Senin, 02 April 2012

MENGASAH AKAL, MEMBINA BUDI

MENGASAH AKAL, MEMBINA BUDI
Oleh: Arif Budiman[1]
Mengasah Akal Membina Budi”. Itulah sepenggal bunyi Motto sekolah swasta yang pernah penulis temui di daerah Sukabumi. Dalam motto tersebut sesungguhnya terkandung tujuan pembelajaran. Banyak kita menemukan motto dengan kata-kata berbeda tapi substansinya sama. Pada intinya kegiatan pembelajaran dirancang untuk membentuk pribadi yang utuh atau manusia sempurna (insan kamil). Pemerintah atau dalam hal ini dalam sistem pendidikan nasional sudah mengamanatkan hal ini dengan sangat jelas dalam tujuan pendidikannya yaitu untuk menjadikan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa cerdas dan trampil.
Masih ingat tiga kata yang tertulis di dinding sekolah saat kita masih di SD? Tiga kata itu adalah Taqwa, Cerdas dan Trampil. Itulah yang saya maksud dengan totalitas pembelajaran. Paling tidak tiga kata itu merupakan pilar utama pembelajaran yang total atau utuh
Kita kalangan guru tentu sudah sangat familiar dengan motto sekolah. Siswapun telah dengan sangat fasih menghafal motto yang terpampang di dinding sekolahnya. Tujuan pendidikan Nasional terfokus pada kata taqwa cerdas dan trampil. Dalam tulisan ini, saya ingin mengurutkan pembahasan menjadi Cerdas, Trampil dan Taqwa. Tiga kata ini saya gunakan untuk menunjukkan tiga tujuan pembelajaran. Dan dengan tiga kata itu akan kita lihat bagaimana pendidikan kita. Tiga istilah tersebut saya sebut dengan tiga pencapaian pendidikan yaitu pencapaian cerdas, pencapaian trampil dan pencapaian taqwa.
Pertama, pencapaian pada kata cerdas berarti membahas arah pembelajaran untuk tujuan mencapai target kecerdasan peserta didik. Cerdas yang dimaksud disini dibatasi pada kemampuan kognitif (pengetahuan). Pada tujuan ini kita mungkin telah menjadi sangat bangga dengan keberhasilan anak-anak kita. Sebab metode-metode baru pengajaran hampir semua berorientasi pada pencapaian target kecerdasan ini (baca: kognitif). Menjamurnya bimbel-bimbel dengan metode belajar cepat adalah fakta betapa target pembelajaran baru tertuju pada pencapaian kognitif (rumus praktis, dan materi-materi simple dan penalaran). Walhasil anak didik kita mampu mendapat nilai ujian yang memuaskan. Jarang kita dapati nilai merah pada raport yang mereka terima. Artinya pada pencapaian ini tidak merasa ada persoalan. Harus dicamkan baik-baik bahwa semua capaian adalah satu integritas tak terpisahkan.
Kedua pencapaian pada trampil, perspektif Bloom menyebutnya dengan istilah ranah psikomotor. Senasib dengan pencapaian kognitif, pencapaian trampil atau psikomotor pun mendapatkan porsi yang tinggi dalam sistem pembelajaran kita. Ada alasan kuat tentang pencapaian pada aspek psikomotor yaitu adanya dukungan dari perkembangan teknologi komunikasi. Ambil contoh kemampuan bahasa, anak-anak kita telah diperkuat dengan bantuan tayangan-tayangan TV, Internet, CD pembelajaran dan lain sebagainya. Komputer dan teknologi komunikasi menjadi modal utama betapa pencapaian psikomotorik (ketrampilan), gayung bersambut dengan fasilitas dan era yang menuntutnta. Saya kira yang paling berkepentingan dengan perkembangan pada Ketrampilan anak didik adalah pihak yang sangat dan hanya membutuhkan ketrampilan sebagai modal usahanya seperti disiplin pabrik, ketrampilan komputer, sekretaris perusahaan, ketrampilan mesin untuk menggerakan mesin-mesin “kapitalis” mereka.
Pada intinya penulis sedang tidak “mempersoalkan” pencapaian yang kedua ini. Kalaupun pada kenyataannya skill manusia Indonesia masih rendah. Wajar jika sebagian besar lulusan sekolah kita, lebih banyak terserap di pabrik-pabrik sebagai pegawai rendahan. Lalu bagaimana dengan mereka yang hari ini tidak mendapatkan pendidikan alias putus sekolah.
Nah adapun pencapaian yang terakhir yaitu pencapaian pada Taqwa (nilai ilahiah dan moralitas). Inilah yang menurut penulis penting dicermati. Capaian dari target yang kita buat di ranah ini hampir selalu membentur ruang semu yang tak pernah mampu kita petakan. Pendidikan agama dan pendidikan moral atau budi pekerti yang diberikan di sekolah tak bergaung sambut dengan merekahnya bunga moralitas pada jiwa anak-anak kita. Penambahan waktu panjang untuk porsi pembelajaran agamapun tidak menjamin keberhasilan dalam pembelajaran agama.
Menyebut anak yang hafal doa-doa sebagai kriteria keberhasilan pembelajaran agama, rasanya terlalu dini. Kenyataannya masih banyak kita dapati perilaku anak jauh dengan kemampuan hafalannya tentang agama. Ini menunjukkan bahwa kita baru melakukan pemasukan pengetahuan (Knowledge Transfer). Kita baru berhasil memberikan materi-materi agama pada anak-anak kita, tapi kita belum mampu menggapai tujuan sesungguhnya dari pembelajaran agama. Anak-anak kita masih terbawa dan terbiasa dengan kata-kata atau ucapan yang tidak sopan. Bukankah benar bahwa saat itu kita baru berhasil memberikan materi agama saja.
Pendidikan agama yang kita “jejalkan” pada anak didik kita, dalam konsep pembelajaran baru terjadi pada ranah pengetahuan (kognitif). Demikian halnya dengan pembelajaran moral atau budi pekerti yang kita ajarkan, baru menyentuh aspek pengetahuan. Dengan cara tersebut anak-anak kita telah menjadi manusia kognitif yang tahu apa yang dinamakan Moral. Anak juga menjadi tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Sayangnya anak kita baru sampai tahapan tahu saja. Tidak ada konektifitas antara apa yang ditahuinya dengan apa yang semestinya ada setelah ia tahu (action)
Maka Pencapaian yang ketiga sebenarnya adalah bagaimana pembelajaran agama dan juga mata pelajaran lain dalam rumpun moral dan budi pekerti tidak semata menggunakan mekanisme kognitif (Cognitive Mechanism) tapi dengan mekanisme Afektif (Afective Mechanism) sesuai dengan karakter keilmuannya. Kegiatan pembelajaran pada tahap ini adalah membuat anak berbuat dan bertindak dengan apa yang sudah dia tahu. Bekerja dengan alat yang telah bisa diajalankan. Bertanggungjawab dengan apa yang dia lakukan. Memperbaiki diri jika berbuat kesalahan dan seterusnya.
Ketiga pencapaian tersebut adalah narasi agung yang tahap-tahap pembelajaran kita. Mengapa hal ini perlu ditegaskan sebab bisa jadi selama ini kita lupa dan menyimpang dari rel pembelajaran. Penulis yakin pada pencapaian ketiga ini, penulis yakini sebagai biang ketakberdayaan kita dalam pembelajaran. Abai pada pencapaian ini berdampak buruk pada anak kita seperti anak tidak memiliki sopan santun, berani pada orang tua dan lain sebagainya. Dalam motto sekolah itu, kita ingin menyelenggarakan pendidikan terbaik yaitu pendidikan seutuhnya yang memperhatikan pada tiga pencapain yaitu cerdas, trampil dan taqwa sebagimana motto yang terpampang di dinding sekolah kita.


[1] Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Tinggal di Marunda telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini