Minggu, 14 Oktober 2012

CINDERAMATA YANG TERTINGGAL


CINDERAMATA YANG TERTINGGAL
Oleh: Arif Budiman[1]


Melihat photo fb guru bahasaku yang beberapa saat lalu telah menikah, fotonya terpampang jelas di newsfeed fb-ku. Photo saat berpose di depan arca Borobudur beberapa saat lalu saat bulan madu, mengingatkanku pada sesuatu di bulan Juni tahun lalu. Taman Borobudur terdiam tanpa kata, walau sesungguhnya ia telah berbicara dan menuturkan banyak cerita. Megaproyek arsitektural yang nyaris tak terjangkau akal. 

Sudah sejak lama kulihat senyumnya. Sudah sejak lama aku memperhatikannya. Setidaknya saat di Borobudur itu aku telah berusaha menyatakannnya dan menunjukkan perasaan ini padanya tentang apa yang kurasa. Meski tidak dengan kata-kata.

Aku tahu hari itu tentu sangat lelah. Rangkaian perjalanan panjang wisata perpisahan bersama kelas XII sekolah kami sangat mengesankan. Itu yang selalu ada dalam acara perpisahan sekolah kami. Aku sangat bangga dengan bapak dan ibu guru juga ucapan terima kasih. Setidaknya karena acara itu, kisah kecil ini tercipta. Terkisah untuk yang selalu di damba, walau kutahu ia akan sulit memahaminya. Ia tentu tak membanyangkan akan adanya kisah itu di tengah kelelahan perjalanan yang tak terlalu perlu dimaknai sebagai perjalanan bernuansa cinta.

Cinta adalah aliran universal yang mampu menembus semua ruang dan dimensi waktu atau dimensi apapun yang berusaha menghalanginya. Demikian halnya kisah kecil ini adalah hati yang terserak di belantara harapan yang luas lagi sulit didefinisikan. Ijinkan aku terus menuliskannya….!!

Ia berlari ceria bersama kawan-kawannya di tengah keramaian pengunjung tentang saat menikmati eksotika Borobudur---The Unbelieveable Architecture. Naik dan turun tangga di seputar archa-archa dalam posisi Dyani Budha. Atau ketika sampai lantai teratasnya, bersama pengunjung lain berusaha meraih stupa sebab dengan begitu akan didapati keterangan berharga dalam hidupnya tentang laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Setidaknya barang siapa bisa menyentuh bagian stupa itu, maka akan di dapatinya pasangan sempurna yang didamba atau diimpikannya selama ini. Cita-cita normal yang dikejar setiap insan yang dalam dirinya mengalir energi Cinta.

Sebagian memilih berphoto dalam banyak pose sebab merasa diri paling cantik atau paling ganteng, wajar dan normal sebab fitrah manusia juga tak bisa lepas dari liputan dan harapan kesempurnaan. Kabaikan dan kesempurnaan sesunguhnya ada dan terus dikejar tiap pribadi, karenanya tak semestinya ada kecil hati. Narsis adalah sikap ekspresionis tentang sejauh apa kesempurnaan dalam dirinya tersaji. (pastinya hasilnya tak mungkin akan beda dnegan kenyataannya, kecuali minta bantuan adobe photoshop)

Sejak pertama turun dari bis, ia masih bersama kawan-kawannya. Sesekali kulihat tatapannya tertuju padaku. Sesaat kemudian berlari menggandeng temannya, tentu ingin segera mengubur rasa penasaranya tentang Borobudur yang saat itu baru dilihatnya. Aku sudah kali yang ketiga, dan dari ketiga kunjungan hampir tak pernah menyusur setiap lorong dari Kamadatu hingga Stupa. Aku tipikal yang tak terlalu suka menikmati sesuatu dengan detail. karennya aku memilih di luar sajaa, menungguinya. Kukira tak mengurangi kekagumanku pada eksotika Borobudur itu. Menyaksikannya dari luar sama artinya memahami lebih dekat. Menyaksikannya dari luar kurasa sama seperti menyaksikan kebesaran Tuhan sebab keindahan Borobudur adalah manifestasi lain dari keindahan-Nya. Tuhan menghadirkan banyak keindahan dalam manifestasi yang berbeda-beda.

Lebih dari itu semua, aku sedang lebih tertarik pada pajangan Cinderamata yang kulihat beberapa kali sejak di pintu masuk hingga areal dalam. Cinderamata itu sangat menggoda. Kuteringat pada kisah Ramayana sebab cinderamata yang kuperhatikan itu adalah Patung Dewi Shinta, simbolitas wanita setia dalam pitutur Ramayana. Kubeli dari seorang ibu yang menggelar dagangannya di pinggir Taman itu. Ukiran yang indah. Harganya tidak seberapa tapi aku ingin memberikannya. Tak berapa lama setelah sepakat dengan harga akupun telah memilikinya, cenderamata untuknya.

"Ibu,, saya titip dulu, nanti saya kembali...!!" Kutitipkan cenderamata itu pada ibu sang penjual karena tak mungkin aku menentengnya. Aku ingin memeberikannya sendiri, saat ia sendiri. Aku ingin memberikan benda itu untuknya. Rasanya memang benar bahwa jiwa kita hanya punya satu tema, pikiran kita hanya satu kegelisahan. Itulah yang sesungguhnya terjadi saat aku ingin bicara secara pribadi dengan seseorang yang masih ada disana. Keringat bercucuran menahan rasa.

Sebagain peserta tour masih ada disana. Masih ber-photo. Satu dua mulai terlihat turun sebab waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 deadline yang diberikan sang ketua tentang berakhirnya waktu kunjungan di Borobudur. Siang itu perjalanan berlanjut menuju Jakarta.

Kini ia ada di depan mata, terdiam tapi tetap dengan senyumnya yang menawan. Cenderamata itu harus segera kusiapkan, aku harus segera mengambilnya di tempat aku menitipkannya dan memberikannya. Ia bersama teman dekatnya, sahabat dekat dan juga teman curhatnya.

Tak berapa lama, beberapa yang lainpun kini telah menyatu dalam aliran panjang para pengunjung menuju pintu keluar. Tiba-tiba seorang menepuk punggung dari belakang memintaku menemaninya membeli oleh-oleh. Aku tak bisa menolaknya. Sementara ia yang ada disana kian jauh. Aku ingin memberikan sesuatu sehingga ada sesuatu di tangannya yang melenggang, aku ingin memberikan benda itu.

Sayang sungguh disayang, aku terbawa dalam keramaian pasar seni Borobudur hingga waktu cukup lama. Aku terbius dalam penawaran tanpa putus dalam alur-alur pasar panjang berkelok yang sengaja dibuat berkelok agar semua pedagang terlewati pengunjung. Dengan begitu semua diuntungkan. Aneka jenis makanan dan juga cinderamata.  Aku diminta kawanku untuk memberikan penilaian atas pakaian yang hendak dibelinya. Rupanya banyak yang hendak ia beli, pastinya uang dikantongnya sangat mencukupi. tidak sepertiku yang hanya sekedarnya.

Tanpa sadar aku justru telah menjadi sangat dekat dengan terminal pemberangkatan. Suara pak Jatmiko terdengar lantang lewat Pengeras Suara (toa) memanggil semua peserta segera masuk ke dalam bis. Seketika sebagian tampak buru-buru mempercepat langkahnya sebab bis tour sekolah kami di ujung lapangan parkir itu siap diberangkatkan. Saat itu baru aku tersadar cinderamata yang kutitipakan masih ada nun jauh disana. Aku tak bisa lagi meminta kepada panitia untuk mengambil cenderamata itu….!! Dan aku urung mengungkapkan rasa ini padanya sebab cenceramata itu tertinggal...!!



[1] Inspirasi dari muridku yang tak sanggup mengungkapkan isi hati dan perasaannya. Ditulis oleh Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Alamat Kp. Sarang Bango no 2 rt 06/06 Marunda Jakarta Utara.  Aktif di CENTER, Komunitas Guru Untuk Karakter Bangsa

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Wahhh bagus banget pak cerita nya terharu :(

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Cari Blog Ini