Minggu, 15 Januari 2012

ROMANTISME PEMBELAJARAN

ROMANTISME PEMBELAJARAN

Oleh: Arif Budiman[1]

Salam Guru Indonesia, selamat bertugas dan berkhidmat pada komitmen pedagogik yaitu komitmen pada dunia pembelajaran. Komitmen ini adalah bagian dari amanah kita yang harus kita jalankan dengan penuh keikhlasan dan tanggungjawab. Kita tetap semangat dan sangat bahagia dengan tugas pedagogik kita sebab generasi-generasi yang diamanahkan yang setiap hari kita temui di kelas adalah calon pemimpin dan aktor perubahan. Kesanalah sesungguhnya tujuan utama hendak diraih, yaitu terciptanya pemimpin dan generasi yang mampu mengemban amanah peradaban.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dua sisi pisau yang tajam keatas dan tajam kebawah. Sisi positifnya patut diapresiasi sebagai karya peradaban yang sangat bermanfaat. Sisi negatif, adanya ibarat gelombang yang menghentak dan menggerus pondasi kebudayaan kita. Serbuan pemikiran dalam berbagai format dan tampilan telah menyeret anak kita pada sikap hedonistik, pesimistik dan lebih mengkhawatirkan adalah tumbuhnya sikap anti moral dan bahkan anti agama. Nilai luhur yang kita pegang sedang ditantang. Pembelajaran yang sajikan menjadi tiada bermakna dan kehilangan esensinya

Kerinduan kita akan pembelajaran di masa lalu seperti lagu nostalgi yang selalu asyik kita dengar bahkan kita dendangkan. Untaian syair dalam lagu itu setidaknya terucapkan tentang Anak-anak dulu belajar. Dulu kita pernah belajar penuh khidmat dan perhatian pada guru. Rasa hormat anak terhadap gurunya sangat kuat tertanam. Setidaknya ungkapan ini keluar dari seorang kawan yang kini menjadi kepala Sekolah di Sekolah ternama di Sukabumi. Ia pernah bercerita tentang rasa senangnya karena dapat membawakan tas guru atau membantu menuntun sepeda guru untuk diparkirkan. Itu sepenggal romantisme kecil pembelajaran yang menggambarkan bagaimana hubungan antara guru dan murid di masa yang telah lalu.

Lebih jauh ia mengatakan sikap semacam ini nyaris tiada (untuk tidak mengatakan hilang). Rasa hormat murid pada gurunga kini menjadi harga atau barang langka yang jarang ditemui dalam kelas pembelajaran kita. Loh sekarang kan zaman sudah beda pak. Sekarang era baru sistem pendidikan. Makanya nyaris tak ada tradisi-tradisi itu. Guru diperlakukan tak ada bedanya dengan seorang pembantu atau pesuruh yang hanya penjadi teman yang mengawasi anak-anak seorang majikan yang sibuk karena bisnisnya yang membuatnya tak sempat mengurus anaknya.

Metode termodern itu mensyaratkan anak sebagai pusat pembelajaran (student oriented) sehingga anak harus diberi kebebasan dalam mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kemampuan dan potensinya tanpa harus ada pengekangan. Di lapangan penerapan metode ini diterjemahkan anak bebas berbuat semau sendiri tak peduli dengan nilai keadaban kita. Guru hanya diperankan sebagai fasilitator (baca: pelayan bagi keperluan-keperluan murid). Metode modern secara frontal berhadapan langsung dengan model pembelajaran konvensional yang katanya mengkebiri kreatifitas. Sehingga tanpa basa-basi menuduh metode konvensional sebagai biang ketertinggalan kemajuan pendidikan.

Metode Modern mengandaikan anak atau pesrta didik untuk mengembangkan ide dan nilainya sendiri atau menemukan nilainya sendiri. Itulah asumsi yang coba selalu dikembangkan dan dikampanyekan dengan paket-paket kurikulum yang dibanggakan zaman (baca: mentri baru). Sehingga wajar jika kurikulum kita sering berubah. Tak peduli bagaimana dampaknya bagi tujuan utama pembelajaran dan budaya sendiri.

KTSP lah, KBK lah atau apapun namanya adalah nama-nama kurikulum baru yang terlampau sibuk dengan hal hal administratif tapi lupa dengan moralitas dan generasi itu sendiri. Paradigma dan aneka pemikran tentang pendidikan ini terus datang dengan paket-paket baru yang seringkali kita tidak sadar bahwa di dalamnya ada agenda besar yang berusaha menggeser identitas bangsa sendiri dan nilai luhur kebangsaan. Payahnya seringkali kita justru menjadi jurkam atas ide-ide itu dan bangga dengan pemikiran itu yang sebetulnya menggerus ide dasar filsafat bangsa sendiri.

Wajarlah jika muncul atau lahir Romantisisme untuk sedikit menengok pembelajaran Tradisional kita yang dinilai kaku dan konvesnsional tapi mampu dan terbukti kokoh melahirkan manusia-manusia yang berbudi pekerti dan bertanggung jawab. Merespon perubahan bukan berarti menceburkan diri hingga basah kuyup tanpa bisa mengenali diri sendiri dan asyik dengan kebasahan itu sendiri tanpa mampu bagkit kembali dan kemudian terhina dengan konsep baru dari barat.

Semua yang datang dari barat selalu diidentikan sengan hal yang superior, selalu terbaik dan harus dicontoh. Padahal akar budayanya berbeda sehingga tidak tepat jika kemudian kita hanya mengambil ide baru itu tanpa melihat eksistensi budaya sendiri yang semestinya jadi fundamennnya. Mudah-mudahan bukan sekedar Romantisisme sebab menjiplak romantisisme begitu saja juga akan terkesan memaksakan nilai lama.

Pada azasnya bagaimana nilai yang sifatnya universal dan melampaui zaman itu dapat tetap bertahan. Contoh nilai moral, etika, dll tidak mungkin akan berubah. Soal tampilan luar atau terjemah terhadap nilai itu supaya bisa diaktualisasikan tentu sangat terbuka untuk adanya bentuk-bentuk baru. Namun tetap ada nilai yang abadi. Nilai yang dihargai, nilai yang diterima semua. Nilai yang kita harapkan ada dan tumbuh dalam diri anak-anak kita.

Semoga usaha dan kerja pedagogik kita mampu mewujudkan cita-cita untuk terwujudnya anak dan generasi yang kita idealkan. Generasi yang dewasa dari segala sisi baik intelektualitas maupun moralitasnya. Salam Guru Indonesia, Tetap Semangat…!!



[1] Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Tinggal di Marunda telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini