Minggu, 10 Juni 2012

RUJUK (Penyatuan kembali Jiwa)

RUJUK
(Penyatuan kembali Jiwa)


Rawamangun, 3 September 2004. Inilah isi Suratku yang kuberi judul “CINTA BODOH” itu. Surat yang menorehkan cerita tentang  kebodohanku. Bodoh karena telah mengabaikannya. Tak menghubunginya, tak memberinya kabar. Bodoh sebab sikapku selama ini telah menjadikannya sangat menderita.
Tadi malam aku menuliskannya.  Dalam ruang Masjid Kampus, kuberkhidmat pada Surat ini. Surat spesial untuk Dina Larasati.
Ya Allah, aku ingin kembali mencintainya. Aku yakin dapat bertemu dengannya. Di depan Komputer Masjid itu, kuketik sebuah ungkapan perasaan mendalam ini pada Dina. Aku ingin ungkap detail-detail sikapku yang selama ini sangat-sangat memikirkannya.
Surat yang kuketik dengan Komputer.  Kertas ukuran Legal kurasa ukuran ini lebih bisa memuat banyak tulisan dari pada A4 apalagi kuatro, Font 12, huruf kesukaanku Garmound. Surat resmi biasanya menggunakan Times New Roman. Dan aku tak menggunakan model huruf ini sebab terlampau biasa. Garamound sangat nyeni, Indah dan pas….!!

SURAT CINTAKU BERJUDUL “CINTA BODOH”

Assalamu’alaikum wr.wb

Dina, Duhai Wanita yang memiliki tatapan surga, apa kabar dik…!. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan memberkahi kita. Amin.

Mudah-mudahan datangnya surat ini tidak membuat adik kaget atau marah. Sebaliknya mudah-mudahan bisa menjadi hujjah (penjelas) bagi semua Tanya dan ragu dalam dada. Rasa-rasa yang penuh Tanya tentang bagaimana perasaamu yang sesungguhnya. Mudah-mudahan surat ini juga bisa menjadi penghilang keraguan dan pengikis prasangka. Sebab banyak hal yang membutuhkan penjelasan. Banyak Tanya yang kuajukan.

Duhai wanita yang memiliki tatapan Surga, sudah cukup lama kita terpisah tanpa kabar berita. Surat-suratkupun tak pernah ada balasannya. Saat itu diantara kita tumbuh rasa curiga. Setelah aku bertemu dengan Ibumu beberapa waktu yang lalu, Pertemuan yang sesungguhnya digerakan oleh penjelasan Mas Agus yang mengatakan bahwa Surat mas Imam tak pernah ada di tangan Dina. Ibu Toto malah bilang kalau Mas Imam Santoso mengada-ada dan sedang mencari alas an untuk menjauhi Dina.

 Aku baru menyadari bahwa surat-surat itu tak pernah sampai di tangan-mu. Aku juga tahu bahwa sesungguhnya engkau masih mencintaiku.
Cemburu mendalam sehingga kesimpulan negative itu lebih mendominasi daripada refleksi berpikir benar. Kesimpulanku salah karena telah men-judge engkau  tak Cinta aku. Aku telah berprasangka negatif padamu. Maafkan aku dik.

Duhai wanita yang memiliki tatapan surga, ingatkah 4 tahun lalu saat engkau menyanyikan lagu “Menghitung Hari di Festival Band Van Der Wijk”,  aku sangat terkesan.  Aku melihat penampilanmu malam itu. Engkau tidak tahu kalau aku datang. Aku memang tak menemui-mu. Maafkan…..! Kukatakan ini agar engkau tahu bahwa bukan aku tak pernah mau tahu tentang dirimu. Aku pulang karena aku rindu. Saat itu untuk pulang kampung aku harus membayar denda “Atas Pelanggaran karena Pulang ke Jawa”[1]. Sebagian teman memilih tidak pernah pulang. Tapi orang tua bagiku segala-galanya. Sekuat apapun doktrin yang mengkafirkan orang tua, tak mampu menggoyahkanku untuk tetap Cinta pada orang tua meski aku tak pernah mengajaknya dalam Negara ke Sembilan.  

Tidakkah Pulangku itu dapat meyakinkanmu bahwa aku ingin bertahan dengan cinta ini. Saat kau tatap aku di masjid Dekat pasar Gombong di hari itu sungguh akupun telah sangat yakin bahwa Cinta itu telah hadir untuk kita. Kecantikanmu sungguh sangat menawan. Kini engkau  tambah dewasa. Saat itu beberapa hari setelah kematian Salman. Tentu adik tidak menyangka jika, aku datang dan memperhatikan penampilanmu malam itu.

Sesungguhnya hari itu aku ingin langsung bicara dan memutuskan masa depan kita.

Kenangan Indah kita, tampil kembali sangat kuat. Aku selalu memikirkannya. Selalu mengingatinya. Kenangan pada sosok yang mengingatkanku pada perjalanan dari Cilacap menuju rumah Eyang di Gombong. Lagu Keroncong berjudul “Di Tepinya Sungai Serayu” mengalun indah, membangkitkan keheningan Jiwa  sebab lagu keroncong mengajak Sang Jiwa merambahi bukit, pepohonan dan panorama alam, persawahan juga perbukitan. Itulah panorama yang selalu dirindui Jiwa. Tipikal wanita keibuan. Wanita dengan wajah ikhlas. Wanita yang memiliki “Wajah Setia”. Yang menerima sang lekaki apa adanya.  Suatu  hari akan aku ceritakan semua yang terjadi padamu, aku akan memberikan catatan harian yang selama ini aku tulis tentang apa sesungguhnya menimpaku. Sebab kisah dalam catatan itu (Novel Ini) adalah sebenar-benarnya isi perasaanku….! Tidak lain karena aku sangat berharap engkau bisa kembali menjadi kekasihku. Aku sangat mencintaimu. Itu adalah sesuatu yang sesungguhnya ada dalam diriku selama ini.

Mengabaikanmu dalam ketidak pastian adalah suatu kebodohan. Aku tidak pernah mengerti dengan apa yang aku lakukan. Seharusnya saat lebaran itu aku datang dan menemuimu serta menanyakan surat itu atau tentang perasaanmu yang sesungguhnya. Aku telah membuat kesimpulan sendiri dan terlanjur membuat surat yang sangat menyakiti perasaanmu.

Aku ingin bercerita tentang kisah kita. Kisah yang terbangun saat jiwa semakin jauh dan nyaris tanpa daya.

Saat itu curiga menghiasi hari-hari kita. Aku ingin berbagi cerita, tentang harapan yang membara, tentang sisi gelap di pinggir Jakarta dan juga tentang keadaanmu. Berita tentang perubahan dan beberapa saat lalu sempat hilang kontak, sungguh membuatku sangat gelisah. Kata Mama, engkau telah berubah dalam pemahaman agama. Satu sisi itu membuat Ibumu sangat bangga. Tapi di sisi lain perubahan itu telah membuat Ibu gelisah. Sebab engkau sempat tanpa kabar dalam beberapa bulan.

 Duhai wanita yang memiliki tatapan Surga…..!, ingatlah dengan kisah-kisah bahagia yang telah kita jalani. Bukankah kisah-kisah itu adalah penguat bahwa Cinta kita tak akan pernah terpisah. Jangan engkau menangis, jangan pula engkau bersedih. Aku sangat ingat dengan air mata yang menitik di pipimu. Air mata keikhlasan. Air mata yang menitik karena pembuktian Cinta adalah keinginan. Namun lebih utama dibuktikan dalam perjalanan waktu. Itulah pembuktian Cinta yang sesungguhnya.

Duhai wanita yang memiliki tatapan surga…..!, aku yakin air mata itu jelas sangat original dan nyata. Aku yakin air mata itu adalah air mata Cinta. Air mata yang mengalir dari sumbernya yang suci dan perasaan anugrah Tuhan.

Duhai wanita yang memiliki tatapan Surga, Ingatkah engkau dengan cincin yang melekat di jemari tangan ini. Bukankah itu juga yang telah menyerta keikhlasan Cinta kita. Sangat lekat dan abadi. Aku masih mengenakannya. Aku masih mengenakan cincin itu hingga hari ini. Sebab Cinta ini sungguh bukanlah permainan sesaat. Cinta di dada ini adalah abadi dan selamanya.

Duhai wanita yang memiliki tatapan Surga, yang terpenting dari  kenangan Indah kita adalah pertemuan pertama yang istimewa. Di masjid Rr-rahman kauman, kita bertemu untuk kali yang pertama. Pertemuan yang sangat Indah dan sangat membahagiakan. Bukankah itu scenario Tuhan….?. Pertemuan yang Indah dan perteuan yang meyakikan aku untuk berkhidmat pada satu ke-Indahan. Itulah prinsip hidup berpegang pada satu pilihan hingga sampai waktu dimana keputusan dijatuhkan.

Bukan sepasang kekasih yang menjalin dua status, belum selesai masalahnya dengan satukekasihnya tapi ia sudah mencoba dengan lelaki yang lain. Itu yang disebut dengan pengkhianatan. Aku tahu aku sudah memberimu keputusan dengan surat terakhir yang kukirimkan. Dan sejak saat itu aku telah merelakan dan melepas dirimu dengan laki-laki yang kau pilih. Itu adalah jalan yang kuberikan sebab aku tidak ingin menggantungkan perasaan ini padamu. Itu sangat tidak aku inginkan.

Duhai wanita yang memiliki tatapan Surga, surat ini sekaligus permohonan maafku jika datangnya surat ini mengganggu.  Terlebih jika dalam masa itu, adik telah menentukan laki-laki lain. Jika tidak ada laki-laki lain Alhamdulillah, itu yang kuharapkan. Tapi kemungkinan itu jelas sangat tidak mungkin, sebab keindahan-Mu adalah Pancaran Cahaya yang senantiasa diharpkan oleh banyak lelaki. Sehingga engkau selalu dinanti dan dikelilingi banyak pria

Duhai Wanita yang memiliki tatapan Surga, aku hanya ingin mohon maaf padamu atas semua kesalahan yang pernah kulakukan. Aku tidak mengerti dengan perasaan ini. Aku adalah sang pendosa yang mengabaikan perasaan wanita. Aku ingin kita kembali bersama. Dalam Cinta yang pernah engkau harap akan abadi selamanya. Ini alamatku, masih alamat yang dulu pernah kau pakai untuk mengirim surat yang pertamamu.

IMAM SANTOSO
Alamat: Masjid Kampus. Perumahan Dosen UI. Jl. Daksinapati No.1 Rawamangun Jakarta Timur Telp. 0214702589.

 

۞



[1] Pulang Kampung sama saja kembali kepada tradisi Jahiliyah. Kang Jumrani sangat ketat memberlakukan Doktrin ini.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini