Senin, 02 April 2012

KTSP SAS SKS

KTSP, SAS DAN SKS

Oleh: Arif Budiman

Sejak digulirkannya paket kebijakan KTSP beberapa tahun lalu, dunia pendidikan bergeliat dengan upaya pembaharuan semu aspek dalam pembelajaran. Mulai dari perencanaan pembelajaran, metode pembelajaran, hingga evaluasi pembelajaran. Serentetan program pengembangan dan pelatihan tentang KTSP digelar di tiap satuan pembelajaran untuk mengenalkan dan mensosialisasikin konsep KTSP yang punya komitmen pada pembelajaran yang mutakhir dan mengedepankan anak sebagai pusat pembelajaran (core). Di saat yang tidak terlalu lama, pendidikan kita disuguhkan gagasan baru berupa paket kebijakan Istem SKS, dengan mengadopsi konsep SKS perguruan tinggi diaplikasikan di pendidikan SMA/MAN. Tak panjang kalam, SMA pun merespon kebijakan itu sebagai instruksi atau kebijakan yang popular. Sebagaian SMA menyatakan siap menerapkan System Kredit Semester (SKS), sebagaian besar belum siap dengan penerapan system ini karena banyak factor yang belum mendukung untuk pemberlakuan system ini.

Fenomen ini tentu menjadi sangat memprihatinkan sebab ada beberapa indikator atau fenomena yang cukup menyesak dada kita. Pertama. Pendidikan dengan beragam paket kebijakan telah melahirkan ketidak efisien dalam penyelenggaraan. Baik itu perencanaan, proses dan juga evaluasi. Dan tak sedikit dana yang dikeluarkan. Paket kebijakan baru berupa KTSP, pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar. Paket kebijakan SAS di DKI pemerintah harus mengeluarkan dana ……………….. Dan paket kebijakan SKS masih dalam proses percobaan ditengarai akan menghabiskan dana sebesar puluhan milyar. Kedua, evaluasi pada penilaian hasil belajar anak kita belum memperlihatakan indikasi yang positif. Yang ada jusrru yang ada anak-anak yang jauh dari esensi pembelajaran yang kita inginkan. Keprihatinan dan permasalahan dalam hal ini ada beberapa kemunduran dari segi karakter masih sangat memprihatinkan[1]. Anak didik yang menikah terlebih dulu karena telah hamil duluan adalah salah satu fenomena yang memperlihatkan kemerosotan moral. Pertanyaanya adalah apakah kita sudah melakukan pembelajaran yang benar atau tidak. pendampingan kita sudah maksimal atau belum. Ada juga fenomena anak SMP yang dipekerjakan sebagai tenaga kerja PSK. Sungguh ironi pembelajaran yang sangat memprihatinkan.

Ketiga adalah pada pelaksana di tingkat satuan pembelajaran yaitu adanya guru yang mengalami bisa karena perubahan paket kebijakan ini sangat. Guru memiliki tgas di tiga ranah utama yaitu perencanaan, metode dan juga evaluasi. dalam prakteknya para guru mengalami kebingungan dalam membuat dan menyusun kebijakan baru dan setiap saat harus membuat atau menyesuaikan diri dengan format-format baru dalam program pembelajaran yang dibuatkan. Betapa banyak tugas guru dengan beragam format itu. Bagaimana dengan nasib karakter bangsa jika guru hanya disibukkan dengan urusan administrasi pembelajaran. Kita hanya disibukkan dengan target kurikulum yang lebih menonjolkan aspek administrasi.

Tiga pangkal persolaan ini adalah bagaimana penentu kebijakan dalam bidang pendidikan ini dapat menentukan kebijakan yang tepat dan tidak tumpang tindih.

KTSP adalah gagasan ideal tentang pendidikan. Di dalamnya ada ditampilkan life skill dan itu telah dilakukan. hasilnya telah dirasakan dan dilihat bersama. Pemerintah harus tegas dalam membuat kebijakan. Jika mau KTSP, ya dimaksimalkan sehingga di level bawah tidak perlu ada kebingungan dalam praktek kebijakan. KTSP, juga dilaksanakan dengan format format yang berbeda. Tahun 2006 dan 2007 hanya terjadi perubahan format yang sangat sedikitdan tidak significant. KTSP pun beberapa tahun terakhir mengalami beberapa perubahan. Tidak ada signifikansi yang berarti tentang adanya perubahan-peru bahan itu pada intinya adalah bagaimana mengaktifkan anak dalam pebelajaran.prakteknya masih jauh dari idealnya.

Baru-baru ini muncul ide baru bagaimana menerapkan SKS dalam pembelajaran. Penerapan ini cukup inspiratif. Walau peluru juga dilakukan kajian yang mendalam tentang adanya ide ini. Terutama pada sisi kesiapan. Apakah sekolah sudah siap dengan konsep SKS ini.dengan segala perangkatnya. Kesiapan yang saya maksud dalam makalah ini setidaknya terlihat dalam delapan elemen utama pembelajaran. Masih ada sekolah yang membangkang untuk tidak mengikuti system SKS. Ini artinya sekolah belum memiliki kesiapan. Standar Isi, Kesiswaan, Keuangan

Paling baru dalam penerapan system pembelajaran. Adalah adanya kesadaran untu penerapan pembentukan karakter bangsa. Ada yang proada yang pesimis sebab diantaranya ada yang menilai bahwa Pembentukan karakter Bangsa ini sangat kontradiktif dengan paket kebijakan yang lain yang sangat mengangungkan UN. Kenyataan ini menjadi sangat kontradiktif sebab semestinya pembelajaran itu melihat semua aspek tapi dengan adanya UN, itu adalah fenomena penegasian terhadap semua potensi anak. Sebab dengan hanya mengedepankan aspek tiga mata pelajaran itu sangat dangkal sekali untuk menilai kualitas anak. Argumentasi yang sama terkait dengan hal ini adalah perlu adanya penilaian secara nasional. Agar dapat dipetakan kemampuan dan kekuatan, tidak sepenuhnya dibenarkan sebab penilaian itu dapat dilakukan tapi jangan dijadikan dasar kelulusan sebab kriteria itu sama artinya mengkebiri prinsip dasar pendidikan.

Narasi besar tentang keinginan kita ingin dapati moral yang tinggi ternyata mengalmi banyak kendala. Sungguh sangat ironi upaya pembentukan moral anak kita. Kalau saya menilai bahwa semestinya muara akhir kebijakan pendidikan yang digulirkan hamper tiap tahaun atau lima tahun sekali adalah bagaimana pembelajaran mampu mengembangkan pada wilayah pembentukan karakter (Nation Character Building). Dan ini yang penting. Seharusnya ini pula yang dijadikan sebagai dasar. Prinsip berikutnya atau pondasi berikutnya adalah metode pembelajaran yang terbaik.



[1] Seminar Rapim Kepala Sekolah seluruh MAN di Jakarta

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini