Senin, 30 April 2012

REFLEKSI PENDIDIKAN INDONESIA


REFLEKSI PENDIDIKAN INDONESIA
(Pendidikan Terbaik Untuk Negeri)
Oleh: Arif Budiman[1]

Dalam peringatan hari pendidikan kali ini, ada dua tema refleksi yang antara keduanya saling berkaitan yaitu pendidikan itu sendiri dan perjalanan kebangsaan. Perjalanan kita sebagai sebuah bangsa akhir-akhir ini telah menggerus ruang pemikiran kita. Panggung politik dan kebangsaan diwarnai oleh beragam pertarungan tak berkesudahan. Korupsi dan penegakan hukum, demokrasi menjadi tema sentral pertarungan elite politik.
Refleksi pertama berujud keprihatinan terhadap realitas pendidikan yang tak kunjung menuju perbaikan. Pendidikan Indonesia terpuruk setidaknya terlihat dari dekadensi moral dan tidak mengertinya proses pembelajaran di sekolah yang tak kunjung beranjak pada paradigma pembangunan karakter. Kenyatannya pendidikan hanya menyisakan kerusakan moral dan hanya berorientasi pada sisi material dan cenderung mengabaikan unsur moral atau budi pekerti. Di lapangan pelaksanaan UN dalam kenyataannya tak mampu menuju cita-cita kebangsaan itu tapi justru sebaliknya sebab praktek kecurangan dan ada unsur pemaksaan sistem yang tidak memahami realitas di lapangan.
Keprihatinan pendidikan terkait dengan nasib bangsa yang  sesungguhnya sangat memilukan. Realitas negeri yang tak kunjung beranjak menjadi negara besar sebagaimana pada masa jaya dulu saat Sriwijaya dan Majapahit. Mengharap kejayaan sebagaimana kejayaan tempo dulu yaitu masa Majapahit atau Sriwijaya mungkin terlampau tinggi. Gapaian agar dihormati negara lain saja, rasanya sangat sulit seperti kata sebuah pepatah lama api jauh dari panggang. Berada di depan Malaysia pun terasa sangat sulit sementara kita masih saja asyik dengan nostalgia bahwa Malaysia dulu bergur pada kita. Negara ini dipermalukan, dihina bahkan dilecehkan negara lain. Dan kita masih diam dan tak beranjak dari kehinanaan itu. Kita mengharapkan negara ini dan bangsa ini menjadi Negara dan bangsa yang bermartabat. Ini keingingnan kita, bangsa yang disegani, berdaulat. Kuat dan kokoh.
Dan semua fenomena keprihatinan nasib bangsa ini terjadi di hampir setiap sisi kehidupan berbangsa. Dari sumberdaya alam yang dikuasai bangsa lain, wilayah teritorial yang diobok-obok hingga bidang olah raga yang nyaris tak pernah berjaya di atas bangsa lain. Setidaknya kekalahan dramatis Timnas Indonesia oleh Timnas Malaysia, tak jua menunjukan kejayaan itu. Sesudahnya perseteruan di kepengurusan PSSI telah menyisakan polemik.
Di sisi yang lain, negeri yang kaya raya “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini masih dihuni oleh ribuan orang-orang miskin yang jauh dari layak. Sementara di sisi orang-orang miskin itu banyak orang-orang yang berlebihan menyajikan pemandangan ketimpangan sosial yang tajam. Pengiriman TKW ke negara lain sesungguhny adalah Indikator bahwa bangsa ini masih sangat rendah kualitas Sumber Daya manusianya. Sebut saja kasus TKI Indonesia di Malaysia dan Indonesia sungguh sangat mencoreng muka bangsa Indnesia tapi bangsa ini masih santai-santai saja dan tetap mengirim wanita-wanita yang tak lain adalah ibu bangsa untuk mengalami nasib yang terus dihina dan direndahkan. Jika bekerja sebagai tenaga ahli tak masalah tapi ini bekerja sebagai tenaga kasar seperti pembantu rumah tangga atau sejenisnya. Sungguh itu sebuah kenyataan yang sangat Ironi. Sebut saja kegetiran itu semua dengan Ironi Kebangsaan.
Sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukannya. Sudah saatnya lahir pemimpin pemimpin dan generasi tangguh yang amanah, cerdas dan bertanggung jawab kebangsaaan. Karenanya perjuangan melalui pendidikan menjadi mutlak dilakukan. Tapi jika pendidikan justru membusukkan dirinya dan pada akhirnya hanya mmpu mencetak manusia-manusia yang justru akan merusak negeri ini, jelas ini sangat kontraproduktif dengan tujuan pendidikan sebagai penyiap generasi untuk melanjutkan estapet kebangsaan (baca:kepemimpinan). Bagaimana jika calon-calon penerus bangsa ini sejak dini telah diajak atau diajari ketidakjujuran. Apakah pendidikan masih bisa diharapkan?
 Jalan lain adalah mekanisme kebangsaan atau jalur kenegaraan dimana dari sana kita berharap akan lahir pemimpin berwibawa yang tegas sebagaimana Soekarno yang keras terhadap negara lain (baca: Malaysia) dan berbicara lantang tentang kehormatan bangsanya. Semua unsur kebangsaan sangat merindui pemimpin kuat dan disegani. Pemimpin cerdas yang bisa membaca kondisi rakyatnya. Pemimpin yang peka dengan suara hati rakyatnya. Dan penguatan kepemimpinan yang kuat hanya terjadi lewat pendidikan terbaik. Mudah-mudahan usaha pendidikan dan kebangsaan ini dapat memberikan kontribusi berharga untuk kejayaan Indonesia



[1] [1] Arif Budiman, Guru MAN 21 Jakarta. Alamat Rorotan Cilincing Jakarta Utara. Telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id

Minggu, 29 April 2012

BERORGANISASI


BERORGANISASI
Oleh: Arif Budiman”
  

Berorganisasi..!? Perlu ngga Sih? Inilah pertanyaan yang beberapa saat lalu muncul menjelang Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS). Setidaknya materi organisasi menjadi tema pembekalan bagi pengurus baru OSIS dan pengurus organisasi seolah lainnya. Sesungguhnya pertanyaan tersebut diatas tak perlu diajukan seandainya kita sebagai individu memahami posisi dan kedudukan kita dalam suatu satuan social (baca: organisasi). Saat kita menyadari diri sendiri adalah bagian dari suatu organisasi besar. Itulah alasannya mengapa tulisan ini diajukan. Tidak lain untuk menjelaskan posisi dan keberadaan kita dalam definisi organisasi dan bagi setiap pelaku dapat memahami peran dan fungsinya dalam organisasi.
         Organisasi dalam suatu perspektif dikenal dengan lembaga dengan jabaran definisi sebagai suatu system norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang dipandang penting atau sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia. Perspektif ini berasumsi bahwa setiap manusia dalam hubungan social memiliki perilaku terpola. Apa sajakah itu. Semua yang dilakukan manusia yang secara sadar berangkat dari alam pikirnya dan diyakini dan dilakukan dalam aksi social seperti memenuhi kebutuhan hidup, ingin diakui atau ingin eksis, bersosialisasi, belajar mengajar  menjadi panitia MOS dan lain sebagainya.
Dengan definisi tersebut diatas, dalam aktifitas sederhana sebenarnya kita telah melakukan tindakan atau perilaku berorganisasi. Kita hadir di sekolah untuk menuntut ilmu, bersosialisasi, melaksanakan upacara, shalat berjamaah adalah bentuk-bentuk perilaku berpola yang telah terlembagakan. Jadi dalam difinisi sederhana kita sesungguhnya telah melakukan kegiatan berorganisasi. Maka dalam tulisan ini saya ingin membuat dua kategori berorganisasi yaitu berorganisasi dalam arti umum dan berorganisasi dalam arti khusus.
         Definisi dalam perspektif sosial tersebut menyebutkan bahwa Individu yang melakukan kegiatan atau perilaku terpola apapun kegiatan atau perilaku yang dilakukan, termasuk berorganisasi. Sehingga saat individu melakukan perilaku terpola dalam satu kumpulan aktifitas yang teratur, saat itu kita telah berorganisasi. Sehingga pertanyaan yang lebih tepat diajukan adalah bagaimana kita menempatkan fungsi dan peran kita dalam organisasi. Itu sesungguhnya lebih penting dan utama dalam organisasi.
        Dengan demikian berorganisasi yang dimaksud dalam pertanyaan diatas adalah berorganisasi dalam arti umum. Sebab tingkatan organisai pun beragam berdasarkan ukurannya atau cakupannya. Sebagai contoh ada organisasi internasional, nasional dan local. Berdasarkan bidangnya meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi budaya, organisai pendidikan, organisasi social dan keagamaan.
        Sebagai pelajar yang aktif dengan tugas perkembangan di sekolah, maka jenis organisasi yang sedang digelutinya termasuk kategori organisasi pendidikan dengan tugas dan peran yang sesuai dengan tingkatan tuga perkembangan di Sekolah. Satuan pendidikan dimana seorang peserta didik sedang belajar saja sudah termasuk organisasi.  Kalau ada istilah “State In the State” yang artinya Negara dalam Negara, maka di satu organisasi pun sangat dimungkinkan tumbuh organisai, Kasus state in the state adalah negara tandingan atau tidak mengakui Negara yang sah (pemberontakan atau rebellion). Sementara yang dimaksud ada “organisasi dalam organisasi” artinya dalam satu organisasi misalnya sekolah, terdapat beragam dan bermacam-macam organisasi dengan keanggotaan untuk mencapai suatu tujuan. Ada klub computer, PMR, Pramuka, Pecinta Alam dan lain-lain.
     Dengan pemahaman kita tentang organisasi tersebut, mudah-mudahan dapat memberi gambaran yang jelas bahwa berorganisasi adalah sebuah keniscayaan. Sesudahnya tinggal bagaimana kita menempatkan diri semaksimal mungkin dalam organisasi tersebut. Sebagaimana firman Allah sebaik-baik manusia adalah yang paling bertaqwa. Di ayat lain Allah SWT juga mengatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain. Jadilah orang dengan predikat sebaik-bainya dengan kita bekerja dan berkarya untuk organisasi yang kita sedang ada di dalamnya baik dalam organisasi kemasyarakatan maupun organisasi yang lain.
.
__________________
“ Arif Budiman, S.Pd. pengajar Mata Pelajarana Sejarah dan Geografi. Alamat Jl. Sarang Bango no 21 marunda Jakut telp 08176661322


