Kamis, 31 Mei 2012

PASUKAN MISTERIUS ’98



PASUKAN  MISTERIUS ’98
         
Sebelum tahun 1098, Negeri Najantar masih terlihat damai dan tenang, meskipun sesungguhnya banyak penyakit tengah diderita. Saat itu Taruna Sembilan hanya mampu melihat seluruh kejadian yang ada pada negeri besar itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara Taruna yang lain masih tersebar dalam gua-gua gelap di pegunungan dan tepi pantai serta tersisih dari keramaian Istana. Menekuni kehidupan Madras adalah satu-satunya favorit mereka, tempat yang memungkinkan untuk dirinya menjalankan ajaran Tuhan. Selebihnya di Najantar (baca: di luar Madras) nampak arogansi kemanusian dan pengabaian nilai Ketuhanan menjadi pemandangan yang lazim terlihat di kesehariaannya.
          Para Taruna yang rela mengembara dan tinggal di tempat tersembunyi dari keramaian serta jauh dari modernitas. Dengan kerelaan itu para Taruna lebih merasa bahagia daripada berlindung dibalik ketiak Marajutra dengan mengingkari diri sendiri dan meninggalkan ajaran suci para leluhur. Makanan favoritnya ubi bakar yang ia tanam sendiri. Dan secangkir teh hangat dipagi dan senja hari. Membaca buku serta menulis puisi-puisi Indah tentang cinta dan kehidupan menjadi aktifitas yang sangat menyenangkan. Saat peristiwa ’98, para taruna mencatat dengan baik kejadian demi kejadian yang memiriskan tengah melanda negerinya. Pesan guru untuk tetap dalam gua tentu baik untuk ditaati. Meski sebagaian Taruna yang lain lebih memilih melakukan penyerangan ke Istana. Itupun harus dihargai sebagai suatu pilihan. Yang memilih dalam gua didasarkan pada strategi agar apa dilakukannya tidak terbaca oleh Marajutra.
Pejabat Korup, Menindas. Kemaksiatan menjadi-jadi, Korupsi menjadi satu realitas yang nyata terpampang dalam kehidupan sehari-hari. Deretan perilaku tersebut dibawa oleh para pengikut Marajutra, pemimpin empat bangsa yang telah menjajah Najantar berabad-abad lamanya. Atas nama persembahan untuk Gebasan, mereka menginjak-injak nilai-nilai peninggalan para leluhur. Merenggut Air Kehidupan dari Istana Najantar.
Kelaparan di pelosok negeri adalah fenomena yang datang menyusul, satu kondisi yang sangat berlawanan (paradoks) dengan kejayaan negeri yang sering diceritakan sebagai negeri dengan kekayaan yang melimpah tapi masih didapati anak negeri menangis kelaparan dengan perutnya yang membesar. Ibarat sebuah pepatah ”Ayam mati di Lumbung Padi”.  Sungguh telah ada kebodohan yang sangat nyata pada para pengemban amanah negeri. Para pemimpin yang lupa dengan kepemimpinannya. Pemimpin yang tidak sadar dengan posisi kakinya dipijakakkan. Sungguh benar-benar suatu kebodohan. Bodoh sebab semua kita tahu amanah harus ditunaikan, tapi saat amanah itu telah mereka dapatkan, mereka tak mampu menjalankan.
           Dalam satu negeri dengan banyak kekayaan dan kesuburannya, tanaman tak dapat tumbuh. Binatang piaraan tidak bisa beranak pinak. Penyakit berbahaya mewabah seantero negeri. Sumber Air Lawendo sebagai sumber kehidupan negeri dan kebangaan Negeri berubah menjadi Air Panas yang menghanyutkan sebagian warganya. Bahkan hingga hari ini. Kerusuhan antar warga saling berebut Air dan lahan untuk kehidupan mereka mewarnai negeri Najantar. Di tengah kondisi yang memilukan itu, para pejabat lepas tangan dan tidak mau peduli dengan banjir air panas yang menenggelamkan sebagian warga Najantar.
