Kamis, 14 November 2013

KAPAL TITANIC DI NEGERI SWARNA DWIPA



KISAH TITANIC DI NEGERI 
SWARNA DWIPA[1]
Oleh: Arif Budiman

Sosoknya kini bertenger jelas di mataku yang sesungguhnya sedang sangat lelah. Gadis diam yang matanya tajam menatap hamparan luas laut di selat Sunda itu sedang sangat kupikirkan. Ia yang pertama kulihat keluar mobil dalam kondisi hujan. Ia gadis pecinta hujan itu. Ia sedang sangat nyata di depan mata ini. Selendang Coklat berseling warna ungu yang sering dikenakannya, kini ada di tanganku. Selendang itu tertinggal di kursi dak belakang kapal "Indonesian Fery ASDP".
Malam senin itu, kami telah sampai di Jakarta, kubuka Google Earth, sekedar ingin tahu persisnya wilayah Kotabumi, Lampung Utara. Loading pencarian Google cukup lama. Gambar karakter topografinya belum terlihat. Nampaknya Google Earth belum memiliki photo yang detail tentang wilayah ini. Atau mungkin Google Earth tak mampu menjangkau wilayah yang jauh terpencil ini. 

Jam menunjuk angka 00.00. saat dimana aku lebih ingin membaringkan tubuh ini di atas kasur empuk di rumah sana. Namun malam memaksaku nginap di Sekolah. Pak Yuswanto juga menginap di sekolah. Dalam kondisi lelah itu, sesekali muncul keinginan untuk mengguyur tubuh ini dengan air bak yang dingin di kamar mandi sana. Tapi pertimbangan kesehatan menahanku untuk melakukannya. Berjam-jam di jalan membuat tubuh ini sangat lepek dan tidak nyaman. Hingga malam kian larut, aku belum melakukan apapun kecuali membuka Laptop ini dan mengingati sebuah perjalanan indah pertamaku menuju Sumatra.

Inilah perjalanan pertamaku ke Sumatra itu. Tentu tidak sehebat kawan-kawanku yang berpose saat jalan ke pulau-pulau luar Jawa yang lain, seperti ke Ambon, Kalimantan atau tempat jauh lainnya. Atau pergi ke luar negeri dan berphoto dengan setting menara Eifel di Prancis. Atau Mas Yuki, temen SMA yang berphoto dengan setting bukit salju saat dirinya kunjungan di Australia.
Ini perjalanan ke Sumatra, masih negara sendiri yang mungkin akan dinilai biasa tapi bagiku sangat luar biasa.

Sebagai bukti pernah kesana, sepertinya menjadi keharusan untuk agak sedikit narsis dan berusaha pasang mimik atau pose terbaik di atas kapal Fery, atau sengaja berhenti di taman-taman kota di jalur menuju Lampung Utara. Itulah sebabnya mengapa peran Pak Soiman menjadi sangat sentral untuk mendokumentasikan perjalanan kami  yang sangat special ini.

Kami berempat Saya, Pak Yuswanto, Pak Harjo dan Soiman berangkat dari Jakarta pukul 20.30.
Ini adalah kesempatan yang baik bagi kami. Aku tak banyak tahu Sumatra. Aku hanya tahu kalo disana ada Pak De yang sudah lama bertransmigrasi bahkan sebelum beliau menikah. Anak cucunya kini telah menjadi orang-orang berhasil di sana. Beliau bukan transmigran Lampung, melainkan  yaitu transmigran kabupaten Siak (Riau).

Jam 20.30 adalah waktu yang ditentukan untuk kami berangkat. Pak Yuswanto telah siap dengan mobilnya yang saat aku datang sudah terparkir di halaman Sekolah. Tak berapa lama, Mas Harjo dan Pak Soiman datang. Taka lama, pemberangkatan kami pun dimulai. Saat hendak memasuki pintu Tol, Pak Yuswanto mengatakan "Serius Nih mau Ke Sumatra?" Dengan Nada Canda atau ungkapan yang sesungguhnya ada pada kami yatu betapa pergi keluar pulau adalah sesuatu yang sangat baru. Ada perasaan percaya dan tidak percaya. Artinya perjalanan ke Sumatra ini buat kami sangat spesial.

Mobil telah melaju di Jalur Tol Jakarta Cilegon. Kami telah mantap menuju kesana, merambahi hutan Sumatra. Buat sebagian orang mungkin akan bertanya, apa sih menariknya pergi ke Sumatara?. bagi saya pribadi, ini akan menjadi perjalanan yang akan sangat luar biasa. Belum tentu di waktu lain akan dapati kesempatan yang sama. Makanya aku merasa bersyukur mendapat kesempatan atau ajakan Pak Yuswanto.


Bertahun-tahun dengar istilah Pelabuhan Merak-Bakauheni disebut-sebut, tapi tak pernah melihat secara langsung seperti apa dan bagaimana? Pelabuhan itu menjadi catatan penting bagi saya, karena ini akan menjadi pengalaman baru. Terlebih penyeberangan dari Pelabuhan Merak menuju Bakauheni. Selama ini hanya Jawa, Jakarta atau Bandung. Belum pernah sekalipun menjejakan kaki di bumi Swarna Dwipa.
Apa yang kita dengar ternyata berbeda dengan apa yang kita pikirkan.
Penggambaran apapun bahkan photo dan vidio tak akan mampu menjelaskan secara utuh sebuah realitas (baca: Lampung atau Sumatera), karenanya pertemuan langsung adalah media utama untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya. Bahasa, gambar dan photo tidak pernah bisa secara sempurna mewakili apa yang terkandung dalam satu fenomena yang sesungguhnya lebih indah, bahkan kata-kata seringkali gagal mengungkapkan keindahan esensinya.

Kami mulai menyeberang Selat Sunda pada pukul 02.00 pagi. Tak terlalu banyak mobil atau penumpang disana. Setelah mobil di parkir, kami masuk ruang ber-AC, dan tak bisa menikmati laut selat Sunda karena suasana yang masih gelap. Hanya lampu-lampu memancar dari bibir pantai dan juga kapal-kapal yang melintas. Pukul 05.00 kapal merapat di pelabuhan Bakauheni. Seperti di awal sudah saya sampaikan, rasanya dokumentasi Photo tidak boleh dilewatkan. Pak Soiman paling banyak berphoto, kayaknya beliau paling suka berphoto-photo-ria. Dari arah Timur, terbit dengan rona yang sangat Indah, Sang mentari pagi. Sejuk udara pelabuhan seketika memenuhi rongga dada. Subhanallah, betapa Indahnya Pelabuhan Bakauheni di pagi hari. Malamnya kami tertidur dalam kapal, pengin lihat suasana luar juga sia-sia, hanya lampu kapal lain (mercusuar) yang terlihat dan kapal yang bergerak perlahan. Pagi hari pemandangannnya baru terlihat jelas. Sangat Indah. Subhanallah. 

Di arah barat di atas bukit, berdiri maskot kota Lampung yaitu Menara Siger berbentuk topi adat Lampung. Saat kapal bersandar di bumi Sumatra, SAAT ITU JIWA INI MENGEMBARA DI BUMI SWARNADWIPA

Inilah yang yang dinanti. Injakan kaki pertama di bumi Sumatra yang dalam ramalan Jayabaya disebut dengan Swarna Dwipa (artinya Sumatra yang kaya dengan Emas/Makmur). Insya Allah, hakikat Jiwa adalah pengembara, ia akan selalu mencari dan menggapai cita-citanya yang abadi. Bisa jadi Swarna Dwipa dalam perjalanan kali ini adalah jalan dan petunjuk untuk semakin menggapai-Nya. Mencintai-Nya. dan Mengibadahi-Nya. Amin.

“Semoga suatu hari nanti pak Tirta tidak saja menginjakkan di bumi Swarna Dwipa bagian selatan saja tapi juga sampai belahan Swarna Dwipa bagian utara tempat saya tinggal sekarang” Kata seorang Kawan Lama satu jurusan yang kubaca di akun FB.

Begitu ban Mobil menggilas tanah Sumatra dan berhenti untuk Istirahat, sengaja kubuka sepatu sendal dan kubiarkan kulit kaki ini menyentuh langsung Bumi Sumatra yang kaya ini. Di depan kami berhenti, terpampang wajahgagah nan kekar Gunung Rajabasa. Itulah Injakan kakiku yang pertama di Bumi Sumatra.

“Selamat Datang di Bumi Sumatra. Itulah sambutan yang kudengar dari bukit-bukit yang cantik serta tanah yang luas. Juga angin sejuk yang yang berhembus menyapa”.

Sobat, tempat yang kutuju sesungguhnya adalah tempat orang tua pak Yuswanto yang hari itu adalah hari kepulangan Jamaah Haji Kloter Sumatra Selatan (Lampung). Ke sanalah laju mobil yang kutumpaki ini akan menuju. Tempat terpencil, tempat yang hanya ditumbuhi pohon karet, Kelapa Sawit dan Juga Singkong, menghampar sepanjang dan sejauh mata memandang.

Perjalanan panjang kami dari jam 05.30 pelabuhan Bakauheni, menempuhi jalan yang panjang, menanjak dan menuruni bukit Bandar Lampung, pelabuhan pertama Lampung yang kini telah berpindah di bakauheni. Di Bandar lampung pemandangan Pelabuhan tampak begitu Indahnya.


Air bening di pelabuhan Bakauheni begitu indah. Sejuta ikan dan aneka tanaman, kuyakin tersebar di tiap kedalamannya. Hijau warna air memperlihatkan keyakinan itu. Beberapa perahu nelayan kecil terlihat melintas, tentu pagi ini mereka tengah menuju pulang setelah semalaman merambah lautan menjala atau menjaring ikan. Lampu penerang yang digunakannya kulihat masih menyala.

Sesudah merasakan semua keindahan itu, kini aku justru sedang merasakan hal lain yang sangat mendalam. Aku tak bisa membayangkan andai tubuh ini dilempar Tuhan di genangan air tenang dalam itu,,, Apalah artinya diri hamba yang  dipenuhi dosa ini..??

Kata Soiman, "Ini baru secuil Indonesia, tapi keindahannya sangat Luar Biasa. Bagaimana dengan Bumi Indonesia yang lain.??? bagaimana pula dengan Keindahan di seantero dunia?? Subhanallah. Tasbih dan Takbirku sebentar-sebentar tercipta dari mulut ini merasai dan mengagumi karya Cipta-Nya.

Saat kapal mulai bersandar, kami telah ada di luar ruang AC yang kami tempati semalam. Kami nurut dengan apa yang disediakan pak Yuswanto. Kulihat beliau sangat menservis kami. Karya ini juga sekaligus ucapan terimakasih kami kepada beliau. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberkahinya. Pak Yuswanto sengaja membayar ruang ber-AC sebab beliau sering mabuk air laut dan tak tahan dengan goyangan kapal. Di bibir kapal, beliau katakan Ini baru ujungnya Indonesia. Dan masih banyak wilayah atau daerah yang lain di Sumatra ini yang kaya. Dan anehnya, negeri yang kaya ini hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu, bahkan orang asing. Orang pribumi tak punya akses yang luas untuk memanfaatkan kekayaannya.

Dari tepi pelabuhan Bakauheni, kulihat Gunung Rajabasa bertengger dengan kegagahannya. Dibalut kabut tipis yang dingin memberi kesan kebersahajaan dan kedamaian. Sepanjang jalan dari Bakauheni, kami disuguhi lukisan Indah dan kekayaan melimpah yang menjadikan Pak Harjo bersedia meninggalkan Jakarta dan rela tinggal disana. Pepohonan menghijau, hasil pertanian melimpah ruah, Pohon pisang berjajar, menyajikan kemakmuran bukan kemiskinnan, bukan pula kelaparan sebab tanah yang subur ini siap menumbuhkan segala macam tanaman yang mensejahterakan dan menghidupkan..

Jam 10.30. Di warung sate sederhana, kami berhenti sesaat. Untuk sekedar makan, padahal hari masih pagi, Sepertinya makan itu lebih dikarenakan aku yang tak mau ikut sarapan saat di Bakauheni. Karena seperti biasa aku tak makan pagi. Paling Ngopi atau minum secangkir teh manis ditemani gorengan atau cemilan-cemilan lain sejenisnya.

Sang penjual sate di warung ini ternyata orang Jawa. Sebab saat pak Yuswanto ngobrol dengan Sang Penual menggunakan bahasa Jawa yang sangat fasih. “Dia orang Jawa. Katanya banyak transmigran di Lampung yang berasal dari Jawa. Kebanyakan Jawa Timur. Katanya. “Ohh gitu ya pak. Dan kenyang adalah realitas yang harus diterima. dan perjalanan kami dilanutkan.
Saat di perjalanan, hujan turun, mengingatkanku pada sosok yang selama ini kupikirkan. Rupanya aku terkantuk-kantuk, Tak berapa lama tiba-tiba mobil berhenti dan kulihat sosok Indah yang Diam di depan Mobil sedan warna hitam. Ia hanya diam. Ia tak banyak berbicara. Ia tetap diam. Aku tak bisa lepas dari melihatnya. Aku seperti sangat mengenalnya. Ia yang selalu kupikirkan.

Tiba-tiba bayangan tubuhnya menghilang saat pak Yus membuka dan masuk mobil dan berkata. "Sesaat lagi sampai di Bandar Lampung..!!" Gunung Rajabasa yang kekar itu kini tentu sedang dibekap dingin yang mendalam. Dan aku kehilangan sosoknya. Aku tak bisa memburu dan mengejarnya. Tak beberapa lama, perjalanan ini dilanjutkan.


Dalam perjalanan itu, aku tak bicara. Pikiranku masih tertuju pada sosok diam dan dingin yang beberapa saat lalu kusaksikan. Ia sangat diam, sesekali menitik air mata di tengah hujan yang mengguyurnya. Aku tak tahu apa yang ia renungkan. Ia seperti orang ragu yang menanati sebuah kepastian. Sesekali tatap wajahnya ke arahku dan seuntai harapan memancar darinya. Aku kembali kehilangan dirinya. Bayangannya menjeratku dalam keyakinan insaniah (cinta). Aku terjerat padanya, bahkan sejak rintik hujan mengguyurnya.

Rasa kantuk kadang-kadang menyerang sangat kuat. Padahal aku sudah bilang ke Pak Yuswantoro untuk tidak makan. Tapi beliau memaksa. Dan memang perjalanan masih sangat panjang. Sengaja agar aku tidak ngantuk. Aku ingin tetap terjaga saat pak Yuswantoro lelah dan mengantuk dan siap menggantikannya. Tapi beliau tidak pernah mau digantikan menyupir. Katanya jika bepergian tidak menyetir akan membuatnya mual dan atau muntah. Maka aku hanya menemaninya menjadi navigator.

Hujan masih mengguyur dengan deras saat memasuki wilayah Bandar Lampung. Setting pelabuhan dan deretan bukit yang berbaris sangat Indah, itulah sebabnya deretan pegunungan di Pulau Sumatra ini disebut Bukit Barisan. Bukit yang Elok serta asri. Berbukit dan disana terlihat pembangunan rumah-rumah besar diatas bukit. Pemandangan ini akan menyeretku untuk ingin dan ingin selalu dating ke tempat ini. 
Dan kini aku masih memikirkan Gadis Diam saat rintik hujan mengguyur tubuhnya.

Jam 14.00, kami masih di perjalanan. Jalan panjang lurus bahkan lebih lurus dibandingkan jalan tol Jakarta Cikampek, banyak terlihat dan kutemui sepanjang jalan menuju Lampung Utara. Pak Yuswanto mulai bercerita masa lalunya. Kisah masa yang lalu yang membuatnya ingin tertawa sendiri. Katanya jika ada orang sekarang masih ngeluh dengan keadaannya, itu belum seberapa dengan kondisi dan perjuangan keluarganya dan dirinya saat harus memutuskan untuk pindah ke Lampung utara. Bukan sebagai transmigran yang dijamin pemerintah dengan beragam fasilitas mulai dari rumah sampai tanah yang luasnya ber hektar-hektar.

Saat berbelok di satu tikungan, atau tepatnya pertigaan dan memasuki pintu rel tak berpintu beliau katakan” dulu kami, saya dan Ibu jalan di sepanjang jalan ini. Dan jalannya bukan jalan aspal seperti saat ini. Jalannya masih berbatu. Sembari mengatakan nanti di ujung jalan ini akan saya tunjukkan betapa jauh jalan yang ditempuh untuk hanya menuju kota dan menjual ayam. Dulu selain sebagai petani, keluarganya juga berdagang ayam.

Sepertinya ada kisah lebih pahit yang ia tak mau sampaikan. Akhirnya beliau hanya cerita hal-hal lucu dan heroic di matanya tentang berjuang di tengah hutan Lampung sebab Lampung yang dulu sangat berbeda dengan Lampung yang sekarang. Berjuang dan memulai kehidupan baru di tengah kehidupan para transmigran yang telah memiliki lahan yang luas dan juga unit-unit usaha. Beliau sesungguhnya masih sangat berharap agar kedua orang tuanya dapat kembali ke Jawa.

Saya yakin bukan karena persoalan perbedaan budaya, tapi lebih kepada pertimbangan, bagaimana jika kedua orang tuanya jatuh sakit. Siapa yang akan mengurusnya. Anak-anak dan keluarganya banyak tinggal di Jawa.

Itu aja Mas, saya kepingin saat Ibu atau bapak Sakit, kami juga akan lebih mudah mengurusnya. Di jawa keluarga, adik dan tetangganya banyak. Itu alas an saya mengapa saya bersikeras agar bapak dan Ibu bisa pulang ke Jawa.

“Jadi selesai Haji ini, Bapak mau langsung diboyong ke Jawa”. Kubertanya. 

“Iya tapi bukan waktu-waktu ini. Biarkan urusan-urusannya disini diselesaikan. Katanya melanjutkan. Saat ditanya apa sebenarnya yang melatar belakangi pak Yus dan keluarga harus pindah ke Lampung, apalagi saat itu pak Yus kalo tidak salah baru masuk kuliah semester 1.?

Begini Mas, Kehidupan kami awalnya adalah kehidupan yang diberi karunia nikmat serba kecukupan. Sejak proyek SD bapak bermasalah saat itu, bapak merasa kecewa dan memilih pindah ke Sumatra.” Itu cerita atau penjelasan singkat pak Yuswanto, tapi beliau tidak menjelaskan lebih dalam soal kontrak yang gagal saat pembangunan SD dulu.

Tapi itu biarlah tak sempurna beliau ceritakan masa lalunya. "Yang penting hari ini keluarga kami telah berhasil. Enam Kios besar berjajar. Sebuah minimarket serta beberapa hektar tanah dan kebun karet tentu sangat mencukupi. Ortu pak Yuswanto adalah salah satu orang yang memiliki tanah yang luas berikut Kebon karet dan Sawitnya. Tak heran jika, kedua orang tuanya bisa ikut ber-haji menunaukan Ibadah (rukun Islam) kelima.

Bagi orang Lampung (transmigran), umumnya mendapatkan uang besar itu bukan hal sulit. Hasil panennya mampu untuk membeli sebuah mobil mewah dan lebih dari itu. Terutama para petani yang telah mapan dan lahannya luas. Sayangnya lahan dan kebun kelapa sawit atau kebon karet yang dimiliki tak sedikit telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing atau orang Jakarta. Akibatnya penduduk pribumi merasa tidak mendapat apa-apa di tengah kehidupannya sendiri. Tanpa tanah dan tanpa kehidupan yang layak. Ini yang menimbulkan kecemburuan (kerusuhan)

Punggung, pinggul sudah terasa pegal-pegal. Namun rumah yang dituju belum juga terlihat. Masih jauh Pak..?. Tanya pak Soiman di sela. Pak Yuswan hanya menjawab sebentar lagi sampai.

Kayaknya bapak udah bilang kata itu ada 5/6 kali deh pak. Sob pembaca, ini memang perjalanan cukup panjang dan melelahkan. Deretan satuan pemukiman transmigran yang lama telah dilewati. Kini memasuki wilayah atau Satuan-Satuan Pemukiman yang lain yang masih sangat pedalaman. Di sepanjang jalan ini, terlihat hamparan pohon Sawit demikian luasnya, sejauh mata memandang yang ada hanyalah Pohon sawit. Di Kilometer berikutnya, ditemuai kebun karet yang menghampar.

Di areal inilah kami serasa memasuki wilayah pedalaman yang sesungguhnya. Makanya saat Jalan sudah mulai menemui jalan rusak berbatu. Mobil pun harus berjalan pelan untuk mencapai tujuan, aku katakana pada kawan-kawan Guru saat itu. “Petualangan Dimulai” sebab inilah nikmat perjalanan yang sesungguhnya, walau cirri wilayah ini sangat dibenci harjo karena ia tidak tahan dnegan jaan bergelombang dan rusak. Terlebih cerita menyeramkan seperti Begal atau aksi kejahatan yang sangat terkenal di wilayah Lampung.

Aku memandangnya dengan cara berbeda, justru inilah keaslian lampung yang akan tetap diperlukan. Inilah suasana alam yang semdstinya ada dan dilestarikan, agar tidak semua wilayah di negeri Indonesia ini menjadi kota padat dan sumpeg sebagaimana Jakarta. Harus ada tempat alami, yang menopang Jakarta. harus ada tempat alami yang menyegarkan Jiwa..

Kawan, mengertikah bahwa kami tidak akan lama di pemkiman Lampun ini. Esok harinya, kami harus sudah berangkat kembali ke Jakarta. Senin kami harus sudah kembali mengajar. Maka minggu pagi kami berangkat kembali ke Jakarta. Rasa pegal-pegall itu masih terasa, tapi kami memang harus segera kembali ke Jakarta. meninggalkan keheningan dan sepi Pemukiman Lampung utara yang belum semua kami jelajahi.

bahkan pak Yuswanto belum mengajak kami pergi kemana-mana di wilayahnya. Sebab targetnya adalah menyambut kedatangan Orang Tua dari Islamic centre Lampung Utara. Setelah selesai, ya kami pulang. Tapi ini tidak mengurangi rasa ingin tahu kami tentang Lampung atau Sumatra secara umum. kami sangat bangga  dan bahagia dengan perjalanan ini.

To be continued…..

[1] Karya ini saya persembahkan kepada Bapak Supadi, Mpd (Candidat Doctor UPI Bandung) yang telah mengajak kami jalan-jalan di Bumi Swarna Dwipa

Rabu, 06 November 2013

Tak Bisa Menemanimu hari Ini
Oleh: Arif Budiman

Mudah-mudahan harimu bahagia
Mudah-mudahan tak ada sedih
Jikapun tangis harus ada,
Kuharap tangis itu adalah tangis bahagia

Jikapun tangis karena sedih
Bantulah sang pemilik tangis sedih itu untuk lapangkan dada
Sekali lagi, Ini bukan akhir segala-galanya

Selamat untuk hari ini,
Tugasmu kini telah paripurna

Segera hapus air mata itu
dan sambutlah bahagia
karena itu yang semestinya ada

Cari Blog Ini