Selasa, 17 April 2012

KECURANGAN UN: (Pemerintah Tutup Mata)

KECURANGAN UN:
(Pemerintah Tutup Mata)
Oleh: Arif Budiman[1]

Sampai kapan sandiwara bernama UN ini akan berakhir. Aktor-aktor sengaja dimainkan dengan peran-peran yang bertentangan dengan kemampuannya (baca: nuraninya). Anak yang diminta hanya menjadi boneka, guru yang dipaksa menjadi penggembira system dan ditakut-takuti. Tiga tahun lamanya para guru mencoba mengembangkan potensi anak baik sisi pengetahuan (kognitif), Sikap (Afektif), dan ketrampilannya (Psikomotor). Tantangan deras berupa terpaan budaya barat yang meluluh-lantakan pondasi dan keutuhan budaya saja belum mampu kita atasi, saat ini kita malah disibukkan dengan ketak tahuan diri dari proses evaluasi akhir dengan nilai yang dipatok melampaui target atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Seolah anak kita telah mendapati anak kita cerdas, sehingga yakin dengan target-target itu. Atau sebenarnya pemerintah yang sedang dirundung mimpi bisa menjadi bangsa yang maju bidang pendidikannya padahal nilai tinggi yang diperolah selama ini tidak melalui proses yang semestinya. Masih banyak praktek kecurangan dalam praktek Ujian Nasional itu. Saya bahasakan istilah kecurangan itu sebagai bentuk  keterpaksaaan sistem yang dibuat pemerintah. Tulisan ini lebih berbentuk pembelaan terhadap para guru yang seolah dipaksa ditodong dibawah kokangan “senjata keterpaksaan” untuk mewujudkan mimpi nilai tinggi tanpa melihat realitas pelaksanaan pendidikan di lapangan yang sebenarnya belum siap dengan Ujian Nasioanal.  Prakteknya yang ada stake holder dalam UN menjadi pemain “drama kebohongan” dan tak ada orientasi positif.
JIka asmsi kecurangan ini terus berlangung atau di kemudian hari atau saat ujian sudah bisa diprediksiakan ada “bocoran”, maka ini akan melemahkan semangat guru dalam memberikan materi. Artinya saat guru tahu bahwa nanti saat UN akan ada kebocoran sebab kenyataannya hamper tiap tahun kita menemukan fakta-fakta itu dan selama ini terkesan dibiarkan, maka tak ada motivasi mengajar pada guru. Dengan alasan mereka nanti anak akan mendapat bantuan dari kebocoran itu. Sesudahnya guru telah menjadi tiada berwibawa saat mengajar. Lebih jauh pembelajaran kehilangan wibawanya. Martabat guru digadaikan dengan tuntutan pengejaran nilai atau target UN. Lebih jauh lagi integritas moral bangsa ini dipertanyakan.
 Bagi anak ini memberi dampak yang sangat luar biasa tentang kebohongan besar yang akan tersimpan di dalam otak mereka secara personal.
Tidak berlebihan jika akar kebobrokan praktek korupsi demikian menggurita di negeri ini sebab pendidikan sebagai basis pembentukan karakter dicemari. Anak-anak kita secara tidak langsung seolah sedang diajarkan praktek-praktek kecurangan ini. Tidakkah kita sadar bahwa sesungguhnya anak-anak kita sedang merekam episode pembelajaran ini hingga dewasa. Ujungya ia (anak-anak kita) akan mengatakan bahwa guru saja melakukan kecurangan apalagi kita. Apa yang terjadi jika anak-anak yang melihat rekaman itu duduk dalam pemerintah..? Mampukah mereka amanah padahal secara tidak langsung pembelajaran tentang ketidak jujuran itu tersaji di depan matanya. Sungguh terlalu mahal jika kita mengorbankan institusi pendidikan, sebagai lembaga terhormat ini dikotori oleh praktek-praktek kecurangan yang sesunguhnya pemerintah tahu  tentang keadaan dan situasi ini.
Ketahuan atau kenyataan bahwa pemerintah tahu pun tidak bisa disikapi oleh pemerintah dengan pengawalan pada paket soal UN yang digiring dengan pengamanan yang super ketat. Itu bukan solusi. Dan memang bukan disana letak persoalan yang sebenarnya. Persolalan UN yang sebenarnya adalah bagaimana Pemerintah menyadari bahwa kebijakan Ujian Nasional ini tidak semestinya dipaksakan. Berikut target-target yang sangat menekan siswa atau anak didik. Kembalikan saja proses pendidikan kita pada pendidikan yang utuh yang memahami keberhasilan pembelajaran pada keseluruhan proses pembelajaran yang telah dijalani anak.
Saya menyoroti Pemerintah (baca: Dinas Pendidikan) sebab kebijakan pendidikan ada di tangan pemerintah. Penerapan atau kebijakan Kurikulum sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Dalam kasus UN selama ini,  pemerintah terkesan tutup mulut, mata dan juga telinga. Merasa bangga bahwa UN murni disertai penjagaan ketat terkesan berlebihan sebab dalam kenyataannya praktek kebocoran terjadi di depan matanya. Apakah pemerintah akan menunggu wistoblower-wistoblower  sebagaimana Gayus Tambunan dalam dunia pajak atau Nazarudin dalam dunia Politik yang dengan begitu pemerintah akan menuding puihak tertentu dengan hukuman yang jelas ini sangat otoriter atau bentuk kezaliman yang dipertontonkan. Kesalahan itu diukur saat telah ada yang terbukti bersalah.
Apakah sebuah kecurangan atau kesalahan harus menunggu ada orang yang tergelincir sebagaimana Gayus?, baru kemudian  kita akan mengatakan bahwa ada kesalahan atau kecurangan. Apa kecurangan itu akan dianggap curang setelah ada pelaku kecurangan tertangkap kamera wartawan. Sementara yang tidak tertangkap kamera itu bukan kecurangan.? Di Negeri ini ukuran kesalahan diukur dengan ukuran-ukuran yang sangat fisikal. Dalam kasus ini saya ingin mengatakan bahwa tahu itu tidak hanya bisa melihat secara fisik, tahu juga bisa dirasakan. Walau dalam aksus UN secara fisik pun sudah sangat jelas dan nyata adanya praktek kecurangan itu.
Keberhasilan UN sebelumnya telah menjadikan pemerintah merasa bangga padahal masih banyak praktek kecurangan. Dan degan kecurangan itu, pemerintah bukan mengevaluasi malah menambah atau meningkatkan target capaian Ujian Nasional yang semakin memberatkan guru dan juga anak. Pada ujungnya tuntutan ini menjadi lingkaran setan dimana sekolah dituntut Dinas pendidikan di daerahnya agar nilai UN dengan hasil baik. Jika buruk maka akan berakibat kemunduran kinerja. Dinas kota juga mengalami hal yang sama mendapat Tuntutan dengan hasil UN yang harus tinggi.
Dulu tak ada bimbel sebagaimana kondisi saat ini. Kelulusan tidak semata diukur dari hasil UN tapi pada faktor lain. Dulu Ujian kita adalah Ujian Murni yang menggambarkan hasil yang sebenar-benarnya anak kita. Ujian yang tanpa kebohongan Ujian yang mengedepankan kejujuran sebagai ukuran. Maka dari sanalah sesungguhnya generasi yang kita harapkan. Jika hari ini pemerintah dan dalam hal ini gur yang jadi korban hanya karena ingin menyelamatkan anak kemudian harus melakukan kebohongan (keterpaksanaan yang dipaksanaakan pemerintah). Guru harus berbohong, ini akan memunculkan image di anak kita bahwa guru saja mengajarkan ketidak jujuran.
Tidak usah pengawalan ketat, tidak usah soal-soal Ujian dibuat dengan paket-paket yang bermacam-macam itu. Cukup unik sebenarnya dengan paket penyelenggaraan yang seolah sudah tak ada lagi kejujuran di negeri ini. Sebetulnya siapa yang tidak jujur? Betapa besar biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dengan pembuatan soal yang tahun ini hingga lima paket. Berapa energi yang harus dikeluarkan jika dalam kenyataannya kebocoran itu masih saja terjadi. Dan coba tanyakan dalam diri pemerintah sendiri. Jangan dan tidak harus menunggu Wistho Blower sebab ukuran benar salah bukan karena ada atau tidak adanya bukti sebagaimana ukuran dalam hokum kita. Apakah juga pemerintah akan tetap mengatakan bahwa UN tahun ini lancar jarang kecurangan. Padahal sesungguhnya pemerintah juga tahu apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Jangan ada dusta diantara kita. Jangan ada lagi kebohongan yang sama artinya memberikan pendidikan buruk buat anak-anak kita. Hentikan semua kebohongan ini. Cara seperti ini justru akan menyebabkan bangsa ini semamkin terpuruk. Kita menjadi manusia yang tidak pernah belajar dari kekalahan atau ketidak lulusan atau kegagalan. Biarkan semua belajar dengan proses yang sebenarnya, sejujurnya dan sedanya sebab itu akan lebih mendewasakan.
Secara Materi, pemerintah juga sememestinya meninjau kualitas materi Sekolah atau materi UN. Jangan memberi beban yang berat yang sebenarnya anak-anak kita tidak mampu atau tidak sesuai dengan tugas perkembangannya. Tidak sama kemampuan anak usia SMA dengan Usia mahasiswa.  Kasus di lapangan betapa soal UN tertentu memiliki bobot kesulitan yang sangat tinggi setara dengan materi-materi di tingkat atau level mahasiswa.
 Jika kita memberikan keteladan yang benar maka anak akan melakukan kejujuran sesuai apa yang diteladankan kita paanya. Karenanya pemerintah jangan tutup mata, dan jangan paksakan guru dan anak kita dengan beban pembelajaran yang berat. Ingat UN adalah kompetensi Kognitif sementara aspek pembelajaran yang semestinya kita tuju dan  sangat penting buat bangsa ini adalah pembentukan karakter. Seperti menanamkan kejujuran, Nilai ketuhanan dan Kemanusiaan. Apa jadinya jika dalam kenyataanya, pendidikan yang diharapkan justru malah “dipaksa” berperan dengan nilai-nilai diluar dirinya. Saya katakan dipaksa sebab sesungguhnya pemerintah tahu adanya kecurangan yang ada di lapangan. Membiarkan itu terjadi sama saja membiarkan proses kebohongan berlangsung terus. Bukan pula tindakan represif yang mengharuskan guru masuk sell dan dipermalukan. Padahal inti persoalannya bukan pada kecurangan guru melainkan tapi lebih pada kedewasaan pemerintah menentukan kebijakan yang lebih mausiawi dalam memandang adanya UN.
Guru dan anak menjadi korban dan dikorbankan demi ambisi tak berdasar. Ambisi yang tidak sesuai dengan kenyataan sebab pemerintah tidak memahami esensi pembelajaran yang sesungguhnya yaitu bagaimana memanusiakan manusia.


[1] Arif Budiman, Aktifis CENTER (Komunitas Guru Untuk Pembentukan Karakter Bangsa). Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Alamat Jl Sarang bango No 2 Cilincing Marunda Jakarta Utara e-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id. Telp 02141872917.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini