Kamis, 19 Juli 2012

KEKUASAAN NEGARA DAN MEDIA


KEKUASAAN NEGARA DAN MEDIA
(Peran Media Dalam Bangunan Sosial Indonesia)
Oleh: Arif Budiman
Era kebebasan pers, tidak selamanya member dampak positif untuk kesehatan social. Tak jarang kebebasan pers menjadi racun yang merusak sendi-sendi social. Salah satu bentuk kerusakan social itu adalah tidak berfungsinya lembaga-lembaga dan system nilai yang berlaku dalam masyarakat kita. Kita pun telah terbuai dengan era kebebasan sebagai pilihan terbaik yang akan member keleluasanaan dan kesejahteraan dalam arti umum. Tapi kenyataannnya sendi-sendi social itu mejadi rapuh dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pondasi bangunan social.  Kegelisahan social yang berlanjut pada kerusuhan social adalah buah dari hilangnya kesadaran pada nilai budaya dan social kita. Ada nilai luhur yang terabaikan dan terlupakan. Atas nama kebebasan, kita seolah telah menjadi manusia super yang mampu menanggulangi yang ada. Seolah kebebasan itu telah menjadi tuhan itu sendiri, masyarakat menjadi Tuhan dan kebenaran yang sejati ada padanya. Padahal tidak demikian.
Sejumlah media baik surat kabar maupun elektronik telah dengan sangat bebas memasuki ruang pandang dan dengar serta alam berpikir kita. Bahkan keberadaanya telah menyatu dalam aktifitas keseharian kita. Ia menemani hari-hari dan aktifitas kita, memberikan informasi dan juga motivasi di satu sisi. Pada saat berikutnya media atau terutama dalam tulisan ini lebih kepada media elektronik yaitu televise setiap saat tampil di depan mata kita. Tanpa pernah kita bisa memahami akhir tayangan yang ditampilkannya. Jika tv swasta itu adalah media sebuah perusahaan, maka tv swasta akan menjadi alat yang efektif untuk mengkampanyekan idea tau visi perusahaan yang dipimpinnya. Jarang kita temukan sebuah  media independen yang berdiri di atas sebuah niat yang tulus dan murni menggapai kebenaran sejati.
Media telah memerankan begitu banyak peran-peran social yang selama ini ada pada sosol seorang ustad, atau seorang Romo di Gereja atau seorang biksu di Biara. Sebagai ilustrasi, saat kita membutuhkan ketenangan, serta merta ada acara di tv (bukan acara agama) yang mampu menggantikan peran tokoh-tokoh agama itu. Saya juga ingin bahas tentang adanya acara keagamaan di TV, apakah benar acara itu berpihak pada pencarian dan menuju penemuan pada esensi beragama itu sendiri.
Mee\dia telah menjadi penguasa dalam alam berpikir kita, sehingga yang muncul di otak kita adalah apa yang ditampilkan media. Sesungguhnya tida bermasalah Media itu merasuk dalam pikiaran kita. Hanya kita telah menjadi sangat tidak menyadari bahwa dakwah yang sebenarnya adalah pesan nilai itu dapat tersampaikan dengan sangat baik lewat media. Artinya belum ada kesadaran yang utuh dari para tokoh agama untuk melihat Media ini sebagai alat yang efektif dan super efektif untuk menumbuhkan gagasan tentang nilai dasarnya.
Seperti acara lawakan dan komedi di tv, betapa penetrasi media itu sangat kuat merasuk dalam alam sosal kita. Acara ini menjadi trend setter nilai dalam masyarakatnya. Apakah kita tidak melihat bagaimana perubahan pada anak-anak kita yang menjadi sangat semu dalam memahami nilai. Tidak mampu lagi membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak atau kurang pantas. Kasus Olga, seolah muncul di sebagain besar masyarakat bahwa mencela menjadi hal yang wajar dan yang seperti itulah yang akan menghasilkan uang dan seterusnya. Dianggap gaul dan lain sebagainya.