Peristiwa dan bencana itu menemukan titik puncaknya dengan serangan mendadak Pasukan Misterius ’98. Pasukan Misterius ’98 adalah momentum menuju perubahan, pasukan yang banyak diharapkan tapi ia juga disayangkan sebab hadirnya sedikit banyak menyumbang penderitaan. Saat datang pasukan 98 adalah saat yang baik bagi seluruh anak negeri untuk kembali pada negeri Pertiwi. Pasukan yang tak dikenali alias tak teridentifikasi. Pasukan itu hingga hari ini disebut dengan Pasukan Misterius ’98. Pasukan ini telah memporak porandakan Istana dalam kenistaan. Jalan-jalan umum dan fasilitas umum mereka hancurkan, warga yang melawan tak ayal menjadi sasaran kebrutalan mereka. Pasar-pasar dihancurkan. Gedung Istana juga mereka serbu. Sore itu 6 tahun yang lalu adalah masa yang sangat mencekam jiwa. Sangat menakutkan. Derap langkah pasukan ‘98 dengan kudanya menghentikan nafas warga. Pasukan itu mengenakan kostum hitam tak teridentifikasi. Dalam situasi seperti ini Para Taruna sebagina masih tersebar di tempat-tempat tersembunyi (termasuk Taruna Sembilan).
Air Suci sebagai unsur penting Istana telah dirusaknya. Mereka datang dengan gerak yang sangat cepat. Menerjang secara membabi buta. Meluluh lantakkan bangunan-bangunan penting Istana.  Merenggut sumber Air Istana.
Pujangga Diwan yang sejak awal disingkirkan dari Istana, memilih Madras (tempat belajar yang jauh dari keramaian) bersama beberapa Taruna. Bertahun-tahun tinggal di Madras hingga tiba saatnya kembali ke Istana menuntut perubahan.

Pagi di hari ketiga. Bulan Dekat Satu. Tahun 1098. Ksatria dan para murid Madras telah siap berkumpul, bergabung dalam pasukan gabungan untuk satu tujuan yaitu merebut tampuk kekuasaan yang kini ada di tangan pemimpin zolim, Sugarda yang sejak awal selalu bersama Marajutra. Rakyat pun ikut bergabung memberi dukungan pada gerakan para Murid Madras. Pujangga Diwan berada di garis terdepan, memimpin para Murid Madras yang tampak sangat  bersemangat. Hari itu adalah hari yang kesekian dalam rangkaian peperangan meruntuhkan membobol benteng Najantar yang dijaga sangat ketat. Satu keyakinan selalu jadi pegangan bahwa mereka akan dapat meruntuhkan tembok keangkara-murkaan yang terbentang di depannya.
Di halaman nan Luas Madras Unzan, tempat dimana seluruh pasukan dari berbagi Madras berkumpul.
Diwan tampak berdiri kokoh dengan penuh keyakinan. Ia akan memulai orasinya. ”Saudara-saudaraku. Hari ini kembali kita berkumpul untuk menunjukkan perjuangan suci.” Menyingkirkan keangkaramurkaan dan penjajah dzolim di negeri ini.
Ini adalah hari yang ke Tujuh kita berada di luar benteng Istana. Kita harus yakin bahwa kita bisa membobol benteng yang dikawal pasukan Sugarda. Dukungan dari beberapa daerah di Najantar masih terus mengalir, demikian halnya dengan pengiriman pasukan semakin menambah besar kekuatan yang kita punya.
Sudah seharusnya, kita yang mengawal negeri, merebut kekuasaan dan menyerahkannya pada penguasa yang sah. Yaitu baginda kita ”Pangeran Peradaban”.
Anda, adalah pengawal perubahan demi kejayaan negeri yang sama-sama kita cintai. Jumlah kita kecil dibanding jumlah pasukan Sugarda yang banyak dengan persenjataan lengkap. Tapi jangan pernah takut, sebab tuhan ada bersama kita.
Pekik kebesaran membahana....!!!!!!
Hari ini adalah momen yang sangat tepat. Tepat sebab nyawa kawan dan saudara kita telah dikorbankannya untuk kejayaan negeri ini. Kemenangan itu akan datang.
Mereka yang telah berkorban untuk negeri kita doakan agar Tuhan memberikan pahala yang setimpal di surganya.
Sebagaimana rencana semula, maka pasukan akan dipimpin Taruna Satu dan Taruna Dua. Dan bergerak sesuai rencana.
Genderang pun dibunyikan bertalu. Ribuan Murid dari berbagai Madras telah berkumpul tanda bahwa perubahan harus dimulai dari para pemangku sejati yang suci memperjuangkan kebenaran dan tegaknya panji peradaban.
Segera Taruna Taruna dan Taruna Dua dengan kudanya maju ke depan pasukan yang telah ramai berkumpul. Siap memberi komando dalam aksi penyerangan berikutnya. Target hari ini adalah membobol benteng Istana. Diantara mereka ada yang mengenakan pakaian dengan kostum Hijau ada juga yang berkostum Kuning sebagai warna seragam pasukan dengan perangnya dan perlengkapan perang yang telah disiapkan. Pasukan berkuda ada dibelakang mengawal pasukan yang berjalan kaki yang membawa genderang dan panji-panji kerajaan serta simbol raja yang sah.
Hidup Najantar...!!!!!!
Hidup Najantar...!!!!!!
Taruna Dua meneriaakkan yel cinta negeri. Sembari mengangkat pedangnya bersama Taruna Satu, Segera pasukan diberangkatkan menuju Istana. Yel cinta negeri pun membahana seiring komando Taruna taruna yang membahana membelah angkasa Najantar. Para Murid Madras terus bergerak menuju Istana Najantar. Di belakang telah disiapkan gerobak pembawa persenjaataan dan sebuah gerobak lagi membawa kayu gelondong besar untuk merobohkan Pintu Gerbang benteng yang terbuat dari bahan yang sangat kokoh.
Sampai di depan Pintu gerbang Istana Najantar. Jam menunjukkan pukul 10.00. Sekitar benteng tampak sepi. Mentari bersinar sangat terik membakar para Murid madras yang sebetulnya telah lama terbakar api yaitu api yang siap mengobarkan dan menghanguskan keangkaramurkaan dan kesewenang-wenagan.

TARUNA TUJUH dan DELAPAN SAAT YANG SAMA SEDANG BERADA DI TIMUR NAJANTAR KEKEH DGN PESAN GURU UNTUK TIDAK SEDIKIT PUN KELUAR DAN CAMPUR TANGAN DENGAN URUSAN NAJANTAR.
Taruna Tujuh dan Delapan itu masih memilih gua sebagai tempat tinggal di tepian pantai dan juga pegunungan sebagai tempat nyaman untuk mempertahankan idealisme dan kehormatan leluhur. Menunggu saat tepat untuk mengembalikan kejayaan dan kemulaian negeri pada tingkat yang sesungguhnya. Jauh dan benar-benar menjaga diri agar tidak bersentuhan dengan segala urusan yang terkait dengan Najantar. Utamanya Taruna Taruna. ia memilih mempelajari kitab para leluhur dan belajar arti kehidupan dari para guru suci. Bercumbu dengan temaram lampu dikala malam melahap buku-buku peradaban dan kitab-kitab penuntun hidup, baginya itulah sebaik-baiknya pilihan. Paling tidak bisa melupakan perlakuan kejam Marajutra terhadap para leluhur dan petinggi klerajaan di zaman Ayahnya masih berkuasa di Najantar.
Ada Tiga ras manusia besar Najantar yang berhak atas tahta Najantar. Pertama ras Jaba mendiami sebagian besar wilayah Najantar Selatan. Beberapa tahun berdiri, Najantar berada dibawah kepemimpina ras Jaba. Ras kedua di Najantar adalah ras Candra dan terakhir Ras Bula.
Semestinya Najantar dipimpin oleh oleh salah satu ras besar itu. Bukan di luar Ras itu. Memimpin sendiri lebih banyak punya resiko dipermainkan oleh negeri seberang Amrozar. Taruna tujuh dan Taruna Delapan adalah keturunan Ras Jaba. Saat penyerangan di Istana yang tengah berlangsung Taruna Tujuh dan Delapan tidak ikut dan ini menjadi tanda tanya besar Rakyat dan warga Najantar pada umumnya. Sebab ada yang hilang dari kepemimpinan. Kita tahu bahwa Taruna Satu dan Dua adalah keturunan ras Bula. Pujangga Diwan yang selalu dijadikan tempat bertanya tentang keberadaan Taruna Tujuh dan Taruna Delapan.
Meski demikian Diwan bukan berarti berdiam diri. Ia sangat paham tentang keberadaan Taruna Tujuh dan Delapan. Tapi ia sangat menghargai kehendak Taruna dan penasehat atau gurunya untuk tetap di negeri Jogala. Namun rakyat terus mendesak agar Taruna Tujuh dan Delapan dapat hadir dan menemui mereka di Najantar. Atas permintaan ini, Diwan pun memenuhinya. Maka dikirimlah utusan untuk menemui Taruna Tujuh dan Delapan di Jagola.
Katakan pada Diwan, bukankah dia juga tahu bahwa kemenangan akan menjadi milik kita. Maka kehadiranku di Najantar sepertinya belum perlu.
Tapi rakyat sangat menghendaki kehadiran tuan. Utusan meminta kesedianan Taruna Tujuh untuk bersedia menemui rakyatnya.
Hal yang sama juga terjadi saat meminta Taruna Delapan untuk datang di Najantar. Salam hormatku untuk Diwan. Aku dan kakaku Taruna Tujuh, belum berkeinginan kembali ke Istana. Kami ingin menikmati negeri kecil ini dibawah pemerintah yang sangat menghargai dan menghormati kami. Menjadi orang biasa yang bekerja di ladang sebagaimana rakyat pada umumnya..!!!
Saya yakin Diwan mengerti apa yang menjadi kemauan kami. Taruna Delapan mengakhiri dialog sore itu. Sementara utusan Diwan tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk dan menuruti apa yang dikatakan Taruna Delapan. Sesudahnya berpamitan untuk kembali ke Istana Najantar.

SEMENTARA ITU, SORE HARINYA
Taruna Sembilan punya kesempatan melihat lebih dekat Peristiwa ‘98. sebab dari tempat tinggalnya perbukitan Cilian, ia dapat leluasa melihat seluruh yang terjadi di Najantar. Taruna ke-sembilan, adalah salah satu yang menyaksikan secara langsung kenyataan negeri yang mulai terpuruk dengan rusaknya Sumber Air di Najantar. Banyak mata air kering, kalaupun ada air itu justru menjadi racun bagi kehidupannya bahkan merusak tanaman. Banyak tanaman rusak. Permintaan orang tua dan gurunya menjadikan taruna ke-Sembilan harus memperdalam ilmunya untuk bekal kehidupan. Salah satunya adalah sumber Air Lawendo yang menggenangi sebagian wilayah Najantar Timur dan menghancurkan lahan pertanian warga.
Di atas Bukit Cilian, Taruna Sembilan menyaksikan bagaimana pasukan ‘98 membakar dan membumi hanguskan seisi negeri. Ibukota mengalami kelumpuhan. Penduduk mengalami ketakutan dan trauma yang sangat dalam. Taruna berkeinginan mencegah laju pasukan. Tapi selalu dia urungkan niatnya sebab Mr. Guna melarang. Ratusan orang terbunuh hingga ribuan. Dan itu terjadi di depan matanya. Tanpa bisa berbuat apa-apa.
Prajurit Istana pun Tiada biasa berbuat apa-apa. Tidak ada yang mampu menghentikan seluruh kekejaman yang dilakukan. Di satu pusat belanja Najantar berjaga beberapa aparat  Najantar. Mereka hanya bisa menyaksikan bagaimana bangunan tempat perbelanjaan dihancurkan. Sesekali mereka hendak menghentikan gerak pasukan tetapi hanya dengan tatapan tajamnya, pasukan ’98 mampu menghentikan langkah aparat Najantar. Hingga tak mampu berbicara. Bahkan dengan tatapan itu membunuh pun bisa dilakukannya.
Saya tahu pasukan ’98 bukanlah para Murid dari Madras karena Murid Madras tidak ada yang memiliki keuatan itu. Meski gerakan pasukan itu terjadi setelah adanya gelar pasukan oleh para Ksatria dari berbagai madras. Guman Taruna Sembilan menepis anggapan banyak orang bahwa kerusuhan dan kerusakan dilakukan oleh gerakan para Murid Madras. Rakyat biasapun bisa menilai bahwa perbuatan ini bukan dilakukan oleh para Murid Madras. Murni perlawan yang dilakukan Murid Madras semata-mata untuk membobol Istana dan meminta Sugarda Turun dari jabatannya.
”Ke arah Timur menuju gua, Taruna berlari dan masuk ke dalam gua serta mendapati paman masih asyik dengan Kitab yang dibacanya....” Paman tidakkah paman melihat Najantar sedang dalam kehancuran, dan kesana kita akan membantu!!!! Menyelamatkan yang dianiaya dan memapah mereka yang terluka. Taruna Sembilan mendesak Pamannya untuk segera beranjak.
Masuklah kedalam dan pelajari lebih dalam ilmu main pedang. Itu lebih baik darimu dan sangat bermanfaat.
Paman...!!!! Sesungguhnya aku benar-benar akan belajar ilmu pedang. Dan itu terjadi dengan membantu saudara-saudara kita yang sedang diserbu pasukan ‘98. Taruna Sembilan setengah memaksa. Pamannya belum menjawab seperti ada kecewa dalam yang sangat dalam dirasanya. Rasa dendam pada Najantar dan kecewa sedang di alaminya. Sehingga wajar jika Taruna masih saja berpikir untuk Najantar tentu satu hal yang sangat bertentangan dengan harapan Pamannya.
Tidakkah kau bisa paham bahwa Najantar bukan lagi Najantar yang dulu. Najantar sudah mati saat Najantar mau berlindung dibawah ketiak Marajutra. Dan ketahuilah Pasukan ‘98 adalah pasukan Marajutra. Seandainya kau keluar, maka saat kau jejakkan kakimu di atas bumi Najantar, saat itu pula seluruh rencana besar kita akan gagal sebab Marajutra justru akan menarik pasukannya di barisan depan serta menunggu putra-putra pewaris Najantar keluar semua. Dan saat itulah ia kan membantai kalian semua....!!!!
Paman sepertinya sangat membenci Najantar????
Kenapa Paman.? Taruna menegaskan. Dan Mr. Guna tidak juga bergeming. Dia tampak kecewa dengan pertanyaan Taruna Sembilan itu.
Jika benar paman dendam dengan Najantar, Apakah dengan hanya diam dalam gua dan membaca Kitab yang paman banggakan itu bisa membalas dendam paman.
Jaga mulutmu!!!! Mr. Guna naik intonasi Mr. Guna yang berarti marah atas apa yang baru dikatakan Taruna Sembilan. Merah wajahnya menyiratkan kemarahan itu dalam tensinya yang tinggi. Tidak biasanya pamannya marah. Orang tua yang dikenal sangat lembut di hari-harinya, kini tampak sangat marah. Tentu ini adalah hal yang sangat serius. Dan tentu ada rasa yang telah lama dipendamnya terkait dengan Najantar.
Taruna Sembilan, kau adalah salah satu dari harapan kami yang terpencar antah dimana. Ikatan Taruna yang ada kini telah tercerai berai. Jika engkau meninggalkan gua ini dan pergi ke Najantar. Maka resiko itu akan sangat berbahaya buatmu. Marajutra sedang mengintai keberadaanmu. Karena kau adalah satu dari Ikatan Sembilan.....!!!! garis warna hitam yang melingkar di lehermu (Taruna Sembilan meraba lehernya dan menyadari telah ada garis hitam melingkar di lehernya) ............... adalah garis Ikatan Sembilan. Dan ikatan sembilan adalah melekat sejak lahir di leher para kstria. Ksatria yang akan menyelamatkan Najantar dari Begundal Marajutra yang bengis dan kejam.
Diambilnya kitab ”Kadbala” dari meja batu dihadapannya dan digenggamnya erat-erat. Sangat erat. Tiba-tiba dari kitab itu keluar cahaya yang sangat terang hingga menyinari seluruh ruang dalam gua.
Atas nama kitab ini. Pergilah jika engkau menghendaki kembali ke Najantar. Tapi ingatlah satu hal. Darah yang mengalir dalam tubuhmu akan kembali mengantarkanmu pada jalan para pewaris.
Tapi paman ......!!
Pergilah dan temui saudaramu. Mr. Guna memotong dan memberi kebebasan pada jiwa Taruna untuk memenuhi ambisinya. Satu tempat yang hanya bisa kamu tempati setelah kau bantu saudaramu adalah Madras. Sebab tempat itu adalah salah satu tempat dimana saudaramu yang lain berada.
Taruna Sembilan, ketahuilah bahwa pasukan ‘98 hanyalah pasukan bayangan yang sengaja dibentuk Marajutra. Simbol-simbol yang dia kenakan pun atas nama Marajutra. Dengan cara itu Marajutra dapat kembali berkuasa atau dekat dengan kekuasaan yang nantinya akan memimpin Najantar.
Pergilah. Tiba-tiba Cahaya dalam  ruangan itu menghilang dan suasana dalam gua kembali menjadi gelap.
Taruna Sembilan tercengang melihat apa yang terjadi di depannya. Mr. Guna tampak sangat berwibawa dengan nada kerasnya. Seperti ada sesuatu yang sangat dalam ingin dia ceritakan. Mungkin tentang sejarah para leluhur yang sangat ia pegang teguh. Atau juga tentang cita-citanya yang hingga hari ini belum terpenuhi.
Mr. Guna. Dimana engkau??? Mr. Guna....!!!!! Lengang dalam gua. Tanpa suara. Tiba-tiba ruangan itu berubah menjadi sangat sepi sama persis dengan ruangan gua yang tak pernah dijamah manusia.. Hening...?! Dia telah pergi. Gumam Taruna Sembilan. Aku telah mengecewakannya, Maafkan aku paman??!!! Taruna menyesali perbuatannya yang suka melawan dan menolak ikut tergabung dalam pasukan langit. Kemana Mr. Guna perginya hingga hari ini tak pernah terdengar kabarnya. Tentu dia sedang bersama kawan-kawannya membangun idealisme dan melatih pasukan yang akan ia terjunkan saat melawan Marajutra. Nanti di satu hari yang telah ditentukan. Selamat Berjuang Paman.....!!!!!!
Taruna bergegas keluar meninggalkan Gua yang telah lama ditempatinya bersama Mr. Guna dan beberapa kawannya yang lain. Saat kakinya hendak melewati batas pintui gua. Tiba-tiba muncul goncangan keras hingga membuat Taruna nayris terjatuh. Taruan mengira di tempat itu ada gempa. Diperhatikan situasi sekitar. Dan kembali goncangan keras dirasanya.makin keras lagi tepat di depan pintu gua. Batu-batu gua berjatuhan dan diluar perkiraan Taruna Sembilan gua yang terbuka tiba-tiba merapat untuk kemudian menutup tanpa terlihat lagi sebagaimana cekungan atau lorong gua.
Tiba-tiba terdengar suara. Anakku... engkau benar sudah saatnya kau turun ke Najantar dan bertemu dengan saudara-saudaramu. Ilmu yang kau dapat di gua ini sudah cukup memadai. Suatu saat jika dalam dirimu terbangun niat untuk menggunakan panah Sada, maka kau akan kembali mendapati pintu gua terbuka......!!!! Berangkatlah. Taruna tertegun dan berucap untuk mengiyakan apa yang disampaikan dari suara yang terdengar keras lagi lantang. Ya... suara itu tidak lain adalah suara Mr. Guna.
Baik Paman.
Taruna Sembilan bergegas lari kencang. Membelah hutan di bukit Cilian. Langit diatas Najantar terlihat makin memerah. Saat itu telah menunjukkan senja sekitar jam 04 sore. Saat taruna masih berlari kencang memastikan diri untuk membantu mereka korban dalam bencana oleh pasukan ’98. Untuk memastikan arah Taruna berhenti sejenak dan melihat lorong sebelah barat daya adalah arah yang tepat. Di depan pandangannya terlihat kepulan asap bangunan warga yang terbakar. Asap itu membubung ke atas.  Sesampainya di atas gundukan tanah yang relatif tinggi Taruna dapat menyaksikan lebi jelas fenomena kerusakandan pengrusakan yang dilakukan pasukan ’98.
Sungguh sangat biadab....! Taruna miris dengan apa yang dilihatnya.
Semua sudah terlambat. Jasad terbakar bergelimpangan. Bangunan, pasar, dan pusat kegiatan Istana habis terbakar

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini