu sakit.”
Hari Ini Mama kelihatan lebih kurus. Tidak seperti kemaren saat di Jakarta. Tentu karena sedang ngurus Cucu-cucumu yang tidak sedikit. Walau lelah bersama Cucu tentu akan membuatmu bahagia sebab tiada paling indah nikmatnya hari tua kecuali dapat berkumpul bersama cucu-cucumu yang lucu itu.
“Mama dan Bapakmu hanya minta waktu sesaat saja di sini, beristirahat di usia kami yang tinggal beberapa saat lagi. Mama hanya ingin tenang di Usia Mama ini. Uban kami telah rata di sekujur kepala. Jalan kami pun sudah tak bisa tegak.
Tiap hari kami berjualan sekedar untuk kami bisa makan, memanfaatkan sisa uang pemberianmu yang akan cepat habis jika tak dipakai untuk jualan. Sesungguhnya Mama sudah sangat lelah. Mama lelah berjualan ini. Bapakmu tidak mau bantu, malah asyik dengan kerjaan apa itu yang ngga jelas. Mama tahu itu dilakukan bapakmu karena ia sangat bingung dengan beban ini.
Mama butuh istirahat. Siang Malam Mama bekerja, semata agar kalian bisa sekolah dan jadi orang berhasil semua. Mama tidak minta apa-apa, yang penting kalian semua sukses.
Mama tidak menyangka jika keadaannya akan seperti ini. Hutang terlanjur menumpuk. Uang gajian Bapakmu telah habis untuk menutup hutang. Kini kami makan seadanya, ya makan gado-gado dagangan ini.
Cukup Mama. Jangan menangis. Sudahlah? Percayalah kita akan segera keluar dari masalah ini. Aku pernah bilang sebelum Engkau kembali ke Jawa tentang tempat ini akan dapat membuatmu teringat kembali dengan beban-beban atau ramai para penagih yang tidak sedikit itu akan kembali datang. Mengancam dan mengambil satu-satunya harta tersisa yang engkau miliki…>
Dan kini yang mau mengambil rumah ini adalah adikmu sendri.? Apa maksud Mama..?
Iya Khodijah berniat menutup hutang-hutang Mama dan Bapakmu yang sesaat terdengar seperti angin surga yang kuat bertiup dan menyejukkan dada yang selama ini sesak lama. Tapi..>
Nama dalam sertifikat tanahnya harus dialih nama bukan lagi atas Nama Mamamu ini tapi atas nama adikmu…?
“Khadijah punya rencana seperti itu? Tanyaku ke Mama.
“Mama juga tidak menyangka, Koq tega dia sama Mama.? Mama kurang apa, saat Khadijah kuliah, Mama tidak sedikit bantu biaya. Dan Mama juga ngga pernah minta kembali.
Boleh sertifikat tanahnya dialih nama, tapi Mama mohon nanti, kalau Mama dan Bapakmu sudah di kuburan, bolehlah diganti nama sertifikatnya. Tapi nanti, Sungkono bilang sama Khadijah biarkan Mama merasakan tanah Mama ini, Mama dan Bapakmu yang beli dan bangun rumah ini, Kalian juga tinggal dan dibesarkan di sini. Sungkono ijinkan Mama tinggal di rumah Mama sendiri ya?
Mama pengin mati di rumah sendiri. Tolong bilang sama Khadijah, Mama ngga lama lagi di dunia ini. Bapakmu juga mungkin tak lama. Setelah kami mati dan dikubur, sertifikat tanah itu boleh diganti Nama atas Nama Adikmu, Tidak perlu menunggu tujuh haripun taka pa-apa yang penting aku dapat mati diatas tanahku sendiri.
Cukup Mama. Jangan dilanjutkan. Aku tak sanggup lagi mendengarnya. Deras air mataku mendengar ceritanya. Tidak di Jakarta, tidak di kampong, nasib kalian tak jua memperlihatkan perubahan positif. Seandainya aku bisa membantumu keluar dari kemelut hutang ini, akan kulunasi hutang-hutang itu dan beristirahatlah di tanah dan rumahmu sendiri. Aku sendiri sedang sulit. Satu juta yang kukirimkan untukmu itupun aku harus pinjam.Anakmu yang lain sedang membangun masa depannya sendiri. Ia mungkin lupa bahwa keberhasilannya saat ini, tak mungkin terwujud tanpa pengorbanan kalian.
Ia juga mungkin lupa bahwa hutang-hutang yang Engkau tanggung adalah untuk membiayai sekolahnya dan juga pernikahannya.
Mama, setelah ini aku mau bilang ke Khadijah. Supaya ia sadar. Aku yakin ia masih Khadijah yang dulu. Setelah ini aku juga mau bilang ke anakmu yang lain sebab aku yakin ia juga masih seperti anak bungsumu yang dulu, yang akan menangis saat melihatmu terluka dan menderita seperti ini.
Itulah yang membuat Mama sangat sedih. Awalnya Kembali kesini, di kampong ini, kampong sendiri ini, kami berharap dapat tenang karena hutang yang telah sebagian ditutup oleh Adikmu tapi justru yang terjadi sebaliknya. Apa yang menimpa jauh lebih menyesakkan. Mama tidak tahu mengapa ia punya pikiran itu. Sungguh ini sangat menyesakkan sebab ancaman hilang tanah itu justru dating dari adikmu sendiri.”
 Luluh lantak perasanku mendengar ceritanya. Hati Mama hancur sehancur-hancurnya. Anak yang diharapkan dapat membantunya, anak yang diharapkan akan membuatnya bahagia, anak yang selama ini dibiayai kuliahnya, malah menikamnya. Ia ingini harta satu-satunya yang tersisa ini…>>>
Bagaimana mungkin seorang ibu yang telah bersusah payah membangun rumah diatas tanah yang dia beli dengan keringatnya sendiri harus kehilangan tanah miliknya. Bagaimana perasaanseorang ibu saat ia harus tinggal “menumpang” sebab merubah nama dalam sertifikat tanah itu sama artinya Mama tak punya apa-apa lagi. Mama tak punya hak lagi atas tanah itu. Meskipun kenyatannya ia boleh tinggal disana. Tapi  mama tak punya kebanggaan tanah ini. Ia tak bisa dengan bangga mewariskan tanah ini pada anaknya.  Bagaimana ia bisa hidup bebas dan tenang.?
“Mama dan Bapakmu tak mau mati meninggalkan hutang dan beban. Kami ingin mati meninggalkan kerja keras, darah dan air mata untuk kalian anak-anaku yang tetap akan kucinta meski dari kalian akan marah dan membenci kami karena hutang yang banyak ini. Maafkan Mama ya..?”
Mama dan Bapak tidak perlu khawatir sebab semua yang mama khawatirkan itu tidak akan terjadi. Aku anakmu yang memastikan tanah ini tetap milikmu, walau sejengkal tak akan kuberikan pada siapapun sebab aku ingin engkau tetap merasakan bahwa tanah ini adalah milikmu.. Sertifikat Tanah ini akan tetap atas Namamu..>
Dan jika para “pengancam” tanahmu tetap memaksa dan tak ada lagi daya kita, kembalilah ke Jakarta. Tinggalah bersamaku sebab aku  adalah  hartamu yang tersisa. Walau di Jakarta ramai dan bising, Kalian mungkin tak tahu betapa aku sangat sedih saat kalian putuskan untuk kembali ke Jawa. Kalian tak tahu bahwa setahun bersamamu di Jakarta aku sangat bahagia..
Sekarang jangan menangis lagi ya..! Tempat tinggalku ini terbuka jika kalian mau kembali lagi ke Jakarta.
                                                                                                                  

                                                                                                                   Adimulyo, 8 Pebruari 2015





[1] Nama Pena, nama sebenarnya Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Cilincing Jakarta Utara. Teroesir dengan Ejaan lama adalah Inspirasi dari Karya Buya Hamka “Tenggelamnay Kapal Van Der Wick”

Cari Blog Ini