Sabtu, 28 April 2012

LAGU ANTI MORAL



SENANDUNG ANTI MORAL:
Oleh: Arif Budiman

Lagu berjudul “Hamil Tiga Bulan” yang dibawakan oleh Tuty Wibowo, hampir tiap saat kita dengar di ruang dengar kita. Tanpa sadar kita telah disajikan satu pembelajaran yang masuk dalam ruang pikir anak kita.  Setiap hari mendengar lagu itu sangat asyik dengan beat dangdut yang syahdu mendayu. Tak ada sedikitpun pesan pendidikan disana. Yang terjadi justru kampanye kebebasan seks. Ada penanaman nilai negatif dalam diri anak bahwa hubungan pra nikah adalah hal yang biasa.
Ada juga lagu berjudul “Cinta Satu Malam” yang dinyanyikan Miranda, isinya memang sangat umum dan berusaha menghindar dari penilaian negatif, namun sesungguhnya ada pesan anti moral didalamnya. Ada pesan atau nuansa tentang pembiaran tanpa batas sebab tafsir lagu itu menurut penulis lebih menjurus pada hubungan bebas yang dilakukan oleh orang-orang yang belum atau tidak sah. Bisa dengan PSK, atau bukan pasangan sahnya.
Tak berbeda dengan nasib lagu daerah. Atau dalam hal ini lagu Jwa yang diharapkan mampu membangun sisi nilai tradisional pun ikut tercebur dan menceburkan diri dalam arus komersialisasi yang sangat fisikal, seperti “Tragedi Tali Kutang” –nya Cak Dikin yang dimaksudnya mungkin meninggalkan kesan lucu tapi sesunggunya sangat tidak memahami bangunan Moral yang kita.
Tak kalah, Lagu Rock yang kita bisa dengar pun tak terelak dari pesan-pesan yang mencederai rasa moral kita. Judul lagu “Rumah Kosong Tujuh” dengan sangat jelas meninggalkan pesan bahwa hubijgan seksual bebas sebagai satu hal yang boleh saat orang tua tidak ada di rumah.. Maka pasangan kekasih boleh berbuat apa saja. Lagu Boomerang berjudul Isi “Dalam Rok-Mu” meninggalkan pesan yang sama. Sudah sebegitukah nilai di masyarakat kita? Di Amerika hal semacam ini memang dibebaskan atau dianggap bisa. Lihat saja dalam flm-film karya mereka yang nyata-nyata membawa pesan anti moralitas.
Dalam fenomena ini, tidak ada tanggung jawab untuk sama-sama menjaga nilai moralitas. Di saat terpaan moral yang mengkhawatirkan itu menggempur kita, di saat yang sama kita bangsa Ini justru malah menyumbang kesrusakan moral ini. Alasan Komersial dimenangkan sebagai dalil bertahan dalam kehidupan yang berat. Kenyataan ini makin menguatkan betapa moralitas yang didamba seperti “api jauh dari panggang”. Betapa perjuangan moral akan smakin berat. Betapa akan semakin marak kerusakan moralitas yang akan berdampak pada kerusakan di aspek yang lain.
Kontruksi sosial kita telah termakan pemikiran bahwa tidak zamannya lagi lagu Balada yang menyenandungkan kisah kehidupan sebagaimana yang ditulis atau dinyanyikan Ebiet G Ade atau Iwan Fals tentang kondisi negara. Kontruksi sosial hari ini lebih memilih tayangan lagu bisa memenuhi aspek market yang tujuannya untuk memenuhi kesenangan sesaat. Terlebih dengan murah meriahnya harga Cd bajakan yang dijual di pinggir-pinggir jalan. Lagu-lagu Koplo terjual bebas di Masyarakat kita, lagu-lagu itu tidak memperhatikan atau tidak mempedulikan isi atau kandunagn dalam lagu. Sebaliknya yang ditampilakan adalah gaya penyangyi atau goyangan sang penyangyi lebih digemari seorang aki-aki di pinggir toko yang asyik memilih lagu-lagu Koplo. Lagu relijius hanya digemari saat Bulan Ramadhan, hanya untuk memenuhi haus akan nilai spiritual yang sifatnya sangat sementara. 
Tidak ada pesan moral dalam lagu-lagu yang sebagaian saya sebutkan diatas. Lagu Rhoma yang dibangun diatas kesadaran Ketuhanan pun berubah menjadi lagu komersiil yang hanya bernilai sekedar goyangan sanga penyanyiyang nyaris telanjang di panggung-panggung hiburan. Lihat saja cd-cd yang dijual murah di pinggir-pinggir jalan. Masih banyak lagu atau karya serupa bahkan lebih memprihatinakan ketimbang lagu-lag utersebut.
Dalam hal ini kita tidak perlu menyalahkan siapapun kecuali kesalahan itu harus diarahkan pada diri sendiri. Kedua adalah sistem dan serbuan pemikiran yang sangat kuat di negeri ini. Ekspansi Budaya barat sangat besar berpengarudh di negeri ini. Di tngkat bawah inilah yang terjadi lagu-lagu Koplo di kalangan modernis kota betapa Ngedugem telah menjadi tradisi dan bagi yang jika tidak melakukany akan dinilai ketinggalan zaman.
Ini memang pekerjaan berat, melawan sistem kuat yang membabi buta. Kehidupan negara pun tak beranjak baik, tak pernah sadar bahwa perlawanan sesungguhnya adalah pada kelompok anti moral yang kenyataannya menggerus nilai luhur budaya sendiri. Betapa banyak anak-anak kita yang telah hamil di luar Nikah belum lagi kasus pengaborsian yang melanda anak bangsa ini. Di Cilacap ditemukan puluhan janin bayi dalam satu seotitank. In ibencana moralitas yang sangat luar bisa.
Adakah kaitanya dengan lagu-lagu ini dengan realitas kerusakan moral yang ada disekitar kita. Tentu saja ada sebab entitas sosial kita jalin berkelindan dan lagu itu setidaknya menggambarkan kontruksi sosial itu. Memang banyak faktor penyebab kerusakan moral tapi lagu atau kesenian meiliki peran startegis selain sebagai hiburan, lagu juga merupakan penyampai pesan yang sangat efektif jika lagu tidak puny tanggung jawqab pembangunan Moral maka akan sangat sulit upaya pembangunan Moralitas yang kita damba. Akan seperti apa sesungguhnya kontruksi moralitas kita.
Ini adalah kegelisahan kita (untuk tidak sekedar mengatakan ini hanya saya yang mengalami). Ini pekerjaan kita yaitu bagaimana membenahi moralitas yang memprihatinkan.  Lagu-lagu atau karya kita seemstinya diarahkan untuk hal yang positif, yaitu karya yang memicu penguatan moralitas, spiritualitas dan intelektualitas. 
Lagu ini sesungguhnya adalah proses pendidikan anti moral, yang sengaja disebarkan. Sudah saatnya kita kembali pada nilai Luhur kita. Saatnya kita memilih lagu yang lebih bersahabat dengan Jiwa sehat kita. Lagu yang menggugah dan menjunjung Nilai kita. Lagu yang menyenandungkan keindahan Alam, Tuhan dan Nilai kemanusiaan.

TUHAN TAK BUTUH DIBELA


TUHAN TAK BUTUH DIBELA
Oleh: Arif Budiman
Sebenarnya Tuhan tidak butuh dibela sebab Tuhan tidak membutuhkan apapun dari mahluknya sebagaimana manusia yang membutuhkan sesuatu pembelaan, perlindungan dan pertolongan . Tuhan tidak memerlukan sesuatu apun untuk dan bagi Diri-nYa sebab jika Tuhan memerlukan sesuatu di luar dirinay, maka dalam hal ini Tuhan bergantung. Jika sesuatu bergantung maka ia bukan segalanya. Padahal Tuhan adalah segalanya.
Adapun pembelaan yang dilakukan Ibnu Sina dan  beberapa Filosof muslim lain terhadap Tuhan adalah sebuah upaya untuk menjelaskan eksistensi Tuhan dengan pendekatan Filsafat. Tuhan adalah dzat yang melampau segala dimensi manusia, maka saat Diri-Nya di jelaskan dengan pendekatan apapun maka tidak akan mengubah Eksistensinya.

Serangan paling mengerikan bagi akidah Islam adalah saat pendekatan Empiris dan Realis demikian Absurd membahasakan ketiadaan Tuhan. Jika filsafat ini yang dipakai dalam kehidupan maka bisa dipastikan bencana kemanusiaan lah yang akan terjadi. Tak dapat dipungkiri pean besar pendekatan empirisism edan realisme telah menyuguhkan karya besar ilmu pengetahuan dan teknologi namun menyisakan jurang-jurang mengerikan yang menempatkan manusia pada kehancurannya. Yaitu jauh dirinyadari realitas yang hakiki, realitas yang tak bisa lepas dari dirinya. Saat manusia terjauh dari Realitas hakiki ini maka manusia akanmegalami kekeringan eksistensial.

Saat agama yang notabene setiap saat membahasakan Tuhan, kenyataannya Tuhan yang dibahasakan itu demikian mengerikan. Agama menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Jika Rasul Muhammad SAW menyebut agama itu rahmatan Lil alamiin, kenyataannya kerahmatan itu senyatanya karena perilaku beragama sebagain orang yang menyebut dirinya beragama kerahmatan itu menjadi tiada sebab yang ada justru kenyataan agama yang sangat mengerikan.

Saat kaum agamawan yang ada justru menjadikan agama bahkan Tuhan demikian mengerikan itu tak mampu menjelaskan dengan pendekatan logika tentang keberadaan Tuhan dan Agama sejak saat itulah sesunggguhnya Agama (tuhan) harus dibela. Sebab agama harus mampu menjelaskan dengan bijak konsep keagamaannnya. Bukan berarti menggunakan konsep barat semata.

Saat Nilai Ketuhanan dicampakan, sudah saatnya ada penjelasan dan perubaan paradigma berpikir bahwa peradaban dan keadaban tidak bisa berdiri dengan mengabaikan Konsep Satu (Tuhan). Saya kira sudah saatnya kaum Materialis menghentikan gagasan Absurdnya dengan mempersepsi Tuhan dengan sesuatu yang lain di luar dirinya.
Sekali Lagi Bukan berarti Tuhan Ingin Dibela sebab Tuhan Tak Butuh Dibela…

Minggu, 22 April 2012

MENCARI PEMIMPIN


MENCARI PEMIMPIN


Salah satu sifat dasar yang ada dalam diri manusia adalah sifat kepemimpinan. Sebagaimana firman Allah setiap manusia adalah pemimpin dan setiap manusia itu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Kepemimpinan adalah potensi besar yang harus terus digali dan dikembangkan agar memiliki manfaat bagi masyarakat sebaba masyarakat kita sangat membutuhkan manusia-manusia  yang memiliki kualitas kepemimpinan yang baik, mampu mengarahkan masyarakat membimbing dan mengayomi.
          Kepemimpinan adalah potensi dasar yang menentukan arah bagi sebuah aktifitas hidup. Kepemimpinan yang baik akan membawa aktifitas yang baik dan  sebaliknya kepemimpinan yang buruk akan membawa dampak buruk. Di dalam kepemimpinan dibutuhkan sinergi antara kekuatan pikiran, hati dan skill untuk menghasilkan sebuah putusan atau tindakan yang tepat dan terarah agar sebuah organisasi masyarakat dapat terkontrol dan terkoordinasi.
          Dalam kehidupan nyata, kepemimpinan memiliki kedudukan yang sangat penting sebab kepemimpinan berada di titik sentral seluruh aktifitas hidup itu. Karenanya mengembangkan potensi kepemimpinan dalam diri manusia adalah satu pekerjaan utama dan diutamakan. Tidak mudah mendapatkan kualitas kepemimpinan yang baik sebab kepemimpinan adalah potensi kecerdasan yang mengandung aspek yang sangat kompleks. Bukan semata pada kecerdasan akal melainkan juga kecerdasan spiritual dan emosional. Sehingga pemikiran tentang pengembangan Potensi Kepemimpinan sudah semestinya disambut dengan baik. Tidak ada potensi kepemimpinan yang tumbuh dengan sendirinya tanpa proses pengembangan. Sejarah menunjukkan bahwa kualitas kepemimpinan dibentuk melalui proses yang sangat panjang yaitu melalui proses mental, pemikiran dan spiritual yang sangat kental. Tanpa proses itu, mustahil mendapatkan kualitas kepemimpinan itu.
 Potensi kepemimpinan akan tumbuh dengan baik apabila seseorang telah menempuhi tahap-tahap pertumbuhan atau pendewasaan diri tentang potensinya yaitu saat seorang manusia telah mengenal dengan baik segala potensi yang ada dalam dirinya. LDKS MAN 21 adalah salah satu upaya menumbuhkan potensi kepemimpinan itu walau masih di tingkat dasar.  Adapun potensi-potensi diri itu meliputi potensi intektual (fikr) yang mencakup kemampuan akal manusia untuk memahami, merespon, menyimpulkan, menganalisis dan membuat sintesa. Kedua tahap pemikiran qolbu, dalam tahapan ini qolbu tidak bisa dilupakan begitu saja. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bukan hanya cerdas secara intelektual saja, namun juga  cerdas secara emosional.
Lalu…, kualitas kepemimpinan yang seperti apa yang hendak kita tuju? Tentu saja kualitas kepemimpinan yang memiliki cita-cita utama yaitu kemaslahatan ummat yaitu kepemimpinan yang dikembangkan untuk menggapai ridho Allah SWT. Mudah-mudahan Allah SWt senantiasa mengukuhkan kita sebagai hamba yang mampu menggapai sebaik-baik manusia yaitu manusia yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi manusia. Dan menjadikan diri kita pemimpin yang professional, amanah dan bertanggungjawab baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat dan juga Negara. Demikian halnya kegitan LDKS, Mudah-mudahan Allah SWT menjadikan kegiatan ini sebagai salah satu upaya kita menggapai Ridho-Nya. Amin.


Selasa, 17 April 2012

KECURANGAN UN: (Pemerintah Tutup Mata)

KECURANGAN UN:
(Pemerintah Tutup Mata)
Oleh: Arif Budiman[1]

Sampai kapan sandiwara bernama UN ini akan berakhir. Aktor-aktor sengaja dimainkan dengan peran-peran yang bertentangan dengan kemampuannya (baca: nuraninya). Anak yang diminta hanya menjadi boneka, guru yang dipaksa menjadi penggembira system dan ditakut-takuti. Tiga tahun lamanya para guru mencoba mengembangkan potensi anak baik sisi pengetahuan (kognitif), Sikap (Afektif), dan ketrampilannya (Psikomotor). Tantangan deras berupa terpaan budaya barat yang meluluh-lantakan pondasi dan keutuhan budaya saja belum mampu kita atasi, saat ini kita malah disibukkan dengan ketak tahuan diri dari proses evaluasi akhir dengan nilai yang dipatok melampaui target atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Seolah anak kita telah mendapati anak kita cerdas, sehingga yakin dengan target-target itu. Atau sebenarnya pemerintah yang sedang dirundung mimpi bisa menjadi bangsa yang maju bidang pendidikannya padahal nilai tinggi yang diperolah selama ini tidak melalui proses yang semestinya. Masih banyak praktek kecurangan dalam praktek Ujian Nasional itu. Saya bahasakan istilah kecurangan itu sebagai bentuk  keterpaksaaan sistem yang dibuat pemerintah. Tulisan ini lebih berbentuk pembelaan terhadap para guru yang seolah dipaksa ditodong dibawah kokangan “senjata keterpaksaan” untuk mewujudkan mimpi nilai tinggi tanpa melihat realitas pelaksanaan pendidikan di lapangan yang sebenarnya belum siap dengan Ujian Nasioanal.  Prakteknya yang ada stake holder dalam UN menjadi pemain “drama kebohongan” dan tak ada orientasi positif.
JIka asmsi kecurangan ini terus berlangung atau di kemudian hari atau saat ujian sudah bisa diprediksiakan ada “bocoran”, maka ini akan melemahkan semangat guru dalam memberikan materi. Artinya saat guru tahu bahwa nanti saat UN akan ada kebocoran sebab kenyataannya hamper tiap tahun kita menemukan fakta-fakta itu dan selama ini terkesan dibiarkan, maka tak ada motivasi mengajar pada guru. Dengan alasan mereka nanti anak akan mendapat bantuan dari kebocoran itu. Sesudahnya guru telah menjadi tiada berwibawa saat mengajar. Lebih jauh pembelajaran kehilangan wibawanya. Martabat guru digadaikan dengan tuntutan pengejaran nilai atau target UN. Lebih jauh lagi integritas moral bangsa ini dipertanyakan.
 Bagi anak ini memberi dampak yang sangat luar biasa tentang kebohongan besar yang akan tersimpan di dalam otak mereka secara personal.
Tidak berlebihan jika akar kebobrokan praktek korupsi demikian menggurita di negeri ini sebab pendidikan sebagai basis pembentukan karakter dicemari. Anak-anak kita secara tidak langsung seolah sedang diajarkan praktek-praktek kecurangan ini. Tidakkah kita sadar bahwa sesungguhnya anak-anak kita sedang merekam episode pembelajaran ini hingga dewasa. Ujungya ia (anak-anak kita) akan mengatakan bahwa guru saja melakukan kecurangan apalagi kita. Apa yang terjadi jika anak-anak yang melihat rekaman itu duduk dalam pemerintah..? Mampukah mereka amanah padahal secara tidak langsung pembelajaran tentang ketidak jujuran itu tersaji di depan matanya. Sungguh terlalu mahal jika kita mengorbankan institusi pendidikan, sebagai lembaga terhormat ini dikotori oleh praktek-praktek kecurangan yang sesunguhnya pemerintah tahu  tentang keadaan dan situasi ini.
Ketahuan atau kenyataan bahwa pemerintah tahu pun tidak bisa disikapi oleh pemerintah dengan pengawalan pada paket soal UN yang digiring dengan pengamanan yang super ketat. Itu bukan solusi. Dan memang bukan disana letak persoalan yang sebenarnya. Persolalan UN yang sebenarnya adalah bagaimana Pemerintah menyadari bahwa kebijakan Ujian Nasional ini tidak semestinya dipaksakan. Berikut target-target yang sangat menekan siswa atau anak didik. Kembalikan saja proses pendidikan kita pada pendidikan yang utuh yang memahami keberhasilan pembelajaran pada keseluruhan proses pembelajaran yang telah dijalani anak.
Saya menyoroti Pemerintah (baca: Dinas Pendidikan) sebab kebijakan pendidikan ada di tangan pemerintah. Penerapan atau kebijakan Kurikulum sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Dalam kasus UN selama ini,  pemerintah terkesan tutup mulut, mata dan juga telinga. Merasa bangga bahwa UN murni disertai penjagaan ketat terkesan berlebihan sebab dalam kenyataannya praktek kebocoran terjadi di depan matanya. Apakah pemerintah akan menunggu wistoblower-wistoblower  sebagaimana Gayus Tambunan dalam dunia pajak atau Nazarudin dalam dunia Politik yang dengan begitu pemerintah akan menuding puihak tertentu dengan hukuman yang jelas ini sangat otoriter atau bentuk kezaliman yang dipertontonkan. Kesalahan itu diukur saat telah ada yang terbukti bersalah.
Apakah sebuah kecurangan atau kesalahan harus menunggu ada orang yang tergelincir sebagaimana Gayus?, baru kemudian  kita akan mengatakan bahwa ada kesalahan atau kecurangan. Apa kecurangan itu akan dianggap curang setelah ada pelaku kecurangan tertangkap kamera wartawan. Sementara yang tidak tertangkap kamera itu bukan kecurangan.? Di Negeri ini ukuran kesalahan diukur dengan ukuran-ukuran yang sangat fisikal. Dalam kasus ini saya ingin mengatakan bahwa tahu itu tidak hanya bisa melihat secara fisik, tahu juga bisa dirasakan. Walau dalam aksus UN secara fisik pun sudah sangat jelas dan nyata adanya praktek kecurangan itu.
Keberhasilan UN sebelumnya telah menjadikan pemerintah merasa bangga padahal masih banyak praktek kecurangan. Dan degan kecurangan itu, pemerintah bukan mengevaluasi malah menambah atau meningkatkan target capaian Ujian Nasional yang semakin memberatkan guru dan juga anak. Pada ujungnya tuntutan ini menjadi lingkaran setan dimana sekolah dituntut Dinas pendidikan di daerahnya agar nilai UN dengan hasil baik. Jika buruk maka akan berakibat kemunduran kinerja. Dinas kota juga mengalami hal yang sama mendapat Tuntutan dengan hasil UN yang harus tinggi.
Dulu tak ada bimbel sebagaimana kondisi saat ini. Kelulusan tidak semata diukur dari hasil UN tapi pada faktor lain. Dulu Ujian kita adalah Ujian Murni yang menggambarkan hasil yang sebenar-benarnya anak kita. Ujian yang tanpa kebohongan Ujian yang mengedepankan kejujuran sebagai ukuran. Maka dari sanalah sesungguhnya generasi yang kita harapkan. Jika hari ini pemerintah dan dalam hal ini gur yang jadi korban hanya karena ingin menyelamatkan anak kemudian harus melakukan kebohongan (keterpaksanaan yang dipaksanaakan pemerintah). Guru harus berbohong, ini akan memunculkan image di anak kita bahwa guru saja mengajarkan ketidak jujuran.
Tidak usah pengawalan ketat, tidak usah soal-soal Ujian dibuat dengan paket-paket yang bermacam-macam itu. Cukup unik sebenarnya dengan paket penyelenggaraan yang seolah sudah tak ada lagi kejujuran di negeri ini. Sebetulnya siapa yang tidak jujur? Betapa besar biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dengan pembuatan soal yang tahun ini hingga lima paket. Berapa energi yang harus dikeluarkan jika dalam kenyataannya kebocoran itu masih saja terjadi. Dan coba tanyakan dalam diri pemerintah sendiri. Jangan dan tidak harus menunggu Wistho Blower sebab ukuran benar salah bukan karena ada atau tidak adanya bukti sebagaimana ukuran dalam hokum kita. Apakah juga pemerintah akan tetap mengatakan bahwa UN tahun ini lancar jarang kecurangan. Padahal sesungguhnya pemerintah juga tahu apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Jangan ada dusta diantara kita. Jangan ada lagi kebohongan yang sama artinya memberikan pendidikan buruk buat anak-anak kita. Hentikan semua kebohongan ini. Cara seperti ini justru akan menyebabkan bangsa ini semamkin terpuruk. Kita menjadi manusia yang tidak pernah belajar dari kekalahan atau ketidak lulusan atau kegagalan. Biarkan semua belajar dengan proses yang sebenarnya, sejujurnya dan sedanya sebab itu akan lebih mendewasakan.
Secara Materi, pemerintah juga sememestinya meninjau kualitas materi Sekolah atau materi UN. Jangan memberi beban yang berat yang sebenarnya anak-anak kita tidak mampu atau tidak sesuai dengan tugas perkembangannya. Tidak sama kemampuan anak usia SMA dengan Usia mahasiswa.  Kasus di lapangan betapa soal UN tertentu memiliki bobot kesulitan yang sangat tinggi setara dengan materi-materi di tingkat atau level mahasiswa.
 Jika kita memberikan keteladan yang benar maka anak akan melakukan kejujuran sesuai apa yang diteladankan kita paanya. Karenanya pemerintah jangan tutup mata, dan jangan paksakan guru dan anak kita dengan beban pembelajaran yang berat. Ingat UN adalah kompetensi Kognitif sementara aspek pembelajaran yang semestinya kita tuju dan  sangat penting buat bangsa ini adalah pembentukan karakter. Seperti menanamkan kejujuran, Nilai ketuhanan dan Kemanusiaan. Apa jadinya jika dalam kenyataanya, pendidikan yang diharapkan justru malah “dipaksa” berperan dengan nilai-nilai diluar dirinya. Saya katakan dipaksa sebab sesungguhnya pemerintah tahu adanya kecurangan yang ada di lapangan. Membiarkan itu terjadi sama saja membiarkan proses kebohongan berlangsung terus. Bukan pula tindakan represif yang mengharuskan guru masuk sell dan dipermalukan. Padahal inti persoalannya bukan pada kecurangan guru melainkan tapi lebih pada kedewasaan pemerintah menentukan kebijakan yang lebih mausiawi dalam memandang adanya UN.
Guru dan anak menjadi korban dan dikorbankan demi ambisi tak berdasar. Ambisi yang tidak sesuai dengan kenyataan sebab pemerintah tidak memahami esensi pembelajaran yang sesungguhnya yaitu bagaimana memanusiakan manusia.


[1] Arif Budiman, Aktifis CENTER (Komunitas Guru Untuk Pembentukan Karakter Bangsa). Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Alamat Jl Sarang bango No 2 Cilincing Marunda Jakarta Utara e-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id. Telp 02141872917.

Cari Blog Ini