Sabtu, 26 Mei 2012

NOVEL DAN PEMBELAJARAN


NOVEL DAN PEMBELAJARAN 
Oleh: Arif Budiman[1]


Sejumlah Novel terkenal, kini membanjiri pasar perbukuan kita. Ini aset yang sangat potensial dalam turut membangun kultur intelektual di negeri ini. Novel ini juga dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran. Dari Ayat-ayat Cinta,  Laskar Pelangi hingga “Negeri Lima Menara”. Tentu ada sisi positif dan memang semestinya sisi positiflah yang ada dalam sebuah Novel. Kecuali Novel picisan. Sejah ini euphoria penulisan Novel tersebut dan hadir dalam pasar perbukuan kita tidak ada salahnya jika dimanfaatkan dalam proses belajar anak-anak kita. Ada sisi-sisi positif yang dapat digali dari kisah-kisah dalam Novel tersebut.
Pemanfaatan Novel sebagai media pembelajaran Ilmu Sosial, begitulah kurang lebih sebentuk upaya baru yang perlu dilakukan agar pembelajaran kita menjadi lebih bermakna. Setidaknya ada sisi positif dari Novel yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran kita. Bermakna sebab apa yang diajarkan dapat diperlihatkan dalam contoh cerita yaitu lewat pemaparan kisah-kisah dalam novel. Selain itu pembelajaran bisa menjadi bermakna sebab apa yang dipelajari dapat menimbulkan kesan mendalam dan  terlihat adanya perubahan pada struktur potensi anak, baik itu pengetahuan, sikap maupun ketrampilannya. Inilah poin penting dalam kegiatan pembelajaran yaitu terjadinya perubahan. Jika tidak ada perubahan itu, maka pembelajaran yang itu sesungguhnya telah gagal. Maka pembelajaran bermakna adalah hasil pembelajaram yang dicirikan dengan telah terjadinya perubahan itu.
        Novel adalah buku bacaan yang berisi tentang suatu fenomena dalam suatu bidang kehidupan. Brown dengan karyanya The Da Vinci Code secara tidak langsung sedang memberikan pembelajaran pada kita tentang sejarah Kristen dan sejarah Eropa. (Walau Novel ini dinilai controversial). Tapi setidaknya ada sejumlah fakta otentik yang dipaparkan yang mengandung nilai pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Yang controversial atau yang fiktif diberi penekanan. El-Shirazy dengan novel Ayat-Ayat Cintanya memaparkan sisi kehidupan masyarakat Mesir berikut aktifitas intelektual yang ada didalamnya, terutama aktifitas mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmua disana. Sejumlah fakta tentang Mesir sangat nyata dipaparkan.
       Bukankah dari Novel itu kita tidak sekedar belajar cinta, tapi dari novel itu kita juga belajar tentang banyak hal. Kisah tokoh Fakhry dalam novel itu banyak menyisipkan pesan-pesan agama. Wajar jika dalam Kover depan disebutkan bahwa novel Shirazy adalah  Novel Pembangun Jiwa sebab di dalamnya banyak terdapat kisah dan fakta yang berkaitan dengan penguatan jiwa tentang keimanan dan juga fakta-fakta serta uraian-uraian agama yang sangat kaya.
         Novel “Pitaloka” karya novelis muda Tasaro (Taufik Sapto Rohadi) berusaha memaparkan realitas dunia dalam setting-setting sejarah. Karenanya Tasaro harus paham betul dengan sejarah zaman Majapahit. Selebihnya ia memang sedang menelaah dan membuat analisis untuk tidak mengatakan berfantasi dengan fakta sejarah yang ada. Dalam etika penulisan novl sejarah, fantasi itu adalah hal yang lumrah alias dibolehkan. Selama fantasi itu adalah hasil analisis sebelum fakta sesungguhnya ditemukan. Kita juga masih ingat novel tebal karya Pramoedya Ananta Toer yang bertutur masa keruntuhan majapahit. Disana dipaparkan dengan sangat nyata bagaimana social setting dan political setting masa itu demikian jelas mewarna. Dan itulah pengetahuan sejarah. Selain cerita atau kisah cinta yang kita dapat, dengan membaca novel itu kita juga secara tidak langsung dikuatkan dengan pengetahuan zaman atau jiwa zaman.
        Novel punya arti lebih dibandingkan sekedar kisah cinta atau pengalaman fantastic para tokoh yang ada di dalamnya. Novel juga punya muatan ilmu pengetahuan yang luas dan kaya. Saat novel-novel yang ada punya nilai lebih dan mendasar bagi hidup manusia saat itulah novel itu masuk dalam deretan karya besar yang dicari karena ia dibutuhkan. Hari ini novel-novel yang terpampang mengagumkan itu tidak lain karena karyanya ber-makna lebih. Bagi pecinta novel sejati, keberadaan novel adalah sahabat paling setia bahkan saat tidur sekalipun. Novel menjadi teman yang sangat dekat dan “mau mengerti” kondisi kita sebab ia memang mudah dibawa kemana-mana. Dibaca isinya untuk didapatnya makna dan dibaca kembali saat kita ingin kembali mendulang makna. Atau menjadi rujukan saat kita lupa dengan kata-kata Indah sang penulis dalam novelnya.
       Nilai-nilai pembelajaran dalam Novel digunakan saat kita bisa menangkap momentum tepat yang ada pada peran novel dengan tuntutan kreatifitas dan problematika pembelajaran secara umum. Pembelajaran punya peran sebagai sarana penyampai informasi, novel pun tidak diragukan punya peran itu. Sebagaimana informasi tentang kegiatan intelektual di Mesir dengan segala aktifitasnya terinformasikan secara jelas dalam Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman As-Shirazy. Informasi tentang sejarah Eropa dan sejarah Kristen dalam Fiksi-nya Dan Brown begitu detail digambarkan. Novel adalah teman, novel juga seorang guru sekaligus pembimbing. Ia jelas-jelas punya peran sebagaimana peran-peran dalam pembelajaran. Pembelajaran punya peran pembentukan sikap dan kepribadian, novel juga punya sisi atau peran-peran pembentuk kepribadian sebagaimana El-Shirazy menyebut novelnya dengan Novel pembangun Jiwa. Ia dengan sangat berwibawa dan tanpa terkesan menggurui berdakwah menyampaikan tuntunan agama. Pembelajaran sebagai fungsi pemersatu dan pembentuk semangat kebangsaan, terlihat dalam karya Pramoedya, “Arus Balik” dan karya Tasaro “Pitaloka”, dua buah karya yang mengurai sisi lain sejarah Majapahit dalam kisah Romatik. Pramoedya didalam karyanya menegaskan apa arti Majapahit. Tasaro pun sedang memperjelas kekuatan sejarah Majapahit pada sisi seorang gadis bernama Pitaloka. Dua karya ini secara  tidak langsung, dalam kontek pembelajaran sedang menanamkan Nilai Nasionalisme dan cinta pada tanah air dan bangsa.
        Jadi jelas bagi kita bahwa upaya kita memanfaatkan media yang ada untuk menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna itulah yang disebut momentum kreatifitas guru dalam pembelajaran. Dan momentum itu dinamakan kreatifitas pembelajaran untuk mendapatkan pembelajaran menjadi lebih bermakna.

[1] Arif Budiman, S.Pd. Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Alamat Jl. Sarang Bango no 21 marunda Jakut telp 02141872917

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini