Jumat, 16 Desember 2011

PENULIS NOVEL IDEALIS

(Sebuah Idealisme yang hampir Tenggelam)

Di depan komputernya yang tak lagi baru, laki-laki itu sedang memainkan Tuts-tuts yang ada di keybord. Malam itu adalah salah satu malam dalam rangkaian malam dan hari-hari panjang dalam bingkai waktu yang sedang sangat ia hargai. Bukan berarti waktu sebelumnya tidak ia hargai. Tapi paling tidak ia sedang merasakan betapa waktu yang sedang dijalaninya saat itu sangat ia dambakan. Waktu yang ia butuhkan demi selesainya sebuah idealisme. Saat kawan-kawan guru pulang kampong atau liburan, ia sengaja tidak pulang. Saat orang tua dan kakaknya yang ada di Tangerang beberapa kali menelpon dan menanyakan kabar ketidak pulangannya, ia pun tetap memilih tidak pulang. Semua dilakukannya untuk sebuah novel. Bersama waktu dan dengan terus memanfaatkan waktu itu ia ingin segera menyelesaikan Novelnya. Sungguhkah hanya karena Novel itu ia tidak pulang walau sekedar untuk menegok ibu yang beberapa tahun terakhir sering terkena sakit atau ayah yang beberapa hari ini dikabarkan sedang sakit gula. Laki-laki itu sepertinya tidak hanya menyimpan satu alasan atas ketidak pulangannya.

Lagi Nulis Novel.” Jawabannya singkat saat salah satu kawannya ada yang pernah bertanya. Jawaban tegas tapi tanpa isi tanpa muatan apalagi ungkapan makna. Bahkan yang terlihat hanyalah egoisme yang dipaksakan. Ia sangat yakin bahwa karyanya adalah karya yang sangat penting bagi masyarakat. Menurutnya karya yang dibuat atau disusunnya adalah novel yang baru dan tidak ditemukan pada novel-novel yang lain. Tidak seperti novel atau buku-buku yang mendopleng ketenaran karya orang lain. Contoh saat baru muncul atau booming buku Da Vinci Code, ramai-ramai buku atau tulisan membuat kemasan dan tema yang sama tentang Da Vinci Code dengan segala variasinya. Atau saat Shirazy booming dengan “ayat-ayat Cinta”, beberapa penulis lain juga membuat buku atau tulisan atau novel dengan bahasa dan tampilan buku mirip dengan tampilan buku Ayat-ayat Cinta.

Berbeda dengan Laki-laki itu…. !!!! Novel yang sedang dibuatnya adalah Novel yang benar-benar baru yang diangkat dari khasanh budaya local yang sering dipandang sebelah mata oleh anak negeri sendiri. Begitulah kurang lebih akunya. Laki-laki yang di depan computer itu ingin menunjukkan bahwa budaya negerinya juga punya khasanah cerita rakyat yang lebih bermakna dibanding dengan cerita atau epos bangsa-bangsa Eropa yang jelas-jelas tidak memiliki akar atau dasar budaya ketimuran.

Ada juga yang mengira ia tidak pulang karena alasan tidak ada ongkos. Segera ia membantahnya sebab uang gajian bulan lalu cukup sekiranya hanya untuk ongkos pulang. Tapi memang harus diakui novel adalah idealisme dan obsesi yang setahun terakhir memenuhi ruang dalam jiwanya, sehingga dana sebesar apapun rela ia keluarkan untuk tujuan penulisan novel. Komputer Pentium tiga yang ada di depanya sesungguhnya adalah computer kreditan yang belum lunas. Naskah separoh jadi beberapa kali ia kirimkan pun harus diakui memerlukan dana yang tidak sedikit. Belum lagi printer berikut tinta serta kertas dll. Belum lagi jika computer harus mengalami kerusakan. Setahun ini ia harus mengganti hard disk-nya sebanyak 2 kali. Tentu ini semua menjadi sebuah kenyataan betapa alasan keuangan turut membentuk alasannya untuk tidak pulang.

Tidak…!!!! Aku memang sedang nulis novel. Ga ada sebab atau alasan lain. Kekehnya dalam hati meyakinkan bahwa penulisan dan keasyikannya dengan novel memang sesuatu yang sedang menjadi fokusnya. Bukan hanya satu dua kawan guru yang menanyakannya. Memang agak aneh dan tak lazim kelihatannya dengan pola umum. Saat libur adalah saat yang ditunggu oleh banyak orang untuk istirahat atau berkumpul bersama keluarga. Hal itupun bukan sesuatu yang tak membebani pikirannya. Tapi kini ia sedang memilih dan menggunakan cara itu. Paling tidak untuk beberapa hari. Selebihnya ia tentu ada rencana untuk pulang.

Bahkan kepala sekolahnya juga turut bertanya.

Ya…. Memang benar aku sedang menulis Novel. Ini waktu yang sangat tepat untuk merapihkan tulisan dalam Novel ini. Jawabnya berusaha memantapkan. Bahkan kadang-kadang ia harus berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya sedang ikut lomba penulisan resensi buku yang diadakan oleh salah satu penerbit di Jakarta. Dengan begitu alas an penulisan Novel tertutupi. Sehingga idealisme penulisan novel baginya bukanlah sesuatu yang harus ditampilkan. Bahkan sebisa mungkin itu disimpan dalam-dalam dan jangan sampai ada orang yang tahu. Tentu agar apa yang kita katakana lebih punya kesesuaian dengan kenyataan. Saat kita menggebu dengan penyusunan Novel, namun dalam kenyataannya novel itu tak kunjung terwujud, maka semangat yang menggebu itu menjadi dipertanyakan. Namun apabila kita baru menyampaikan judul Novel tapi sebenarnya sudah sekian Bab dan juga halaman tersusun, sungguh orang akan salut dengan kata-kata kita. Sebab antara apa yang dikatakan dengan kenyataan jauh lebih baik. Itulah prinsip yang sedang terus dipegangnya.

Satu hari kawan dekatnya bertanya lewat sms.

Apa kamu ngga kepingin ketemu orang tua…??? Tanya kawannya yang beberapa hari lalu telah menikah dengan gadis Blora lulusan salah satu Universitas Islam bergengsi di Jogya. Gadis itu cukup cantik … Pokoknya di atas standar yang pernah kami sharing bersama tentang tipe-tipe wanita yang kami idealkan. Beberapa minggu yang lalu kami masih main bersama untuk sekedar ngobrol tentang Yayasan dan harus diakui obrolan kami sedikit banyak terfokus pada obrolan tengang wanita dengan sejuta harapan padanya.

Kangen seeh.., tapi beberapa hari lalu kan aku sudah pulang ……!!!!lewat sms laki-laki itu kirimkan jawaban. Ya berapa hari lalu ia memang sempat pulang tapi tidak ke rumah. Ia ke Jawa untuk tujuan mendampingi Tour murid kelas tiga. Saat Bis melaju di wilayah kabupaten tempat Orang tuanya, ia memang sempat kirim sms dan bertanya soal kabar di rumah. Tapi ia tidak sempat mampir karena ia sedang mendampingi anak-anak tour. Ia memang sempat mengatakan kalau ada waktu nanti akan pulang. Beberapa saat berikutnya sms datang kembali. Di buka kotak pesan dalam ponselnya. Rupanya pesan singkat dari kawanya tadi.

Yaa bukan itu… Meski hanya sebentar orang tua itu sangat senang jika anaknya dapat menengok. Apalagi jika usianya telah tua. Mendapati jawaban itu, laki-laki itu terdiam dan berpikir panjang sebelum ia menanggapi argument kawannya. Air matapun tak kuasa ia tahan. Bayangan ibunya yang gesit membayang sangat jelas dalam ingatannya. Bayangan gesit seorang ibu yang tiap pagi bersiap-bersiap pergi ke pasar kembali hadir menambah rasa sedihnya menjadi kian dalam. Tangannya yang dulu halus kini menjadi keriput dan makin terlihat keriput. Dengan tangan yang kini keriput itulah Lelaki itu mendapati belaian kasih sayangnya. Demikian bayangan kekar ayahnya tampil juga dalam ingatannya. Rambutnya tidak semua berwarna hitam. Bahkan yang ada warna putih yang tampak lebih dominant. Wajar saja usianya beberapa tahun lagi mendekati 60. Mengingatinya menjaaadikan ia tambah sedih. Apalagi permintaannya di beberapa bulan terakhir. Sebuah permintaan yang sangat menganggu perasaannya

Jam menunjukkan pukul 09.00, lelaki itu lagi-lagi hanyut dalam aktifitas mengetiknya. Ia Kembali menekuni computer Pentium tiga hasil kredit yang belum lagi lunas. Dua bulan lagi tepatnya bulan Agustus, semua Insya Allah lunas. Ia bisa memanfaatkan dananya untuk keperluan yang lain. Di depan computer itu laki-laki it uterus melanjutkan aktifitas penulisan novelnya. Sebut saja novel itu dengan sebutan Novel Idealis. Idealis sebab itulah karakter yang kuat melekat pada laki-laki itu. Idealis punya dua makna, bisa positif bisa juga negative. Biasanya makna ini lebih dekat pada makna yang negative sebuah kata sifat yang menunjukkan perilaku yang di luar kebiasaan atau diluar mainstream.

Diiringi MP3 dengan lagu-lagu melankolik, ia masih terus asyik dengan novelnya. Walau sesekali lagu berhenti, atau kadang-kadang computer tak dapat dioperasikan alias HENG. Dengan me-reset ulang komputernya, laki-laki itu melanjutkan aktifitasnya. Wajahnya sangat lelah. Meski harus mengalah mengetik dengan tanpa iringan MP3. Radio pinjaman temen yang ada disisinya pun telah tak bersuara alias rusak.

Biarlah tanpa musik…!!! Yang penting aku dapat segera menyelesaikan Novel ini tanpa harus terganggu dengan Heng-Heng yang melelahkan. Beberapa kawan guru yang lain telah memiliki laptop yang cukup baik untuk ukuran seorang guru. Tentu mereka sangat nyaman dan terbantu dengan laptop itu. Laki-laki itu membayangkan suatu saat untuk juga bisa memiliki sebuah Lapop. Ia pernah membaca satu majalah dimana seorang penulis terkenal dengan laptop yang dipunyainya ia bisa menuangkan tulisan atau idenya seketika dan dimana saja tentu karena kelebihan yang ada pada laptop.

Wajahnya masih tampak sayu dan begitu lelah malam itu. Lelah karena kerja idealis yang dilakukannya tak kunjung membuahkan hasil yang diinginkan. Bahkan malam itu ia mengharuskan diri untuk mengenakan kacamata minnya yang jarang ia kenakan. Tulisan font ukuran 12 yang biasa tampak jelas, akhir-akhir ini terlihat tambah buram dalam pandangannya. Mungkin daya lihatnya telah menurun, Pikirnya.

Novel penggugah Nurani peradaban, begitu kurang lebih idealisme yang dibangun untuk menyebut apa yang digarapnya sebagai karya peradaban. Ia berharap dan sangat yakin bahwa suatu saat nanti novelnya bisa diterbitkan. Sebagaimana novel seorang penulis muda yang ia kagumi dan sangat popular di masanya. Dan keyakinan itu tak perlu ia perlihatkan. Ia lebih memilih pembuktian daripada kata-kata yang sering membebani.

Suatu saat muridnya juga pernah menyarankan agar novel yang sedang dia susun diterbitkan. Lelaki dan sekaligus guru muda itu hanya mengatakan “Kalau novel itu bisa diterbitkan tentu menjadi suatu harapan semua penulis, tapi yang utama buat bapak adalah bagaimana kita sebagai manusia yang diberikan kemampuan intelektual bisa memaksimalkan kemampuan tulisnya dalam sebuah catatan. Tulisan atau catatan kita diterbitkan dalam sebuah buku itu adalah suatu kebanggaan yang besar. Sebab catatan atau tulisan yang kita buat bukan hanya bermanfaat untuk diri sendiri melainkan juga bermanfaat untuk orang lain. Jawabnya di depan kelas saat dalam satu sesi belajar mengajar.

Ini adalah karya terbaik peradaban..!!! yakinnya dalam hati sembari sesekali menghentikan aktifitasnya dan mencoba memperhatikan kembali kata-demi kata. Kalimat demi kalimat di satu BAB yang asyik ia tekuni pada layar Monitor di depannya. Dan keyakinannya tak perlu ia tampakkan sebagai sesuatu yang akan benar-benar terwujud. Biarlah keyakinan itu ia simpan dalam-dalam sedalam idealisme yang terkandung didalamnya.

Aku yakin aku bisa bersanding bersama penulis-penulis besar sebagaimana El-Sirazy, penulis ayat-ayat cinta yang namanya harum memenuhi jagat perbukuan negeri ini. Siapa orang yang tidak mengenal Sirazy, itulah nama yang lekat dalam pikirannya. Seorang penulis muda dengan karya monumental telah dibuatnya, karya besar diakui sebagai karya yang masuk deretan karya-karya terbaik di zamanya. Karya peradaban yang menghentak seluruh paradigma novel-novel yang ada sebelumnya sebab karyanya berada di luar Mainstream.

Sesekali ia melihat novel Ayat-ayat Cinta yang sengaja ditaruh di atas computer. “Buku Setebal 418 halaman, yang menurut penuturan adiknya adalah karya yang dibuat hanya memerlukan waktu kurang lebih sepuluh hari. Itupun dikerjakannya saat ia menderita sakit karena musibah kecelakaan.

“Sungguh sangat luar biasa”. Pujinya untuk Shirazy atas karya besar yang dibuatnya.

Hampir satu tahun aku mengerjakan Novel Idelis ini. Tapi yang kudapat barulah peta konsep. Sekian kali terjadi [erubahan pada peta konsep. Tapi aku yakin, peta konsep ini ada;ah peta konsep yang terakhir dan paling sempurna dibanding konsep-konsep yang telah dibuat sebelumnya.

Ya… aku yakin aku bisa. Akan kubuktikan pada semua orang bahwa aku bisa melakukannya. Aku bisa menjadi penulis besar sebagaimana mereka…!!!!! Sebuah catatan yang terlupa dari idealisme yang dibuatnya mungkin terletak pada. Perubahan yang mendasar pada obsesinya. Awal ia mengajar di sekolah itu, ia berobsesi menghasilkan artikel dan karya-karya ilmiah. Belakangan ia banting stir ingin menjadi penulis novel. Sebuah dunia kepenulisan yang sama sekali jarang ia sentuh. Bahkan bisa dikatakan satu novel belum pernah ia baca hingga tuntas. Wajar jika ia sering mengalami kesulitan untuk menemukan pilihan kata, sistematika dan semua hal yang terkaiy dengan novel. Perubahan ke dunia novel salah satunya didasarkan pada pertimbangan bahwa dunia novel lebih punya kebebasan berskspresi tanpa harus dituntut untuk mencari rujukanatau sumber-sumber ilmiah. Terlebih jika novel yang ditulis adalah novel dalam bentuk FIKSI. Novel jenis ini lebih punya kebebasan ekspresi disbanding novel Non-fiksi. Lelaki depan computer itu sedang menulis Novel Fiksi Peradaban. Sebut saja ia dengan Novel Idealis. Seidealis penulisnya.

Suatu hari teteh, tetangganya disamping saung menasehatinya untuk menghentikan aktifitas penulisan novel. Ia sepertinya mersa prihatin atas apa yang terjadi pada laki-laki itu. Ia prihatin sebab dengan kegiatannya menulis novel laki-lakiitu sering melupakan diri sendiri. Dari makan, pakaian hingga soal pasangan hidup. Beberapa kali pakaian yang ia kenakan musti dicucikan Teteh karena jemuran yang terbengkalai.

Simpan dulu novelnya, jangan terlalu memaksakan diri..!!! Suara itu pelan terucap tapi sangat dalam maknanya. Sebuah nasihat untuk berhenti melanjutkan penyusunan Novel. Atau sebuah sindiran halus Untuk tidak mengatakan mengakhiri idealisme yang tak pernah punya bentuk. Aku sangat memahami apa yang dia maksud dengan kata-katanya. Tiap hari kami bertemu dan sling sapa. Tiap hari pula ia tentu sangat memahami atas apa yang aku lakukan di kamar atas dengan. Dia tetanggaku sangat memahami bahwa aku sedang mengerjakan proyek idealis. Dia juga pernah mengatakan tentang ketidak pahamannya atas novel yang kususun.

ENTE NGARTI, begitu kurang lebih kata-kata yang ia lontarkan saat pertama aku menyodorinya peta konsep Novel Idealis itu. Bahasanya terlalu tinggi. Lanjutnya. Benar sekali mungkin apa yang dia katakan. Gaya bahasa tinggi sudah sering dipakainya saat ia masih gemar menulis artikel atau karya tulis ilmiah. Gaya bahasa itu rupanya tidak bisa hilang begitu saja saat menuangkannya dalam bentuk novel. Salah satu kata mutiara yang ia bangun dalam novel itu misalnya ia katakana “Karya terbesar peradaban adalah ketika cipta, rasa dan karsa bersatu dalam satu bahtera. Saat itu kemenangan menjadi dermaga bagi berlabuhnya semua harapan”. Sangat idealis. Kata-kata yang ia bangun dari budayawan besar negeri ini, Koentjaraningrat. Ia modifikasi menjadi rangkain indah menjadi jalinan esensial tentang makna peradaban yang sesungguhnya. Bahasa tinggi dan tidak mudah dimengerti sebab memang tidak semua orang dibekali dengan kemampuan membaca esendi dasar atau hal paling kecil dari suatui fenomena. Maka bersyukurlah wahai anda yang diberikan kemampuan memahami hal yang esensial dan substanssial. Selebihnya kemudahan akan kau dapatkan.

Tapi sungguh aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi denganku. Aku seperti sedang terbius oleh penyihir dimana aku tak mampu keluar dari pengaruh sihir. Ujarnya disatu waktu. Laki-laki itu tidak bisa melepaskan dan meninggalkan novel berikut komputernya. Ia telah terjerat dalam ikatan Magis Novel Idealis. Sungguh ia tidak bisa melepaskannya. Hanya lelah dan tidur yang mampu menghentikan aktifitasnya. Hingga mata kembali terbuka ia pun tetap kembali di depan computer. Tentu saja kewajiban rutin beribadah takkan ia tinggalkan sebab itulah kekuatan utama yang menggerakan seluruh yang ada padanya. Bahkan hingga malaikat maut merenggut nyawanya….!!!!! Ia akan terus di depan komputernya melanjutkan nafas peradaban, membangun nurani, menguatkan hati. Mengutkan logika menuju karya besar amanah peradaban.

Lelaki depan computer itu kini sedang berlinang air mata. Ia menangis sebab di usianya kini belum bisa membahagiakan orang tuanya

Mak…… Aku ga bisa sama Tri…???!!!!!

(Babakan Jaya Sukabumi 2007)

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini