Kamis, 16 Februari 2012

STUDI MASYARAKAT BADUI:





STUDI MASYARAKAT BADUI
Oleh: Arif Budiman[1]

Tulisan ini adalah sebuah catatan tentang perjalanan study bersama siswa-siswi  Madrasah Aliyah Negeri 21 Jakarta saat mengadakan kunjungan atau study di suku pedalaman Badui. Ada kekaguman yang tak beranjak sirna dalam pikiran ini tentang betapa uniknya kehidupan mereka. “Kehidupan yang sangat sederhana”. Itulah sebuah makna yang penulis rasakan  saat melihat kehidupan mereka dengan tradisionalisme yang hingga hari ini masih bertahan dan tidak mereka tinggalkan, justru sebaliknya mereka sangat menjaga tradisi itu dan sangat membanggainya.
Di tengah terpaan budaya barat yang membabi buta dan  pongahnya budaya materialis yang menggerus eksistensi budaya sendiri, masih kita dapati dengan gagah dan kokoh budaya Badui di sudut sana. Di balik perbukitan yang menghijau,  mereka bertahan dengan kehidupan dan penghidupannya. Masih putih warna pakaian warga Badui Dalam (Dalem). Masih hitam pakaian warga Badui Luar (Panamping). Mereka menjalani keyakinanan dan keataatan pada system nilai secara turun temurun. Mereka adalah keturunan kerajaan Pajajaran yang mengasingkan diri ke pedalaman karena pengaruh Islam. Itulah barangkali jawaban tentang tipikal fisik atau wajah orang Badui yang cantik dan juga tampan serta berkulit putih.
Di daerah perbukitan yang dipenuhi dengan pepohonan yang menjuntai, jauh dari hiruk pikuk modernitas yang memenjara jiwa serta menjauhkan manusia dari kediriannya. Disana, di tempat itu yaitu desa Kanekes kecamatan Leuwidamar, Kecamatan Lebak Banten mereka tinggal dengan aktifitas dan keinginan yang sangat sederhana. Kita mungkin tak akan  kuat dengan pola kehidupan yang mereka jalankan sebab pola pikir kita dengan materialisme yang kuat.  Tak akan bertahan kita tinggal disana dengan medan yang demikian sulit, karena hidup kita telah dimanjakan dengan segala kemudahan dengan semua fasilitas yang setiap saat tersaji untuk kita.
Suku Badui adalah entitas ketahanan dan juga kesederhanaan yang hingga saat ini tak tergoyahkan. Setidaknya nampak dari penampilan fisik yang hinggi hari ini tidak mengalami perubahan. Perhatikan aktifitas harian mereka. Mereka masak menggunakan alat-alat yang masih sangat sederhana (baca:tradisional), tidak ada aktifitas masak-memasak di dapur menggunakan minyak tanah apalagi kompor gas sebab mereka masak menggunakan kayu bakar dari kayu-kayu hutan yang melimpah. Mereka manjadi tidak menggunakan sabun atau bahan diterjen lain, mereka mandi menggunakan bahan-bahan yang tersedia di alam. Contoh mereka keramas menggunakan jerami atau tepatnya batang padi yang dibakar.  Untuk membersihkan kulitnya dari kotoran mereka menggunakan batu. Dalam bangunan rumah, mereka tidak menggunakan paku tapi hanya menggunakan tali yang terbuat dari bambu.
Para pengunjung tidak diperbolehkan membawa kamera atau alat elektronik lain ke dalam wilayah Suku Badui, (khususnya suku Badui Dalam). Saat ditanya mengapa tidak diperbolehkan, jawabannya karena ketentuan adat yang mengharuskannya. Meski demikian masih ada pengunjung Nakal yang sengaja dengan sembunyi-sembunyi mendokumentasikan kegiatan orang-orang di Suku Badui dalam tanpa sepengetahuan pemangku adat, sehingga karena hal ini sampai dibawa ke ranah hokum atau pengadilan.
Sejumlah fakta tentang adanya kesederhanaan itu terlihat dalam beberapa hal. Mereka sangat kuat memegang keyakinan budaya  leluhurnya. Coba lihat bagaimana pola berpakaian mereka yang hingga hari ini tidak berubah adalah bukti kesederhanaan budaya itu. Saat ini memang telah terlihat pengaruh budaya luar dan bukan tidak ada sama sekali pengaruh dari luar itu tapi sifatnya pengaruh berupa masuknya benda-benda atau bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Di Badui dalam ada seorang penjual makanan kecil atau warung yang menjual minuman ataupun minuman saset lain sebagaimana minuman yang diperjual belikan diluar Badui.
Masyarakat Badui memiliki lumbung-lumbung  padi yang tersebar di tiap sisi kampung. Di depan kampong Marengo terdapat sejumlah lumbung padi yang digunakan untuk menyimpan persedian pangannya. Ada warga Badui yang menyimpan padinya hingga berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Ini adalah sebuah fenomena sistem ketahanan pangan yang kuat, yang menopang kehidupan Suku Badui. Di sisi depan saat hendak memasuki kampong Cibeo yang merupakan salah satu kampung inti suku Badui, disana kita saksikan adanya lumbung-lumbung yang tersebar dibeberapa titik di sepanjang jalan mendekati kampong Cibeo.
Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan sikap orang Badui atau pemangku  adat yang patut kita cermati untuk kemudian perlu kita menghargainya. “Lojor  teu  meunang dipotong,  Pondok teu meunang disambung. Kurang teu meunang ditambah. Leuwih teu meunang dikurang”. Artinya Apa yang sudah panjang tak boleh dipotong, Apa yang pendek tidak boleh disambung, Apa yang kurang tidak boleh ditambah sebaliknya apa yang lebih tidak boleh dikurangi. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa apa yang sudah ada dan menempel pada masyarakat Badui jangan ditambah-tambah ataupun dikurang-kurangi. Disana terkandung sebuah pesan untuk membiarkan Suku Badui tumbuh atau melangsungkan kehidupannya secara apa adanya. Inilah barangkali yang menyebabkan masyarakat Badui mampu tetap kokoh dan bertahan hingga saat inni.
Berkunjung ke Badui, seperti menemukan sebuah oase yang menyejukan Jiwa di tengah sahara kegetiran dan keganasan budaya materialis. Selama ini kita  jarang mendapatkan suasana kesederhanaan itu sebab kota justru telah menyuguhkan gemerlap dunia yang jauh dari sederhana. Melihat orang-orang Badui seperti disuguhi kesadaran baru bahwa betapa tak semestinya manusia diperbudak keinginan-keinginan. Orang Badui tidak seperti orang kota dengan banyak keinginan. Orang Badui memiliki keinginan yang sangat sederhana. Jika orang Badui punya banyak keinginan, maka suasana malam tentu akan terang dengan cahaya sebab sampai saat ini malam di Kampung Badui tanpa cahaya. Jika malam datang mereka lebih suka menutup pintu untuk istirahat. Kalaupun terjaga hanya obrolan kecil tentang aktifitas rutin mereka di ladang. Keinginan mereka sangat sederhana, maka begitu malam tiba, mereka tidak beraktifitas lain. Mereka tidak dibuai keinginan macam-macam sebagaimana macam-macamnya keinginan kkita yang terbukti membuat resah.
Kota Jakarta pusara keinginan yang berbeda-beda, juga tempat pergulatan yang tak berkesudahan antara beragam keinginan, nafsu dan konflik. Kota Jakarta nyaris tak pernah sepi, saat malampun dipenuhi dengan banyak kegiatan. Detak keinginan orang Jakarta tak pernah berhenti sebab keinginan-keinginan manusia modern tidak sederhana. Kehidupan Jakarta tak pernah diam sebab tiap hari sibuk dengan kegiatan untuk mewujudkan keinginan. Belum terwujud keinginan sebelumnya, malah telah memproduksi atau menciptakan keinginan baru yang menuntut pemenuhan. Wajar jika di kota atau pun Jakarta banyak ditemui orang yang mengalami “stress” hingga hingga “stroke”.
Seandainya keinginan kita sesederhana keinginan-keinginan orang Badui itu, minimal kita mengurangi keinginannya tentu tidak ada kekeringan dan kegetiran-kegetiran dalam jiwanya. Senyatanya Jakarta telah memaksa manusia menjadi budak keinginan-keinginan yang makin hari makin tinggi, makin mahal dan makin memenjara jiwa kita yang semestinya bisa bebas mengembara. Tempat yang jauh dari hiruk pikuk modernitas secara fisik menjadikan pandangan dan ruang gerak mereka sederhana.
Masyarakat Badui bisa bertahan dalam kesederhanaan itu tidak ada yang mereka lihat lakukan diluar apa yang ada dalam diri mereka yaitu kesederhanaan itu. Coba bayangkan jika mereka dipenuhi atau disuguhi dengan keinginan yang macam-macam sebagaimana keinginan-keinginan kita, maka mereka akan sama dengan kita. Ada sesuatu yang menjadikan mereka bertahan. Inilah kekuatan atau power Badui. Mereka sadar bahwa keinginan itu cukup apa yang ada, apa yang bisa mereka jangkau, misalnya apa yang mereka makan ya apa yang tersedia di alam. Tidak perlu mengada-ada sesuatu yang sulit dijangkau. Mereka telah mencukupkan keinginannya dengan sesuatu apa adanya. Mereka tidak butuh TV atau Film-film dengan gambar-gambar yang justru telah mengasingkan manusia yang mengaku modern itu jauh dari kediriannya. Mereka orang badui juga tak perlu facebook, sebab facebook yang dibanggai itu telah menyisakan sejumlah petaka. Contoh adanya kejahatan lewat dunia maya seperti penculikan dan kerugian lain.
 Pelajaran penting dari Badui adalah bagaimana kita bisa mengelola keinginan kita. Bilamana perlu “membunuh keinginan” tapi  membunuh yang dimaksud adalah keinginan yang berlebihan dalam diri kita seperti keinginan makan berlebih, keinginan pada glamoritas dan semua keinginan-keinginan  yang duniawi dan berlebihan itu, setelah itu tentu kita bisa merasa lebih bahagia.
Walau aturan adat sangat ketat, realitasnya kesederhanaan adalah hasil akhir yang memperlihatkan betapa budaya mereka tak tergoyahkan. Suku badui menyegarkan pikiran kita tentang pelajaran sederhana meski tidak harus sesederhana kehidupan mereka. Wallahu A’lam Bis shawab
.


[1]  Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta.  Aktifis CENTER (Komunitas Guru Untuk Pembentukan Karakter Bangsa). Alamat Jl Sarang bango No 2 Marunda Cilincing. E-mail:tirta_pawitra@yahoo.co.id. telp 02141872917




Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini