Jumat, 15 Juni 2012

NAMAKU RONI SETIAWAN

NAMAKU RONI SETIAWAN
(Seri Kisah-Kisah Ironi Kebangsaan)
Oleh: Tirta Pawitra

Namaku Rony Setiawan, aku tinggal di Ujung Menteng deket pasar yang beberapa bulan yang lalu terbakar. Dulu aku buruh pabrik di kawasan, sekarang nyaris tak punya pekerjaan. Demi anak dan Istri aku jalani hidup dan tanggung jawabku berjualan "Tutut Tinular". Orang mungkin akan kebayang pada serial drama Radio Tutur Tinular dimana dalam kisah itu ada Arya Kamandanu, kalau di Indosiar Tutur Tinular Versi 2011 yang ceritanya makin ngga jelas dan penuh dengan pembodohan. Setahuku dalam sandiwara radio Tutur Tinular tidak pernah berbicara mahluk yang berasal dari neraka atau sejenis mahluk halus bertubuh kecil yang diperankan oleh mahluk kecil hasil kreasi orang yang kayaknya lagi bangga karena bisa bikin animasi.
Aku dulu memang suka nonton acara sinetron yang satu ini. Tapi karena tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, jam sore aku harus berjualan di pinggir rumah-rumah dan kantor-kantor megah di harapan Indah. Tapi sok ajalah, memang itulah tayangan yang menghiasi tv dari pada mikir bayanr kontrakan, mending nonton apa yang ada di tv. Selepas maghrib biasanya aku sudah erangkat menuju medan dimana disitu aku harus menggelar daganganku. Bersama kawan-kawan yang punya nasib sama. Dulu kami berjualan di Sentra Utama Bisnis harapan Indah. Sekarang sudah tidak dibolehkan. Terpaksa kami keluar dari sana dan kerena tuntutan ekonomi keluarga, aku dan pedagang yang lain memilih berjualan di pinggir-pinggir jalan Kompleks harapan Indah. Pada awalnya tidak ada masalah alias tidak ada pengusiran. Lama-kelamaan kenyamanan kami berdagang di pinggir jalan itu mulai terusik. Kami pun telah mersa akan mengalami nasib yang sama sebagaimana saat harus pindah dari Sentra Utama.
Kata mereka, ini jalan Umum tidak boleh buat jualan. Kata bapak-bapak dan Mas Patroli yang kutahu mereka amsih saudara kita sendiri. Warna kulitnya coklat, tepatnya hitam. Sebenernya aku ngga mau cerita atau bawa-bawa yang namanya warna kulit. Tapi realitasnya demikian. Jangan pandang kami bodoh hanya karena kami malas dan tidak sekolah makanya tidak bias mendapatkan pekerjaan yang pantas. Bukankah sekolah juga telah hanya menjadi milik mereka-merek ayang berani membayar mahal. Maka bagi kami sekolah tidak mungkin membuat kami berubah. Sekolah yang ada justru menjadikan nasib kami semakin menderita sebab kami akan seperti ini.
Sebagai contoh dengan modal kepintaran yang sama. Mana yang akan dimenangkan atau dibolehkan bersekolah, apakah dia yang punya modal alis bias bayar uang sekolah yang puluhan bahkan ratusan juta. Atau ia yang tak punay dana apalagi orang miskin yang diidentikan dengan orang Indonesia. Tentu sekoalh akan lebih meilih anak yang lebih bias mampu membayar uang sekolah. Bahkan dnegan modal kepintyaran yang berbeda sekalipun, dalam arti anaknya pintar tappi tak mampu bayar uang sekolah, maka sekolah akan lebiuh merekomendasikan anak yang punay uang dari pada anak yang pintar.
Bang, kita nih aneh ya bang, Masa kita yang asli orang Indonesi justru malah susah cari atau ngedapetin kerjaan, tapi orang-orang itu justru dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Kata istriku. Sering dia bilang seperti itu. Dia memang agak rewel tapi ia istri yang baik buatku. Mau membantu suaminya danmenerima ekonomi suaminya meski harus ikut berjualan yang berpindah-pindah dari ujung sna kesini. Sini kesna dan seterusny . Kejar-kejaran dnegan SatPol harapan. Kalau ditanay sesungguhnya mereka juga ngga tega mengusir-ngusir itu. Cuma mereka hanay menjalankan tugas atau pekerjaan. Jika tidak demikian bagaimana ia dpat membiayai kehidupan anak dan juga istrinya. Merek ajuga mansuia sebagaimana kami yang pedagang pinggiur jalan yang pindah-pindah untuk emnghindar.
Jika ada pekerjaan yang pantas, kamipun tiada akan bekerja dan kejar-kejaran seperti ini. Aku juga mau kerja normal sebagaian orang pada umumnya. Tapi aku adalah seorang lulusan SMP, yang ijazahnay tidak laku dipakai nglamar di Pabrik yang bukan semata Ijazah tapi unsu rkedekatan atau factor kekluargaannya yang menjadi perhitungan kenapa seseorang dapat diterima kerja di pabrik di daerah ini. Ada juga yang kerja dengan system Out SOrsing yang sebetulnay lebih tepat sebagai pembunuhan berencana terhdap mansuia AIndonesia.
Dan pemimpin kita diam saja. Ongkang-ongkang rapat cabinet tapi yang diomongin maslahnya sendir danmengeluh tentang keadaanya. Jauh lebih Narsis dari pada ABG yang bener-benegr baru Gede. Hari ini posisi dagang kami ada di disini, besok kami akan bergerser satu atau dua meter ke pinggir atau ke ujung jkalan. Intinya harus keluar dari Komples harapan. Esok Lusa mungkin kami sudah nyebur di rawa-rawa itu., Kami diusur pelan-pelan. Hak kami hilang.
Bukannay ada Demo Kmaren. Tapi demo yang kami lakukan malam itu tak membuahkan hasil apa-apa. Justru pengawasan dan control kepada kami yang makin ketat. Polisi yang punay logo melayani, pada akhirnya pun musti kita ajuin pertanyaan. Melayani siapa..?? Dengan gaya congkaknay dan kebul asap dari rokoknya, Ia mendkat dan mengajak dialog kami tentang kenapa musti ada demo. Pertanyaan buat pak Polisi, anda melayani siapa…?
Kami hanay orang miskin yang tak banyak bis aberbuat. Kami hanay orang miskin yang punay hak hidup dan ingin bertahan dnegan hak hidup kami. Kami bukan anjing yang dikejar-kejar. Bukan pula orang miskin yang bodoh. Kami adalah orang dan anak cucu mereka yang pernah punay rumah disini. Rumah dan tanah kami telah dijual. Kini hanay menyisakamn gubuk kecil di tengah sawah. Yang sengaja dikucilkan agar kami mau menjualnya. Kepada siapa kami memohon bantuan dan pertolongan-Nya. Kami berhak atas udara di lingkungan ini. Kami. Punay harta yang demikian mahal yang tak bias terbayanrkan oleh semau kekayaan pengusah aasing yang tak sadar dengan dirinya ada diaman. Dan itu yang kami tuntut sekartang. Harta Kenangan Masa lalu. Ketenagan masa Lalu. Kesejukan rawa-rawa yang kini tiada, berganti kerlip kota tapi menyiksa kami dengan derita. Kami punay kawan-kawan yang saat datangnya para pengembang itu memilih pergi meninggalkan kami. Kami punya nilai kita. Kita punya Budaya rasa. Bukan budaya yang tidak mewakili apa yang kami rasa. Patung Tiga Mojang sesunguhnay juga betapa rasa kami tidak dihargai.
Lebih baik membuat patung atau Monumen tentang Kh Nur Ali Tokoh pahlawan Tananh kami. Bukankah Tokoh it lebih kami mengerti disbanding sosok wanita atau tokoh-tokoh yang tdak mengammbarkan realitas dan suasana kebatian kita. Dimana pemimpin kami yang berani dan perkasa. Dimana pemimpin yang punay Jiwa. Pemimpin yang memahami dan memiliki kesadaran utuh tentang negaranya. Bukan pemimpin yang menutup mata dan lebih baik diam untuk menggolkan proposal atau proyekproyek pembanguian yang hanay menguntungkan pemilik Modalatau orang-orang kaya.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini