Senin, 04 Juni 2012

KAPITALISME KELAS


KAPITALISME KELAS

Prestasi pembelajaran hampir bisa dipastikan sebagaian besar berpegang pada paradigma Kognitif (Cognitif Minded). Meski jargon pembentukan moral dan akhlaq atau nilai afektif didengungkan hampir tiap hari di sesi pembelajaran kelas, kenyataannya keberhasilan tentang terbangunnya moralitas atau akhlakul karimah hampir tak pernah jadi kenyataan. Sebagaimana bunyi sebuah pepatah ”api jauh dari panggang”. Pendidikan kita tengah didera mimpi tak berkesudahan tentang cita-cita dibangunnya manusia yang sempurna, insan kamil dan seluruh idiom tentang idealitas pribadi anak manusia yang diharapkan mampu membawa perubahan.
Tentu kita semua sadar bahwa kualitas suatu generasi yaitu anak didik kita banyak ditentukan lewat proses pendidikan. Lebih kecil atau lebih spesifik, kualitas itu ditentukan dalam ruang berukuran kurang lebih 6X8 meter yaitu ruang kelas. Ruang yang menjadi tempat bagi berlangsungnya proses belajar. Dalam ruang yang kita punya andil di dalamnya itu, terkandung peran yang sangat menentukan keberhasilan atau ketercapaian sebuah tujuan pendidikan. Kita yang dimaksud tentu saja bukan hanya guru namun kita adalah orang tua, masyarakat, lingkungan dan juga pemerintah. Baik atau tidaknya pengelolaan kelas, akan sangat berpengaruh pada kualitas generasi yang dididiknya. Kenyataan menunjukkan hal yang sangat memprihatinkan. Ketaatan murid pada guru, rasa hormat sampai pada perhatian siswa pada pembelajaran menjadi pemandangan yang jarang kita temukan. Yang ada kelas kita dihiasi dengan anak yang suka membantah perintah guru dengan ulah-ulah atau perilaku keonaran. Kewibawaan dan kehormatan kelas kita telah hilang. Item-item berupa nilai moralitas, ahlaq dan budi pekerti yang dulu pernah ada dalam kelas kita, kini telah menipis bahkan tiada.
      Tidak usah menutup-nutupi semua fenomena (baca: kenyataan) yang terjadi dalam kelas pembelajaran. Guru menjadi tiada dihargai dan tiada pula berharga. Ia tidak lagi menjadi sosok yang digugu (dipercaya) dan ditiru (diikuti). Kata-kata kita (guru) akan didengar dengan dua kemungkinan, pertama kita berlaku sebagai penguasa otoriter alias berlaku represif . Pendekatan represif ini sedang sangat gencar ditentang oleh mereka para pengusung ide menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran. Sehingga siswa bebas menjadikan dirinya seorang pembelajar.
     Atau dengan kemungkinan kedua yaitu guru memerankan dirinya sebagai seorang entertain (baca: badut, orator, aktor). Menurut saya tanpa harus otoriter dan berperan sebagai badut, kelas kitapun bisa berwibawa. Sebagaimana wibawa kelas yang pernah ada tempo dulu. Bukan bermaksud bernostalgia kosong dengan masa lalu. Tapi paling tidak disanalah kita bisa kembali membuka lembaran-lembaran Indah pendidikan masa lalu yang pernah berjalan. Tidak perlu metodenya tapi rasakan jiwanya atau roh pembelajaran yang dijalankannya.
       Kelas kita tempo dulu adalah kelas yang sangat berwibawa. Guru begitu dihargai, sopan santun begitu dikedepankan. Bahkan ada cerita seorang murid ketika berpapasan dengan gurunya, ia memilih menghindar atau mengambil jalan lain. Bukan sang murid takut pada gurunya tapi disana ada penghormatan pada nilai-nilai akhlaq dan sikap yang begitu dijunjung  tinggi. Dalam salah satu kitab Ta’alim Muta’alim dalam bab ”Ta’dziimul Ustadz” disana dibahas dengan detail bagaimana sikap seorang murid terhadap gurunya dengan penghormatan yang tinggi.
    Hari ini kondisinya sungguh jauh berbeda. Bahkan ada satu kasus di sekolah negeri di Jakarta yang anak muridnya tidak percaya dengan pengelolaan dana Perpisahan yang dikelola gurunya dan meminta pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan itu diserahkan ke murid hingga urusan jadwal acara, semua diminta agar segala sesuatau dikelola siswa, guru tinggal datang dan menyaksikan saja acara yang akan digelarnya. Menurutnya, merekalah yang membayar seluruh biaya kegiatan sehingga logis jika semuanya dikembalikan pada murid. Sungguh fenomena ini menunjukkan betapa guru telah dan sedang sangat tidak dihargai (baca: direndahkan). Bukankah guru terkesan layaknya pengemis di hadapan murid. Bukankah guru seolah sedang hanya ditempatkan sebagai tenaga kerja layaknya pelayan toko atau pekerja di Pabrik yang setiap saat bisa diperlakukan seenaknya oleh sang majikan. Bukankah seharusnya kita merasa sangat sedih dengan pelecehan terhadap wibawa keguruan kita?

Kelas Yang Hilang
 Ada yang hilang dalam kelas-kelas pembelajaran kita. Moralitas yang seharusnya dikedepankan, kini telah tiada. Kata-kata yang sering kita sampaikan tidak mampu menyentuh intuitas yang ada pada mereka. Bukankah kenyataan itu menjadi hal yang wajar jika kelas kita disebut sebagai kelas yang tidak berwibawa. Bukankah kata-kata kita tentang moral, sopan santun dan budi pekerti pernah (bahkan sering) tidak didengarnya? apalagi meminta mereka untuk mempraktekkan.
    Sesungguhnya bukan karena mereka tidak mau mendengar dan bukan pada tempatnya kita menyalahkan anak sebagai biang masalah dengan mengkambinghitamkan dan menjatuhkan punishmen pada mereka sebagai tidak bermoral, urakan dan lain sebagainya. Anak kita adalah kertas putih yang dengan kertas itu kita bisa membuat tulisan apapun dengan corak dan warna apapun. Goresan apapun yang  ada dalam kertas itu  adalah hasil kerja kita. Jadi jelas bahwa dalam problem ini anak tidak perlu dilibatkan. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap nasib yang menimpa kelas pembelajaran kita? Menyebut guru sebagai yang paling bertanggungjawab, rasanya juga tidak bijak. Meskipun penyelenggaraan proses belajar dalam kelas sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru, kelas yang berwibawa atau sebaliknya kelas menjadi tidak berwibawa sangat ditentukan penyelenggara pendidikan itu sendiri yaitu masyarakat sebab pendidikan adalah rekonstruksi masyarakat. Contoh, ketika masyarakat telah menjadi sangat kapitalis, bukankah segala yang ada didalamya juga harus kapitalis. Demikian paling tidak logika kapitalis berlaku. Termasuk sekolah (baca: Kelas) pun akan mengalami nasib yang serupa seiring berkembangnya masyarakat.
    Maka jangan pernah membayangkan kelas kita akan dihiasi dengan anak yang hormat, sopan dan berbudi pekerti luhur, sementara negara atau masyarakat  tidak punya komitmen pada bidang pembentukan moral. Kalaupun ada, ha itu hanyalah sebatas jargon. Masyarakat kita telah banyak didominasi oleh logika kapitalis, maka sopan santun, budi pekerti dan religiusitas cenderung disingkirkan karena tidak dibutuhkan.  Yang dibutuhkan dalam masyarakat kapitalis adalah  hal-hal yang terkait dengan logika pasar, nilai produksi dan keuntungan. Masyarakat kapitalis tidak berpikir bagaimana moralitas, sopan santun dan keagamaan dijadikan acuan atau dasar berprilaku, menurut mereka nilai-nilai tersebut dikembalikan pada masing-masing pribadi.  Kelas yang ada dalam masyarakat kapitalis berfungsi sebagai mesin produksi yang diharapkan tercipta manusia-manusia atau tenaga-tenaga (baca; Robot-robot kapitalis). Saat anak sudah punya kecerdasan intelektual (baca: Ketrampilan yang dibutuhkan pasar), maka itu sudah cukup artinya telah tercapai tujuan belajarnya. Maka jangan heran jika nilai atau instalan yang paling penting tertanam dalam diri anak tidak lain, tak bukan adalah nilai disiplin waktu. Logika ini sepadan dengan logika kapitalisme yang sangat berhitung dengan penggunaan waktu untuk mendapatkan kapital.

Kelas Pembelajaran Kapitalis    
          Kapitalisme yang melanda kelas-kelas pembelajaran kita melahirkan kelas-kelas pembelajaran yang kapitalis. Kelas kapitalis menunjukkan bahwa kelas-kelas dalam pembelajaran di sekolah yang ada selama ini adalah kelas yang berlaku atas logika kapital. Misi sekolah sebagai sarana membangun sisi moralitas, ahlaq dan budi pekerti dinilai sebagai jargon belaka sebab kenyataanya kelas dengan misi pembangunan moralitas, religiusitas itu lebih punya perhatian pada kegiatan pembelajaran untuk memenuhi logika kapitalisme. Ciri kelas pembelajaran yang kapitalis yang utama adalah minimnya materi-materi moral, budi pekerti dan nilai agama. Kurikulum yang dipakai pun terpaksa didisain dengan mengurangi jam-jam pelajaran agama dan kelompok mata pelajaran humaniora lainnya. Hadirnya kelas-kelas pembelajaran yang kapitalis secara otomatis menandai hilangnya wibawa kelas. Sehingga seluruh energi yang ada diarahkan pada upaya sebesar-besarnya untuk terbentuknya masyarakat kapitalis.     
       Pada saat kelas kita menjadi demikian kapitalis seperti itu, maka mengharap kelas kita menjadi kelas berwibawa adalah pekerjaan berat. Sehebat apapun konsep kurikulum yang diterapkan, tidak akan mampu membentuk kelas berwibawa sebab kesatuan visi antara masyarakat dan sekolah adalah dua hal yang harus diperhatikan dalam menyusun arah pendidikan. Selama jiwa masyarakatnya masih kapitalis, maka penyelenggaraan di bidang pendidikan pun akan terpengaruh dengan pola kapitalis. Anak tidak merasa perlu mengembangkan sisi moralitas sebab dalam system kapitalis hal itu tidak diperlukan. Pembelajaran moralitas, budi pekerti dan juga agama hanya akan menyebabkan perkembangan kapital itu terhambat. Sehingga sudah selayaknya pembelajaran pada bidang-bidang itu diabaikan.  Baginya saat ia telah menjadi cerdas dengan bekal ketrampilan berpikir, bahasa dan lain-lain, itu dirasa lebih penting.
    Kelas kita telah menjadi begitu tidak berwibawa dan bukan lagi menjadi tempat bagi anak untuk belajar pengalaman-pengalaman suci atau nasehat-nasehat kemanusiaan. Kelas kita telah menjadi sempit makna. Kelas kita hanya berperan sebagai tempat bermain ketika orang tua menitipkan anaknya pada sekolah karena kesibukan orang tua. Sehingga wajar jika kelas kita menjadi “lembaga jasa” penampung anak-anak yang ditinggal ortu-nya yang sibuk. Dalam kasus tersebut kelas kita telah menjadi lembaga profit. Bahkan tanpa malu sekolah pun berlomba-lomba memasang tarif/harga untuk dan atas jasa yang diberikan. Dalam kasus kapitalisme dalam dunia pendidikan yang lebih kompleks, sekolah yang ada telah menjadi ruang tertutup dan terbatas hanya dan hanya untuk mereka yang mampu membayar sesuai tarif yang ditentukan. Saat itu sekolah tidak lagi punya hubungan kolaboratif-edukatif dengan orang tua, yang ada  adalah hubungan balas jasa. Maka jangan heran setelah anak lulus, jarang didapati komunikasi dan hubungan berkelanjutan antara anak dan guru atau sekolah. Hubunganguru dan murid itu hanya terjadi saat ada selama dalam ikatan sekolah. Sesudahnya tinggal cerita dan masa lalu yang hanya indah untuk dikenang.

Orientasi Kelas
    Kedepan tentu harus dibangun kembali wibawa di dalam kelas pembelajaran kita sebab kelas kita adalah garda terdepan dalam system pendidikan yang dijalankan. Kelas kita adalah ruh yang menggerakan dan tidak digerakan. Ruh yang menentukan dan tidak ditentukan. Kelas kita merupakan perpaduan tak terpisahkan dengan tujuan masyarakat,      sehingga kemana masyarakat itu hendak dituju, kesana pulalah kelas atau sekolah kita juga akan diarahkan. Wibawa kelas kita adalah jiwa otonom yang membangun basis kediriannya pada kesadaran utuh tentang tujuan utama pembelajaran.
    Kejelasan orientasi kelas merupakan hal mendasar ketika wibawa kelas itu hendak dibangun. Kewibawaan kelas adalah perisai utama saat panji-panji keberhasilan pendidikan hendak kita kibarkan. Jangan terpengaruh sedikitpun dengan gagasan diluar tujuan yang pasti, sebab pendidikan membutuhkan kepastian langkah. Kelas punya satu tujuan yaitu tujuan yang telah dirumuskan oleh mereka para penyelengara pendidikan dalam satu meja diskusi yang ditentukan berdasarkan filosofi masyarakatnya. Bukan tujuan orang tua, bukan tujuan para kapitalis dan atau tujuan-tujuan yang lain.
    Kalau masyarakat atau bangsa kita belum memiliki orientasi yang akan dituju, maka hal ini sangat prioritas untuk diperhat. Arah pendidikan ikan terlebih dulu. Kita sangat ditentukan oleh arah masyarakat atau pemerintah. Saran yang ingin kita sampaikan adalah kejelasan arah pendidikan yaitu arah yang ditentukan dan didasarkan atas tujuan  masyarakat. Tentu saja stujuan masyarakat yang humanis, demokratis, berkeadilan dan berkesejahteraan sesuai dengan karakter asli masyarakatnya. Kita adalah masyarakat yang sangat menghargai, nilai sopan-santun, menghormati dan jiwa keagamaan yang kuat. Bukan masyarakat yang hedonis atau masyarakat yang merasa paling modern tapi melupakan nilai moralitas dan spiritualitas. Masyarakat dan pendidikan dalam hal ini tentu saja adalah satu kesatuan. Sehingga bagaimana wujud kelas itu ditampilkan dan dihidupkan akan sangat ditentukan jiwa masyarakatnya. Kalau masyarakat masih memperdebatkan tujuan masyarakatnya, maka wajar jika wibawa kelas pun akan sulit diwujudkan. Meskipun demikian sejauh dan sekeras apapun perdebatan masyarakat dan tokoh tentang tujuan masyarakat dan kebudayaan kita. Hal mendasar dalam pendidikan tentu saja dapat kita sepakati. Dari sana tentu wibawa kelas dapat dipastikan. Kelscas pun tidak perlu goyah dalam berproses sebab telah ada pondasi yang  kuat. Dan kita semua termasuk orang tua pun harus diberikan penyadaran tentang makna kelas itu. Kembalikan makna kelas pada tempatnya. Kembalikan guru di kelasnya. Perlakukan murid sebagaimana seharusnya murid dan tidak perlu berpikir lain pada mereka kecuali memanusiakannya. Bukan menjadikannya mesin atau robot-robot kapitalis. Bukan pula menjejalkan ke dalam dirinya semua kecerdasan intelektual, tapi emosional dan spiritualnya dilupakan. Pendidikan dalam kelas kita adalah pendidikan untuk mengembangkan semua potensi anak baik inteketual, emosional dan juga spiritualnya sebab potensi inilah unsur-unsur utama kewibawaan kelas pembelajaran. Wibawa kelas kita adalah ruh yang harus terus ada. Wibawa kelas pembelajaran kita adalah penjaga tapal batas nilai-nilai moral agar tetap pada posisinya yang kokoh. Hilangnya wibawa kelas kita dapat terjadi karena kita lalai. Hilangnya wibawa kelas pembelajaran kita adalah bencana pendidikan. Tapi bencana tidak akan ada selama kita  menyadari hal utama dalam kewibawaan kelas. Wibawa kelas pembelajaran kita adalah gambaran bagaimana masyarakat kita. Wibawa kelas kita adalah gambar pendidikan kita, wibawa kelas kita adalah gambar budaya  kita. Karena itu jangan biarkan wibawa kelas pembelajaran kita hilang. Pastikan ia  terus ada.[

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini