Senin, 30 April 2012

REFLEKSI PENDIDIKAN INDONESIA


REFLEKSI PENDIDIKAN INDONESIA
(Pendidikan Terbaik Untuk Negeri)
Oleh: Arif Budiman[1]

Dalam peringatan hari pendidikan kali ini, ada dua tema refleksi yang antara keduanya saling berkaitan yaitu pendidikan itu sendiri dan perjalanan kebangsaan. Perjalanan kita sebagai sebuah bangsa akhir-akhir ini telah menggerus ruang pemikiran kita. Panggung politik dan kebangsaan diwarnai oleh beragam pertarungan tak berkesudahan. Korupsi dan penegakan hukum, demokrasi menjadi tema sentral pertarungan elite politik.
Refleksi pertama berujud keprihatinan terhadap realitas pendidikan yang tak kunjung menuju perbaikan. Pendidikan Indonesia terpuruk setidaknya terlihat dari dekadensi moral dan tidak mengertinya proses pembelajaran di sekolah yang tak kunjung beranjak pada paradigma pembangunan karakter. Kenyatannya pendidikan hanya menyisakan kerusakan moral dan hanya berorientasi pada sisi material dan cenderung mengabaikan unsur moral atau budi pekerti. Di lapangan pelaksanaan UN dalam kenyataannya tak mampu menuju cita-cita kebangsaan itu tapi justru sebaliknya sebab praktek kecurangan dan ada unsur pemaksaan sistem yang tidak memahami realitas di lapangan.
Keprihatinan pendidikan terkait dengan nasib bangsa yang  sesungguhnya sangat memilukan. Realitas negeri yang tak kunjung beranjak menjadi negara besar sebagaimana pada masa jaya dulu saat Sriwijaya dan Majapahit. Mengharap kejayaan sebagaimana kejayaan tempo dulu yaitu masa Majapahit atau Sriwijaya mungkin terlampau tinggi. Gapaian agar dihormati negara lain saja, rasanya sangat sulit seperti kata sebuah pepatah lama api jauh dari panggang. Berada di depan Malaysia pun terasa sangat sulit sementara kita masih saja asyik dengan nostalgia bahwa Malaysia dulu bergur pada kita. Negara ini dipermalukan, dihina bahkan dilecehkan negara lain. Dan kita masih diam dan tak beranjak dari kehinanaan itu. Kita mengharapkan negara ini dan bangsa ini menjadi Negara dan bangsa yang bermartabat. Ini keingingnan kita, bangsa yang disegani, berdaulat. Kuat dan kokoh.
Dan semua fenomena keprihatinan nasib bangsa ini terjadi di hampir setiap sisi kehidupan berbangsa. Dari sumberdaya alam yang dikuasai bangsa lain, wilayah teritorial yang diobok-obok hingga bidang olah raga yang nyaris tak pernah berjaya di atas bangsa lain. Setidaknya kekalahan dramatis Timnas Indonesia oleh Timnas Malaysia, tak jua menunjukan kejayaan itu. Sesudahnya perseteruan di kepengurusan PSSI telah menyisakan polemik.
Di sisi yang lain, negeri yang kaya raya “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini masih dihuni oleh ribuan orang-orang miskin yang jauh dari layak. Sementara di sisi orang-orang miskin itu banyak orang-orang yang berlebihan menyajikan pemandangan ketimpangan sosial yang tajam. Pengiriman TKW ke negara lain sesungguhny adalah Indikator bahwa bangsa ini masih sangat rendah kualitas Sumber Daya manusianya. Sebut saja kasus TKI Indonesia di Malaysia dan Indonesia sungguh sangat mencoreng muka bangsa Indnesia tapi bangsa ini masih santai-santai saja dan tetap mengirim wanita-wanita yang tak lain adalah ibu bangsa untuk mengalami nasib yang terus dihina dan direndahkan. Jika bekerja sebagai tenaga ahli tak masalah tapi ini bekerja sebagai tenaga kasar seperti pembantu rumah tangga atau sejenisnya. Sungguh itu sebuah kenyataan yang sangat Ironi. Sebut saja kegetiran itu semua dengan Ironi Kebangsaan.
Sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukannya. Sudah saatnya lahir pemimpin pemimpin dan generasi tangguh yang amanah, cerdas dan bertanggung jawab kebangsaaan. Karenanya perjuangan melalui pendidikan menjadi mutlak dilakukan. Tapi jika pendidikan justru membusukkan dirinya dan pada akhirnya hanya mmpu mencetak manusia-manusia yang justru akan merusak negeri ini, jelas ini sangat kontraproduktif dengan tujuan pendidikan sebagai penyiap generasi untuk melanjutkan estapet kebangsaan (baca:kepemimpinan). Bagaimana jika calon-calon penerus bangsa ini sejak dini telah diajak atau diajari ketidakjujuran. Apakah pendidikan masih bisa diharapkan?
 Jalan lain adalah mekanisme kebangsaan atau jalur kenegaraan dimana dari sana kita berharap akan lahir pemimpin berwibawa yang tegas sebagaimana Soekarno yang keras terhadap negara lain (baca: Malaysia) dan berbicara lantang tentang kehormatan bangsanya. Semua unsur kebangsaan sangat merindui pemimpin kuat dan disegani. Pemimpin cerdas yang bisa membaca kondisi rakyatnya. Pemimpin yang peka dengan suara hati rakyatnya. Dan penguatan kepemimpinan yang kuat hanya terjadi lewat pendidikan terbaik. Mudah-mudahan usaha pendidikan dan kebangsaan ini dapat memberikan kontribusi berharga untuk kejayaan Indonesia



[1] [1] Arif Budiman, Guru MAN 21 Jakarta. Alamat Rorotan Cilincing Jakarta Utara. Telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini