Sabtu, 12 Mei 2012

PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN NASIONAL

PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN NASIONAL:
Oleh: Arif Budiman[1]


Di bulan Mei ini, ada dua peringatan hari Nasional yaitu hari Pendidikan Nasional dan hari Kebangkitan Nasional. Melalui dua peringatan itu, ada dua tema yang ingin penulis angkat dalam tulisan ini yaitu pendidikan dan perjalanan kebangsaan (baca:Kebangkitan nasional). Perjalanan hidup kita sebagai sebuah bangsa akhir-akhir ini telah menggerus ruang pemikiran kita. Panggung kebangsaan kita saat ini masih diwarnai beragam pertarungan tak berkesudahan dan intrik kepentingan. Korupsi dan penegakan hukum serta demokrasi masih menjadi tema sentral pertarungan para elite politik yang biasanya dilakukan semata untuk melanggengkan kepentingannya.
Refleksi pertama,  yaitu refleksi terhadap pendidikan yang telah kita selenggarakan. Refleksi dalam dunia pendidikan ini lebih merupakan refleksi keprihatinan terhadap realitas pendidikan yang tak kunjung menuju kearah perbaikan. Pendidikan Indonesia terpuruk setidaknya terlihat dari dekadensi moral proses pembelajaran di sekolah yang tak kunjung beranjak pada paradigma pembangunan karakter. Kenyatannya pendidikan hanya menyisakan kerusakan moral dan hanya berorientasi pada sisi material dan cenderung mengabaikan unsur moral atau budi pekerti. Di lapangan pelaksanaan UN dalam kenyataannya tak mampu menuju cita-cita kebangsaan itu tapi justru sebaliknya justru sedang melahirkan lulusan yang dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan.
Keprihatinan atas nasib dunia pendidikan jalin berkelindan dengan kondisi bangsa yang masih sangat memprihatinkan. Realitas negeri yang tak kunjung beranjak menjadi negara besar (baca: dihargai) sebagaimana saat kejayaan tempo dulu, kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Jika itu terlampau jauh sebut saja kejayaan di Masa Kepemimpinan Presiden Soekarno, bukankah Indonesia dalah Negara yang cukup dihormati dan disegani. Mengharap kejayaan sebagaimana kejayaan tempo dulu yaitu masa Majapahit atau Sriwijaya mungkin terlampau tinggi. Gapaian agar dihormati negara lain saja, rasanya sangat sulit seperti kata pepatah lama “Api Jauh Dari Panggang”.  Mampu berada di depan Malaysia pun terasa demikian sulit, disisi lain kita masih saja asyik dengan nostalgia bahwa Malaysia dulu berguru pada kita. Sesudahnya kenyataan bangsa kita hari ini sedang dipermalukan, dihina bahkan dilecehkan. Kasus terakhir TKI yang terbunuh dan diduga ada penculikan organ terhadap ketiga TKI tersebut, kembali merobek rasa kita sebagai sebuah bangsa. Dan kita hanya mampu diam dan tak beranjak dari kehinanaan itu. Kita sudah bosan mengalami keterhinaan. Kita inging keluar dari kondisi itu menjadi Negara besar, bangsa yang disegani, berdaulat. Kuat dan kokoh.
Dan semua keprihatinan pada nasib bangsa ini terjadi di sisi kehidupan berbangsa. Dari sumberdaya alam yang dikuasai seperti Panas Bumi Sukabumi hingga Emas Papua. Wilayah teritorial yang diobok-obok dari Sipadan-Ligitan hingga Ambalat adalah fakta bahwa sesungguhnya bahwa bangsa Indonesia belum merdeka. Kita masih dijajah oleh kepentingan-kepentingan asing. Kita masih diperlakukan layaknya budak di negeri Sendiri. Dalam bidang olah raga (baca:sepak bila), kita nyaris tak pernah bias berjaya atau mengungguli bangsa lain (baca: Malaysia). Kekalahan dramatis Timnas Indonesia oleh Timnas Malaysia, tak juga mampu mengembalikan aura kejayaan itu. Sesudahnya perseteruan di kepengurusan PSSI akhir-akhir ini telah menyisakan polemik tak berkesudahan.
Negeri kita adalah negeri yang kaya raya dengan sumber daya.Orang jawa menyebutnya dengan ungkapan “Gemah Ripah Loh Jinawi” dalam kenyatannya masih dihuni oleh ribuan orang-orang miskin yang jauh dari kehidupan layak. Sementara di dekat mereka,  ada orang-orang asing yang berlebihan yang telah menikmati kekayaan bumi Indonesia. Pengiriman TKW ke negara lain sesungguhnya adalah salah satu Indikator bahwa bangsa ini masih sangat rendah tingkat kesejahteraannya. Yang kedua, pengiriman TKI ke luar negeri menunjukan betapa kualitas Sumber daya manusia yang masih rendah. Sebut saja kasus TKI Indonesia di Malaysia dan Indonesia sungguh sangat mencoreng muka bangsa Indnesia tapi bangsa ini masih santai-santai saja dan tetap mengirim wanita-wanita yang tak lain adalah ibu bangsa. Jika bekerja sebagai tenaga ahli tak masalah tapi ini bekerja sebagai tenaga kasar seperti pembantu rumah tangga atau sejenisnya. Sungguh itu sebuah kenyataan yang sangat Ironi. Sebut saja kegetiran itu dengan Ironi Kebangsaan.
Sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukannya. Sudah saatnya lahir pemimpin dan generasi tangguh yang amanah, cerdas dan  memiliki tanggung jawab kebangsaaan. Karenanya perjuangan melalui pendidikan menjadi mutlak dilakukan. Tapi jika pendidikan justru “membusukkan dirinya” dan hanya mmpu mencetak manusia-manusia pembohong karena kita yang mengajari kebohongan, jelas ini sangat kontraproduktif dengan tujuan pendidikan sebagai penyadai atau pencetak generasi-generasi tangguh untuk melanjutkan estapet kebangsaan (baca:kepemimpinan). Bagaimana jika calon-calon penerus bangsa ini sejak dini telah diajak atau diajari ketidakjujuran. Apakah pendidikan sebagai pilar utama pembentukan karakter kebangsaan masih bisa diharapkan?
 Jalan lain adalah mekanisme kebangsaan atau jalur kenegaraan dimana dari sana kita berharap akan lahir pemimpin berwibawa yang tegas sebagaimana Soekarno yang tegas dan berani terhadap Negara-negara lain (baca: Malaysia) dan berbicara lantang tentang kehormatan bangsanya. Semua unsur kebangsaan sedang sangat merindui pemimpin kuat dan disegani yang akan memberikan bimbingan keteladanan dan member pengayoman pada harga diri bangsa. Pemimpin cerdas yang bisa membaca kondisi rakyatnya. Pemimpin yang peka dengan suara hati rakyatnya. Dan penguatan kepemimpinan yang kuat hanya terjadi lewat pendidikan terbaik. Mudah-mudahan usaha pendidikan dan kebangsaan ini dapat memberikan kontribusi berharga untuk kejayaan Indonesia.
Semestinya bangsa Indonesia sebagai bangsa yang melimpah dengan kekayaannya mampu berdiri kokoh di hadapan Negara-negara lain. Sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukan dan beranjak menyongsong kejayaan dan kemuliaannnya sebagai sebuah bangsa yang bermartabat dengan segenap potensi yang kita punya. Saatnya bangsa Indonesia menyadari kekuatannya untuk secara berwibawa di hadapan bangsa lain, disegani dan dihormati.
Kebangkitan Nasional adalah momen kesadaran yang harus ditumbuhkan dalam Jiwa anak bangsa tentang kehormatan jati diri bangsa. Kebangkitan juga adalah kesadaran bahwa sesungguhnya kita masih di jajah. Kita belum mampu berdiri tegak di atas tanah dan kekayaan negeri sendiri. Sebagian besar kita belum sadar bahwa sebenarnya kita bisa lebih hebat jika kekayaan yang kita punya kita kelola sendiri.  Maka tugas kita dan terutama pendidikan yang paling penting adalah menumbuhkan kesadaran tentang diri kita sebagai suatu bangsa.

Arif Budiman, Penulis Novel “Gadis Madinah”

[1] Arif Budiman, Aktifis CENTER (Community of Nation Character Building) atau komunitas Guru Untuk pembentukan Karakter bangsa.  Guru MAN 21 Jakarta. Alamat Rorotan Cilincing Jakarta Utara. Telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini