Kamis, 16 Februari 2012

STUDI MASYARAKAT BADUI:





STUDI MASYARAKAT BADUI
Oleh: Arif Budiman[1]

Tulisan ini adalah sebuah catatan tentang perjalanan study bersama siswa-siswi  Madrasah Aliyah Negeri 21 Jakarta saat mengadakan kunjungan atau study di suku pedalaman Badui. Ada kekaguman yang tak beranjak sirna dalam pikiran ini tentang betapa uniknya kehidupan mereka. “Kehidupan yang sangat sederhana”. Itulah sebuah makna yang penulis rasakan  saat melihat kehidupan mereka dengan tradisionalisme yang hingga hari ini masih bertahan dan tidak mereka tinggalkan, justru sebaliknya mereka sangat menjaga tradisi itu dan sangat membanggainya.
Di tengah terpaan budaya barat yang membabi buta dan  pongahnya budaya materialis yang menggerus eksistensi budaya sendiri, masih kita dapati dengan gagah dan kokoh budaya Badui di sudut sana. Di balik perbukitan yang menghijau,  mereka bertahan dengan kehidupan dan penghidupannya. Masih putih warna pakaian warga Badui Dalam (Dalem). Masih hitam pakaian warga Badui Luar (Panamping). Mereka menjalani keyakinanan dan keataatan pada system nilai secara turun temurun. Mereka adalah keturunan kerajaan Pajajaran yang mengasingkan diri ke pedalaman karena pengaruh Islam. Itulah barangkali jawaban tentang tipikal fisik atau wajah orang Badui yang cantik dan juga tampan serta berkulit putih.
Di daerah perbukitan yang dipenuhi dengan pepohonan yang menjuntai, jauh dari hiruk pikuk modernitas yang memenjara jiwa serta menjauhkan manusia dari kediriannya. Disana, di tempat itu yaitu desa Kanekes kecamatan Leuwidamar, Kecamatan Lebak Banten mereka tinggal dengan aktifitas dan keinginan yang sangat sederhana. Kita mungkin tak akan  kuat dengan pola kehidupan yang mereka jalankan sebab pola pikir kita dengan materialisme yang kuat.  Tak akan bertahan kita tinggal disana dengan medan yang demikian sulit, karena hidup kita telah dimanjakan dengan segala kemudahan dengan semua fasilitas yang setiap saat tersaji untuk kita.
Suku Badui adalah entitas ketahanan dan juga kesederhanaan yang hingga saat ini tak tergoyahkan. Setidaknya nampak dari penampilan fisik yang hinggi hari ini tidak mengalami perubahan. Perhatikan aktifitas harian mereka. Mereka masak menggunakan alat-alat yang masih sangat sederhana (baca:tradisional), tidak ada aktifitas masak-memasak di dapur menggunakan minyak tanah apalagi kompor gas sebab mereka masak menggunakan kayu bakar dari kayu-kayu hutan yang melimpah. Mereka manjadi tidak menggunakan sabun atau bahan diterjen lain, mereka mandi menggunakan bahan-bahan yang tersedia di alam. Contoh mereka keramas menggunakan jerami atau tepatnya batang padi yang dibakar.  Untuk membersihkan kulitnya dari kotoran mereka menggunakan batu. Dalam bangunan rumah, mereka tidak menggunakan paku tapi hanya menggunakan tali yang terbuat dari bambu.
Para pengunjung tidak diperbolehkan membawa kamera atau alat elektronik lain ke dalam wilayah Suku Badui, (khususnya suku Badui Dalam). Saat ditanya mengapa tidak diperbolehkan, jawabannya karena ketentuan adat yang mengharuskannya. Meski demikian masih ada pengunjung Nakal yang sengaja dengan sembunyi-sembunyi mendokumentasikan kegiatan orang-orang di Suku Badui dalam tanpa sepengetahuan pemangku adat, sehingga karena hal ini sampai dibawa ke ranah hokum atau pengadilan.
Sejumlah fakta tentang adanya kesederhanaan itu terlihat dalam beberapa hal. Mereka sangat kuat memegang keyakinan budaya  leluhurnya. Coba lihat bagaimana pola berpakaian mereka yang hingga hari ini tidak berubah adalah bukti kesederhanaan budaya itu. Saat ini memang telah terlihat pengaruh budaya luar dan bukan tidak ada sama sekali pengaruh dari luar itu tapi sifatnya pengaruh berupa masuknya benda-benda atau bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Di Badui dalam ada seorang penjual makanan kecil atau warung yang menjual minuman ataupun minuman saset lain sebagaimana minuman yang diperjual belikan diluar Badui.
Masyarakat Badui memiliki lumbung-lumbung  padi yang tersebar di tiap sisi kampung. Di depan kampong Marengo terdapat sejumlah lumbung padi yang digunakan untuk menyimpan persedian pangannya. Ada warga Badui yang menyimpan padinya hingga berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Ini adalah sebuah fenomena sistem ketahanan pangan yang kuat, yang menopang kehidupan Suku Badui. Di sisi depan saat hendak memasuki kampong Cibeo yang merupakan salah satu kampung inti suku Badui, disana kita saksikan adanya lumbung-lumbung yang tersebar dibeberapa titik di sepanjang jalan mendekati kampong Cibeo.
Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan sikap orang Badui atau pemangku  adat yang patut kita cermati untuk kemudian perlu kita menghargainya. “Lojor  teu  meunang dipotong,  Pondok teu meunang disambung. Kurang teu meunang ditambah. Leuwih teu meunang dikurang”. Artinya Apa yang sudah panjang tak boleh dipotong, Apa yang pendek tidak boleh disambung, Apa yang kurang tidak boleh ditambah sebaliknya apa yang lebih tidak boleh dikurangi. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa apa yang sudah ada dan menempel pada masyarakat Badui jangan ditambah-tambah ataupun dikurang-kurangi. Disana terkandung sebuah pesan untuk membiarkan Suku Badui tumbuh atau melangsungkan kehidupannya secara apa adanya. Inilah barangkali yang menyebabkan masyarakat Badui mampu tetap kokoh dan bertahan hingga saat inni.
Berkunjung ke Badui, seperti menemukan sebuah oase yang menyejukan Jiwa di tengah sahara kegetiran dan keganasan budaya materialis. Selama ini kita  jarang mendapatkan suasana kesederhanaan itu sebab kota justru telah menyuguhkan gemerlap dunia yang jauh dari sederhana. Melihat orang-orang Badui seperti disuguhi kesadaran baru bahwa betapa tak semestinya manusia diperbudak keinginan-keinginan. Orang Badui tidak seperti orang kota dengan banyak keinginan. Orang Badui memiliki keinginan yang sangat sederhana. Jika orang Badui punya banyak keinginan, maka suasana malam tentu akan terang dengan cahaya sebab sampai saat ini malam di Kampung Badui tanpa cahaya. Jika malam datang mereka lebih suka menutup pintu untuk istirahat. Kalaupun terjaga hanya obrolan kecil tentang aktifitas rutin mereka di ladang. Keinginan mereka sangat sederhana, maka begitu malam tiba, mereka tidak beraktifitas lain. Mereka tidak dibuai keinginan macam-macam sebagaimana macam-macamnya keinginan kkita yang terbukti membuat resah.
Kota Jakarta pusara keinginan yang berbeda-beda, juga tempat pergulatan yang tak berkesudahan antara beragam keinginan, nafsu dan konflik. Kota Jakarta nyaris tak pernah sepi, saat malampun dipenuhi dengan banyak kegiatan. Detak keinginan orang Jakarta tak pernah berhenti sebab keinginan-keinginan manusia modern tidak sederhana. Kehidupan Jakarta tak pernah diam sebab tiap hari sibuk dengan kegiatan untuk mewujudkan keinginan. Belum terwujud keinginan sebelumnya, malah telah memproduksi atau menciptakan keinginan baru yang menuntut pemenuhan. Wajar jika di kota atau pun Jakarta banyak ditemui orang yang mengalami “stress” hingga hingga “stroke”.
Seandainya keinginan kita sesederhana keinginan-keinginan orang Badui itu, minimal kita mengurangi keinginannya tentu tidak ada kekeringan dan kegetiran-kegetiran dalam jiwanya. Senyatanya Jakarta telah memaksa manusia menjadi budak keinginan-keinginan yang makin hari makin tinggi, makin mahal dan makin memenjara jiwa kita yang semestinya bisa bebas mengembara. Tempat yang jauh dari hiruk pikuk modernitas secara fisik menjadikan pandangan dan ruang gerak mereka sederhana.
Masyarakat Badui bisa bertahan dalam kesederhanaan itu tidak ada yang mereka lihat lakukan diluar apa yang ada dalam diri mereka yaitu kesederhanaan itu. Coba bayangkan jika mereka dipenuhi atau disuguhi dengan keinginan yang macam-macam sebagaimana keinginan-keinginan kita, maka mereka akan sama dengan kita. Ada sesuatu yang menjadikan mereka bertahan. Inilah kekuatan atau power Badui. Mereka sadar bahwa keinginan itu cukup apa yang ada, apa yang bisa mereka jangkau, misalnya apa yang mereka makan ya apa yang tersedia di alam. Tidak perlu mengada-ada sesuatu yang sulit dijangkau. Mereka telah mencukupkan keinginannya dengan sesuatu apa adanya. Mereka tidak butuh TV atau Film-film dengan gambar-gambar yang justru telah mengasingkan manusia yang mengaku modern itu jauh dari kediriannya. Mereka orang badui juga tak perlu facebook, sebab facebook yang dibanggai itu telah menyisakan sejumlah petaka. Contoh adanya kejahatan lewat dunia maya seperti penculikan dan kerugian lain.
 Pelajaran penting dari Badui adalah bagaimana kita bisa mengelola keinginan kita. Bilamana perlu “membunuh keinginan” tapi  membunuh yang dimaksud adalah keinginan yang berlebihan dalam diri kita seperti keinginan makan berlebih, keinginan pada glamoritas dan semua keinginan-keinginan  yang duniawi dan berlebihan itu, setelah itu tentu kita bisa merasa lebih bahagia.
Walau aturan adat sangat ketat, realitasnya kesederhanaan adalah hasil akhir yang memperlihatkan betapa budaya mereka tak tergoyahkan. Suku badui menyegarkan pikiran kita tentang pelajaran sederhana meski tidak harus sesederhana kehidupan mereka. Wallahu A’lam Bis shawab
.


[1]  Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta.  Aktifis CENTER (Komunitas Guru Untuk Pembentukan Karakter Bangsa). Alamat Jl Sarang bango No 2 Marunda Cilincing. E-mail:tirta_pawitra@yahoo.co.id. telp 02141872917




Sabtu, 11 Februari 2012

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Beberapa waktu lalu, pendidikan Indonesia dihebohkan dengan karya kreatif anak SMK di Solo yang telah membuat mobil kiat esemka. Serta merta karya kreatif ini memicu sekolah lain melakukan hal yang sama. Dalam konteks pembelajaran, anak-anak SMK itu tak perlu lagi bertanya apa artinya belajar materi “luas lingkaran” sebab mereka sudah merasakan arti atau manfaat materi “Luas Lingkaran” itu saat mereka membuat spare part roda di mobil karyanya. Mereka telah merasakan bahwa proses pembelajaran yang telah ditempuhnya tidaklah sia-sia, pembelajaran yang telah mereka lakukan telah memberinya makna. Inilah sisi mendasar yang mesti disadari bagaimana guru dapat merancang pembelajaran yang benar-benar bermakna.
Pembelajaran bermakna adalah tujuan dari narasi besar kegiatan pembelajaran yang disebut inovasi. Inovasi apapun yang dilakukan oleh guru tentu akan diapresiasi sebagai produktifitas dalam pembelajaran. Artinya ada sesuatu yang diupayakan demi peningkatan proses pembelajaran. Inovasi adalah adalah karya guru sehingga dengan inovasi tersebut kelas pembelajarannya menjadi menarik dan tidak membosankan. Belajar tidak harus dalam kelas tapi dapat dilakukan diluar kelas (Learning Out Door). Itu adalah satu bentuk inovasi pembelajaran dengan segala variasi yang bisa dikembangkan. Masih banyak metode dan ide-ide kreatif lain yang mampu memicu motivasi dalam pembelajaran.
Senada dengan semangat inovasi pembelajaran tersebut, Elaine B. Johnson, penulis buku Contextual Teaching Learning menyuguhkan konsep Pembelajaran Kontekstual. Contekstual Teaching Learning adalah konsep pembelajaran yang mengandaikan pembelajaran sebagai sebuah proses memahami sesuatu yang nyata, bukan teori ataupun materi yang mengawang-awang. Sehingga materi-materi yang diajarkan bisa dikontekstualisasikan dengan kondisi yang sebenarnya. Bukan pula materi yang hanya dihafal yang hanya menyentuh aspek kognitif peserta didik. Sementara aspek pendidikan masih menyisakan dua ranah lain yang juga sangat penting dalam capain pendidikan kita.
Ada beberapa asumsi yang melatar belakangi mengapa Contextual Teaching Learning atau pembelajaran kontekstual ini menjadi hal yang penting dilakukan dalam kelas pembelajaran kita. Pertama, kelas tradisional yang masih menyisakan sisi negatif yaitu proses belajar yang justru memenjara kreatifitas anak. Asumsi ini meyakini bahwa setiap anak bisa berkembang dengan gaya dan potensinya masing dengan cara pengelolaan pembelajaran yang tidak monoton. Kelas tradisional yang ada selama ini hanya meyakini pembelajaran dari satu arah, teacher oriented, artinya guru sebagai pusat pembelajaran.
Kedua, asumsi yang mendasarkan pada Tantangan Kontekstual. Asumsi ini menuntut kecerdasan guru dalam melihat realitas konteks yaitu lingkungan social, politik dan budaya sebagai sumber utama inovasi ini. Maka seorang guru dalam metode Contextual Teaching Learning (CTL) ini dituntut untuk selalu meng-up-date pengetahuan dan wawasannya tentang situasi lingkungan dan kebutuhan sosialnya agar dapat dijadikan modal pembelajaran.
Contoh beberapa bentuk penerapan metode CTL yang bisa dilaksanakan misalnya kelas kita bisa dimodifikasi sebagai tempat atau ajang kompetisi Cerdas Cermat dengan men-setting ruang kelas kita menjadi ruang Perlombaan Cerdas Cermat. Guru bisa menjadi sutradara, nara sumber atau juri dalam cerdas cermat itu. Supaya tidak terkesan seolah guru yang bekerja sendiri, libatkan anak dalam merancang perlombaan itu, dengan begitu kita justru telah merangsang potensi lain dalam diri anak didik, misalnya inisiatif, leadership dan kreatifitas anak.
Bentuk-bentuk inovasi CTL yang lain misalnya anak dapat membuat film dokumenter atau kunjungan ke suku pedalaman Badui, kunjungan Museum untuk pembelajaran sejarah. Anak juga bisa melakukan kajian perpustakaan dengan Modul yang telah disediakan guru untuk pembelajaran bahasa dan sastra. Anak diajak untuk melakukan praktek membuat suatu karya yang terkait dengan mata pelajarannya masing-masing sebab pembelajaran kontekstual justru sangat mendorong lahirnya karya-karya kreatif yang muncul dari peserta didik itu sendiri sebagaimana yang diperlihatkan SMK Solo dengan Kiat Esemka-nya.
Intinya selama pembelajaran itu dirancang atau dikontekstualisasikan dengan potensi di lingkungan atau kebutuhan masyarakatnya, ia masuk kategori Pembelajaran Kontekstual. Setiap sekolah memiliki potensi atau karakter wilayah yang berbeda. Sebagai contoh potensi sekolah Muhammadiyah dalam film Laskar Pelangi berbeda dengan potensi sekolah di wilayah yang lain. Demikian halnya potensi sekolah di daerah perkotaan tentu berbeda dengan potensi sekolah yang ada di wilayah pedesaan. Masih-masing sekolah itu memiliki laboratorium alam sesuai dengan karakter wilayah atau lingkungannya.
Tidak harus dengan bahan mahal sebab CTL atau pembelajaran kontekstual hanya yakin pada satu prinsip konteks berarti kondisi lingkungannya. Lingkungan sekitar sekolahnya adalah Bahan Sumber Pembelajaran yang tersedia sangat melimpah. Alam disekitar kita adalah Media pembelajaran yang alami dan tidak memerlukan biaya besar untuk mengadakannya. Lingkungan Persawahan yang luas adalah Pusat Sumber Belajar yang sangat memadai untuk seorang anak belajar tentang banyak hal terutama dalam hal ini dapat digunakan dalam pembelajaran Biologi. Atau kehidupan Nelayan yang ada di sekitar kita adalah juga Sumber Belajar yang sangat berarti untuk melaksanakan kegiatan Pembelajaran Sosiologi ataupun Pembelajaran Ekonomi.
Ajak anak-anak kita keluar kelas dan kuatkan pemahaman mereka tentang fenomena lingkungan dengan dasar keilmuan sesuai materi pelajaran. Setiap sekolah yang memiliki kekayaan alam yang dapat dijadikan bahan pembelajaran seperti lahan luas, sawah yang menghampar dan aneka tanaman yang menjuntai di depan atau belakang sekolah. Sawah atau alam itu adalah laboratorium alam, dimana anak dapat melakukan pengamatan langsung untuk memahami sebuah materi ajar.
Melihat dan menimbang untuk penyelenggaraan inovasi ini, semestinya tidak ada kendala sebab selain bahannya sudah tersedia di alam atau murah meriah. Jika itu masih memberatkan, anak dapat dilibatkan dalam proses pembelajaran ini. Umumnya keengganan kita, nyata-nyata menjadi kendala pertama mengapa Pembelajaran Kontekstual menjadi terabaikan. Sementara kelas pembelajaran kita saat ini sedang dalam kondisi yang memprihatinkan. Kelas pembelajaran kita membutuhkan tangan-tangan kreatif agar pembelajaran tidak membosankan.
Jangan lupa, ajak juga anak-anak kita untuk melihat kondisi kawan-kawan atau anak seumuran mereka yang tidak seberuntung mereka karena masih ada yang belum sekolah, dengan mengunjungi daerah-daerah kumuh atau masyarakat minus dimana mereka tinggal di gubuk-gubuk berbahan seng bahkan kardus. Semata agar mereka dapat belajar apa artinya ber-syukur

Rabu, 01 Februari 2012

PENGETAHUAN MELALUI TANDA


PENGETAHUAN MELALUI TANDA
Oleh: Arif Budiman[1]
Makalah ini ditulis berdasarkan inspirasi yang muncul saat diskusi Filsafat Islam II bersama Bapak Musa Kazim, tepat ketika membahas bantahan balik Murtadha Mutahari terhadap karya Sigmund Freud yang sesungguhnya malah mendukung konsep keberadaan Tuhan. Yaitu pembahasannya tentang Alam Sadar dan Alam bawah Sadar. Saya ingin memfokuskan kajian ini pada metode Ilmiah, atau cara untuk mendapatkan Ilmu pengetahuan yang lazim disebut dengan istilah Epistimologi. Ketika itu pembahasan sebetulnya harus teruju pada Mental Faculty-nya Ibnu Sina, tapi diskusi berkembang pada gagasan Pengetahuan melalui tanda yang dibangun oleh Ulama yang Filosof Murtadha Muttahari.
Krisis Ilmu Pengetahuan
Problem besar dalam bangunan ilmu saat ini adalah saat peran ilmu sebagai sarana manusia menggapai tujuannya tidak berjalan dengan baik. Ada problem besar di tingkat epistimologi yaitu struktur di dalam bangunan ilmu yang mengurai asal-mula ilmu. Epistimologi kita belum mampu menjawab secara memuaskan tentang bagaimana transendentalitas dapat dijabarkan. Epistimologi kita juga belum mampu mengakomodasi objek-objek transenden sebagai sasaran kaji ilmu. Contoh, ada orang yang memandang agama sebagai ilmu, disaat yang sama orang tidak menerima agama itu sebagai ilmu, contohnya transendentalitas Tuhan. Maka yang terjadi, Epistimologi tidak pernah berpihak secara fair pada aspek ke-Tuhanan. Padahal, transendentalitas adalah unsur yang sangat fundamental dalam berkeyakinan. Ketidakmampuan epistimologi dalam menjawab problem transendentalitas ini harus segera disadari sebagai problem besar peradaban.
Metode Ilmiah
Metode Ilmiah adalah bagian yang sangat penting dalam mendapatkan Epistimologi. Begitu esensi dan pentingnya metode ini, sehingga metode yang salah dapat menyebabkan kesalahan pada ilmu yang didapatnya. Itulah logika sederhana saat metode ilmu diyakini sebagai cara untuk mendapatkan ilmu. Metode ilmiah tidak memiliki mekanisme yang jelas dalam mengkaji ilmu-ilmu agama atau hal yang terkait dengan agama. Metode Ilmiah tidak berpihak pada agama . Saat kita ingin membantah dengan tegas kecongkakkan pandangan materialisme yang tidak mengakui adanya Tuhan. Realitas Tuhan terabaikan dalam system atau metode ilmiah. Adakah wujud tuhan diobjektifikasikan….?. Tentu ini sangat sulit, itulah sebabnya mengapa Metode Ilmiah tidak berpihak pada Agama karena eksistensi Tuhan sebagai konsep tak mampu dijelaskan secara ilmiah.
Mengapa Metode Ilmiah penting? sebab metode ilmiah adalah proses dimana ilmu pengetahuan itu didapat. Istilah metode senada dengan teknik, cara atau juga disebut jalan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Sehingga dalam hal ini titik focus dari metode adalah tahap-tahap yang harus ditempuh dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Surya Sumantri membuat tahapan-tahapan dalam ilmu pengetahuan sebagai berikut. Menyusun kerangka berpikir, membuat hipotesis, menyimpulkan benar atau salah hingga pada tahap pengethuan itu benar atau tidak. Jika benar maka akan masuk sebagai khasanah ilmu pengetahuan jika tidak maka pengethuan itu tidak bias masuk dalam khasanah ilmu pengetahuan sebab tidak bias dibuktikan.
Objek Pengetahuan
Agama adalah sebuah definisi yang sulit untuk diungkap dan menemui perdebatan yang tak berkesudahan. Tetapi jika kita mengambil salah satu unsure dalam agama misalnya adalah soal transendentalitas Tuhan, zat yang tak bisa dijamah alam fisik manusia. Maka upaya untuk memahaminya menggunakan metode ilmiah akan menghasilkan sosok Tuhan tak punya arti bahkan Tuhan telah mati sebagaimana dimaksud oleh Nieztsche[2]. Tuhan tidak ada, maka lahirlah atheisme (baca: keyakinan tanpa Tuhan). Tuhan kemudian diderivasikan kepada struktur nilai antroposentris seperti keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Itulah tafsir kalangan Atheisme saat dirinya ingin mengatakan bahwa dirinya bertuhan, Tuhannya ya keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Saat mereka memperjuangkan itu semua, saat itulah ia sedang ber-Tuhan.
Alat analisis yang digunakan atau argumen yang dibangun adalah sebuah keyakinan bahwa ber-Tuhan dan ber-agama adalah tindakan ilmiah. Realitasnya agama banyak ditolak hingga pada sebuah aksioma bahwa agama adalah candu, Tuhan tidak ada. Dan banyak pemikiran yang senada dengan ini yang pada intinya menolak keberdaan Tuhan. Pembuktian empiris terhadap atau tidak adanya Tuhan tidak dapat dilakukan. Karena Tuhan adalah objek Metafisik yang tidak dapat dicerap Indrawi manusia. Oleh karena itu jika keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan cara tersebut, maka tidak dapat disimpulkan begitu saja Tuhan tidak ada.[3]
Maka argument ini dibangun dari sebuah keyakinan bahwa Tuhan adalah ilmu, Tuhan adalah ada. Dan keberadaannya dapat dibuktikan. Metode Ilmu seperti aliran empirisisme tidak mampu menjawab keberadaan Tuhan. Sebab metode ini menekankan pada aspek anthroposentris yaitu menekankan manusia sebagai sentral analisis artinya manusia adalah puncak penilaian. Padahal diluar aspek kemanusiaan itu ada aspek ketuhanan yang sangat mendasar sekali yang jika itu diabaikan maka akan melahirkan manusia yang kering dan miskin dalam kebahagiaan atau manusia tanpa nilai, seperti contoh yang dihasilkan manusia Modern dan mencoba mengambil bentuk Post Modern dan tak mampu menjawab kekeringan diri yang dialaminya. Usulan dan kritik ditujukan pada Metode Ilmiah.
Pengetahuan Melalui Tanda
Saya ingin mengawali gagasan Murtadho Muttahari ini dengan sedikit membahas apa yang didiskusikan dalam Filsafat Islam II yaitu soal gagasan Freud tentang alam sadar dan alam bawah sadar. Bagian sadara adalah bagian yang diketahui manusia sejak dulu. Berbagai bagian dari jiwa dan roh yang kita dapat merasakan keberadaannya dan kita menyadari akan keberadaannya.
Menurut Freud seluruh apa yang ada dalam alam bawah sadar adalah pelarian dari jiwa sadar yang kemudian menetap di suatu kawasan tertentu. Menurut Freud jiwa sadar berada pada tempat yang remeh dan ringan. Sementara alam bawah sadar berada paa tempat atau posisi yang penting. Perumpamaan keduanya alam sadar dan bawah sadar seperti semangka yang mengapung di air. Permukaan yang menyembul dari semangka di permuaan itulah yang dinamakan bagian jiwa sadar, sementara tubuh utama dari semangka yang tersimpan dalam air itulah yang dinamakan alam bawah sadar. Ini meunjukan bahwa alam bawah sadar sangat penting dan fundamental
Harus ada perubahan fundamental dalam arti metodologi, dan umumnya secara epistemology yaitu bagaimana metode Ilmu yang ada juga mampu menjawab dan memiliki kesimpulamn yang sama bahwa Tuhan Itu ada. Saat ada Metode seperti ini, maka penulis yakin bahwa Peradaban dan ilmu Pengetahuan akan diisi dengan orang-orang yang percaya dengan Tuhan dengan pemahaman yang Filosofi epitimologis artinya memiliki dasar yang kuat. Bukan agama doktriner yang lebih banyak menimbulkan ketakutan dan menjadikan manusia menjadi enggan beragama.
Jadi tahap yang semestinya dilakukan dalam membangun pardigma keilmuan adalah. Pertama membangun paradigma yang sama tentang apa itu ilmu pengetahuan, Kedua membangun metode yang sesuai dengan pardigma itu. Ketiga merekonstruksi kembali pandangan empirisisme, menjadi pandangan yang memiliki criteria keagamaan walau Sulit. Terutama saat membahas transendentalitas. Artinya membangun sebuah metode yang mampu menangkap hal-hal yang abstrak diluar akal dan itu bukan kemudian jadi alas an untuk lari dan abai dengan Agama. Sebab bagaimanapun juga agama adalah Ilmiah.
Ulama dan Filosof, Ayatullah Murtadha Muttahari menyodorkan ide yang sangat brilian tentang pengetahuan melalui tanda. Menurut beliau sebagaimana yang tekandung di dalam Al-Quran bahwa alam semesta ini sebagai tanda guna memperoleh pengetahuan Metafisik. Bantahan balik Ayatullah Murtada Muttahari pada gagasan Sigmund Freud merupakan bukti yang nyata betapa alam bawah sadar adalah dimensi yang dominan dalam diri manusia. Sebab ia ada.[4]
Pengethuan Melalui Tanda ini adalah kesadaran tentang potensi insaniah. Bukan hanya akal yang dipunya manusia. Manusia juga punya hati yang mampu mengukur tentang segala sesuatu yang ada dihadapannya. Yaitu dengan melakukan pembersihan hati atau Tazkiyatun Nafs. Pengetahuan Melalui tanda berupaya membongkar kesombongan intelektual yang lupa dengan nilai religius. Pengetahuan melalui tanda adalah gagasan yang menyodorkan sisi dasar manusia yang utama, untuk selanjutnya menjadi bagian dalam proyek pembangunan ilmu pengetahuan yang mampu menjadikan manusia sadar dan dekat pada Allah SWT. Wallahu Alam Bishawab.










MAKALAH



Dosen: Dr. Musa Kazim


ISLAMIC PHILOSOPHY II



 Arif Budiman



ISLAMIC PHILOSOPHY PROGRAM
batik6


[1] Arif Budiman, Mahasiswa S2 ICAS-PARAMADINA Jakarta. Saat ini tinggal di Kp. Sarang Bango Marunda Cilincing Jakarta Utara.
[2] Nietsche, Genealogi Moral
[3] Lihat,Makalah Pengalaman rasional Eksistensi Tuhan: Pengantar Ontoteology. Fariz pari. State islamic University Syarif Hidayatullah jakarta.
[4] Ayatullah Murtada Muttahari, Pengantar Epistimologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistimologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi pandangan Dunia. Jakarta: Shadra Press. 2010

Cari Blog Ini