Media yang bebas telah mejadi alat politik tertentu, dengan kemasan ilmiah sekalipun pada ujungnya tak mampu menyentuh esensi yang memihak pada nasionalitas kita. Yang terjadi sebaliknya Media menjadi alat provokasi dan corong bagi naiknya sebuah kepentingan. Sesungguhnya memang ada yang salah dalam bangunan pemikiran kita tentang Indonesia. Apa keuntubgan yang akan di dapat dengan menampilka aksi kerusuhan bahkan hingga berdarah  ke khalayak umum jika bukan untuk meruuntuhkan sebuah otoritas tertentu atau dalam hal ini adalah pemerintah. Di saat yang sama hal itu memang perlu dilakukan saat pemerintah tak bisa tegas dalam setiap kebijakannya.
Jadi ada dua yang salah, Media salah. Pemerintah juga salah. Mengapa pemerintah tidak membangun sebuah gagasan yang sama dnegan Media dalam arti berkolaborasi d untuk membnagun ide keindonesiaan yang sama. Bukan kepentingan kelompok tertentu. Sya sedih sebab seringkali pemerintah merasa dipojokkan media. Di saat yang sama pemerintah juga tidak mau berbaik-baik dengan Media untuk membangun kultur yang terbuka.
Dalam tulisan ini , saya hanya ingin menyoroti betapa Media yang ada saat ini demikian massive memasuki ruang dalam pikiran kita. Sehingga melahirkan konstruksi keadaan yang tidak sehat dalam system dan bangunan social kita. Media telah menjadi kekuatan yang lebih besar disbanding Negara. Penguasa yang sesungguhnya negeri ini adalah kontruksi Media. Pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Demo menjadi besar itu karena kekuatan Media. Maka semestinya pemerintah membangun kolaborasi yang positif dengan Media, mengambil kembali tugasnya yang selama ini dikuasai Media. Bukan sekedar siaran pers untuk mengeluh atau curhat bahha drinya juag sedang sulit.
Tentang Pengajian di TV, sebuah catatan penting yang ingin saya sampaikan. Benar bahwa acara itu jauh lebih baik ketimbang acara lain itu. Namun sayangnya acara pengajian pun tak terlepas dari kepentingan komersial yang sangat besar. Itu artinya pengajian itu menjadi kehilangan esensin atau maknaya. Maka sebenarnya bukan pengajian yang tertanam dalam benak pegajinya tapi unsure komersialisasi disana. Sejauh ini saya nilai lebih baik sebab secara materi jelas lebih baik dibandingkan acara yang hanya menyuguhkan obat penat sesaat, selebihnya bangunan sosiual dan budaya kita seolah terabaikan. Nilai digoyang, kekuatan Budaya hilkang.
Sekali lagi Media harus dipandang sebagai penguasa, bahkan Budayawan Qomarudin Hidayat mengatakan bahwa Media adalah salah satu pilar demokrasi. Itu benar sebab Peran media benar-benar sangat efektif. Bagaimana salah satu pasang cagub DKI memanfaatkan Media untuk kepentingan kampanye atau pencariabn dukungan.
Saya kira sejauh ini semau sepakat dan sudah tahu tentang efektifita s dan peran Media dalam hal ini. Yang jadi persoalan adalah sedikit sekali yang mampu mengontrol konten Media dalam hall ini. KPI masih cukup bernyali untuk menyerety dan mengoreksi Olga dalam penampilannya agar memperhatikan etika dan aturan. Namun Media belum menjadikan system kritik itu menjadi bagianyang include dlam system penyiaran mereka. Yang terjadi pihak Media TV menunggu pengaduan setelah itu baru membatasi atau mengurangi siaran dll. Di system Media kita belum ada kekuasaan Media dibawah bangnan Negara. Media seperti bola liar yangt sesungguhnay sangat mengerikan dan lebih sangat mengerikan sebab Media dalam arti yang lebh tinggi telah memasuki ruang yang sangat privat bagi anak atau saudara-saudara kita. Seperti penayangan internet yang bebas dll. Pemerintah terbukti tidk berdya dan takut dengan kecaman dan lain-lainnya. Pemerintah tak berdaya






Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini