Selasa, 20 Desember 2011

HISTORISITAS A-QURAN

HISTORISITAS AL-QURAN
(Membaca Modus Hermeneutika dalam Pemikiran Ahmad Wahib)[1][1]
Oleh: Arif Budiman[2][2]
Kesejarahann Al-Quran adalah upaya pemahaman pada Al-Quran berdasarkan kesadaran sejarah. Ahmad Waib dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib yang diterbitkan LP3ES[3][3] mengangkat kesadaran sejarah dalam kajian AL-Quran. Uraiannya tentang makna Al-Quran menggelitik penulis untuk mengaitkannya dengan tema hermeneutika. Sehingga menyebut Ahmad Wahib sebagai salah satu pemikir yang memiliki konsep hermeneutika sebagaimana Nashr Hamid Abu Zaid dan Farid Esack dan para pendahulunya, rasanya terlalu dini. Tapi bahwa pemikiran dan pembacaannnya terhadap Al-Quran memiliki kesamaan dalam prinsip hermeneutika sudah terlihat dalam setiap catatannya. Kajian ini memfokuskan pada pembahasan dan pemikiran Ahmad Wahid pada Al-Quran.
Biografi Ahmad Wahib
Ahmad Wahib adalah tokoh yang lahir pada tanggal 9 November 1942 di Sampang, Madura dengan kultur Islam tradisional yang masih sangat kuat. Ayahnya adalah tokoh yang berwawasan terbuka dan mendalami secara serius gagasan pemikiran Muhammad Abduh. Kuliah di Jogjakarta di Fakultas MIPA dan aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Keprihatinannya pada kondisi pemahaman Islam mulai tumbuh subur saat dirinya masih aktif tercatat sebagai mahasiswa. Ia adalah salah satu pemuda yang memiliki keterbukaan dan toleransi yang tinggi pada agama lain. Mungkin karena ia pernah tinggal di asrama Realino di Jogjakarta. Ia bahkan pernah mimpi bertemu dengan Bunda Theresa. Selesai studi di Jogja ia pergi merantau ke Jakarta dan mencoba peruntungannya menjadi wartawan Tempo dengan gaji yang sangat pas-pasan. Meskipun begitu Ahmad Wahib terus berusaha bertahan di Jakarta dengan tetap membangun idealismenya pada nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Ia adalah tipikal pemuda yang sangat bersahaja. Kontrakannya di Kebon Bawang Jakarta nampak sangat memprihatinkan bahkan ia pernah menyatakan buku-bukunya yang dimakan rayap.
Konsep Hermeneutika
Membaca pemikiran Ahmad Wahib dan Hermeneutika adalah narasi besar tentang bagaimana semestinya Al-Quran diperlakukan. Agar ajaran Islam membumi dan memberikan solusi terbaik bagi peradaban bukan sebaliknya. Hermeneutika berasal dari kata hermes. Pertama sebagai sebuah konsep penafsiran dilakukan oleh orang Kristen untuk menafsirkan Bibel. Dalam kaitannya dengan bangunan Hermeneutika. Tokoh-tokoh pemula seperti Schliermacher, Dilthey, telah meletakan dasar pemikiran Hermeneutika.
Dari semua pandangan Hermeneutika nampaknya kita mesti berhenti sejenak dan meminta salah satu para konseptor Hermeneutika melirik pemikiran Ahmad Wahib. Adakah konsep Ahmad Wahib memiliki prinsip-prinsip hermeneutika.? Tujuan penulisan ini juga tidak untuk menobatkan Ahmad Wahib sebagai tokoh yang memiliki pemikiran mendalam tentang hermeneutika. Tujuan tulisan ini lebih didasarkan pada pentingnya mengajukan alternative pemahaman yang konprehensif dalam mengkaji al-quran. Jangan sampai al-quran yang disalahkan sebagai biang kekersan atau terorisme yang melanda dunia. Tapi sudah semestinya maksud al-quran dapat dibaca dengan pemahaman yang benar. Tokoh seperti Gadamer mengungkapkan dengan gamblang betapa agama dan pemahaman kita pada teks akan terkait dengan nilai historikalitas dan proses dialektika.
Heidegger
Fikiran manusia sangat dipengaruhi Bejana lingkungannya. “Sipa saya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya” bagaimana ia hidup dan menjalani kehidupan. Ketika manusia menemui sesuatu dalam hidupnya. Missal seseorang menemui objek dengan cakrawala yang berbeda. Masing-masing punya Pra Asumsi yang dibentuk dari Historikalitas yang berbeda. Ini pondasi Heidegger.
Heideger melanjutkanya ke Fenomena bahasa. Bahasa ini bersumber dari sang ada. Dengan bahasa mansuia bisa belajar tentang realitas. Harus ada simbolisasi fisik untuk mendekati Tuhan. Menurut Heideger bahasa adalah Rumah Ada. Kata Kang Hadi disebut Loudspeaker of Being. Sehingga dalam hal ini pemahaman kita terhadapTuhan, dapat didekati dengan bahasa yang dipakai dalam suatu teks. Jika itu diberlakukan pada teks agama misal Al-Quran maka Tuhan dalam kaitannya apa yang dimaui sang Ada itu dpat dikethui lewat bahasa kitab.
Bahasa kita atau bahasa manusialah yang terbatas, sementara realitas tak terbatas. Menurut Heidegger kita selama ini terlalu diteorisasi. Ia menyarankan untuk mengabaikan teori-teori itu berdasarkan fenomena. Nature wujud memang mengada, jadi sudah ada dengan sendirinya. Ada itu kaya penyakit, karena dia tidak memperlihatkan sesuatu dengan gejala. Misalnya gejala tipes yang terbaca.
Heidegger bicara realitas manusia yang muncul secara histories dalam ruang dan waktu. Manusia tidak datang dari ruang facum (kosong). Manusia ada dalam konteks kelingkunganya. Setiap orang particular juga manifestasi. Karena manusia punya wawasan masing (baca Prasangka, maka memahami realitas). Sehingga sangat sulit untuk mencapai kepahaman.
Realitas adalah manifestasi yang tak terbatas. Bahasa juga manifestasi sang Wujud. Dalam bahasa yang terbatas terkandung makna yang tanpan batas. Contoh jika ilmu Allah dituliskan, maka 7 lautan tidak akan mampu atau tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu Allah tersebut. Setiap teks adalah manifestsi sang Wujud. Kita yang terikat ruang dan waktu, tapi sang wujud itu tak terikat ruang dan waktu.
Biarkan yang ada bicara sendiri, Heidegger adalah catatan kaki Mulla Shadra, artinya tentu betapa hal ini sangat penting dalam pemikiran Mulla Shadra. Teks adalah Horizon sintesis antara teks dan horizaon ----disebut FUSION OF HORIZON. Realitas sangat banyak meyebabkannya tidak menggunakan Metode. Tujuannya sama tentu agar teks bisa bicara secara leluasa tentang dirinya. Artinya metode yang diguakan selama ini sama artinya telah menggunakan ukuran dan takaran yang sangat temporal, sementara manusia adalah horizon yang sangat luar. Ia ada dengan dirinya. Latar belakang pemikiran Gadamer antara lain
  1. Manusia temporal
  2. Bahasa itu merupakan manifestasi Ada
  3. Ekspresi dan makna yang tertangkap satu pemahaman individu, itu baru satu butir makna dari kekayaaan makna yang tersembunyi dalam ekspresi.
  4. Pemahaman manusia Bersifat Historis bukan Presuposisionals understanding
  5. Konsekuaensinya hermeneutika bersifat terbuka, produktif
  6. Understanding is co-eksistesial
Masih tentang Gadamer. Memahami menurut GADAMER bukan produksi atau reconstruksi, penganut Mazhab ini adalah mazhab rekonstruksi seperti dilthey, Schliemmacher dan Betti. Demikian halnya dengan mahzab Romantis. Kritik estetik, kesengan dianggap sebagai persepsi. Kata Gadamer saat aku meneliti realiata yang sangat kaya itu, kamu sendir telah sangat membatasi realitas itu sendiri. Biarkan Bumi menjadi Bumi arrinya biarkan fenomena yang ada bicara dengan dirinya sendiri. Tanpa kita mengintervensi apalagi merubah maknanya. Fusion of Horizon, peleburan Horizon kita hidup dalam tradisi. Kita dibentuk oleh tradisi dalam pemahaman. Saat berhadapan dengan teks, Ini adalah satu Horizon, tapi saat kita memahami buku.[4][4]
Dari uraian diatas dapat kami dirangkumkan beberapa pokok pemikiran hermeneutiki untuk dijadikan alat atau kacamata untuk meneropong Pemikiran Ahmad Wahib, antara lain:
1. Adanya Latar Belakang Hermeneutika
2. Adanya Upaya Penafsiran
3. Adanya Upaya Memahami
4. Adanya Upaya Rasional/Filosophis
5. Adanya Upaya Melawan Doktrin
6. Adanya Upaya Penggalian Makna
7. Adanya Keinginan yang Sama tentang Beragama yang Benar
Tokoh terakhir yang secara khusus menerapkan ilmu Hermeneutika ini dalam penafsiran Al-quran semisal Fazlur Rahman, Farid Esack dan Nashr Hamid Abu Zaid. Tersebut pertama justru merupakan guru dari Nurcholish Madjid yang merupakan teman dekat Ahmad Wahib saat aktif di HMI. Tokoh-tokoh tersebut memiliki konsentrasi yang sama yaitu tetang Islam dan pembaharuan. Meskipun Ahmad Wahib menilaib Nurcholish Madjid mengalami perubahan orientasi pemikiran[5][5]. Setidaknya melihat dua tokoh Wahid dan Nurcholish Madjid menarik sebab kedua tokoh ini sesungguhnya sama-sama memiliki pemikiran agama yang dalam. Namun karena faktor publikasi lah yang menjadikan Ahmad Wahib kurang dikenal di kancah pemikiran. Ditambah Nurcholish Madjid pernah menjabat ketua HMI saat di IAIN Jakarta selama dua kali masa kepengurusan.
Saya ingin melihat Ahmad Wahib dengan tujuh kacamata hermeneutika sebagaimana yang secara umum telah sama-sama kita baca:
A.    Latar Belakang Penafsiran Terhadap Al-Quran ( sebuah Tinjauan Umum)
Ahmad Wahib prihatin nasib umat Islam sebab Islam sebagai agama dengan penganut mayoritas di Indonesia tidak mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi bangsanya. Setidaknya ada beberapa hal yang baginya cukup meggelisahkan dari umat Islam Indonesia, antara lain:
Penafsiran yang salah artinya kondisi umat Islam yang salah dalam memahami agamanya. Ahmad Wahib membangun argumen yang cukup keras (baca: kontroversial). Di salah satu pernyataannya ia mengatakan Jika nabi Muhammad adalah seorang filusuf maka kata-katanya adalah abadi. Namun nabi Muhammad katanya hanyalah seorang kepala pemerintahan pada masanya, maka segala kebijakan dan perilakukanya hanya tepat pada zamannya. Disini Ahmad Wahib ingin mengatakan bahwa Al-Quran bukanlah teks yang langgeng dalam arti praktis (Fi Kulli Makan, Wakulli Zaman). Apa yang diceritakan dalam Al-Quran adalah cerita zaman atau masanya. Sehingga ketika menerapkan Al-Quran untuk zaman sekarang tidaklah relevan. Dalam Ulumul Quran, A.H. John mengutip satu kata yang cukup mendasar. Seandainya nabi Muhammad hidup pada masa kini, maka beliau sangat prihatin. Dalam kata-kata ini terkandung makna bahwa praktek agama umatnya tidak seperti apa yang dikehendakinya.
Inti Pemaknaan Ahmad Wahib Kesejarahan Al-Quran
Ahmad Wahib tidak membuat pembedaan yang tegas antara Sunah dan hadits. Tapi ia memiliki pemikiran yang cukup unik tentang Al-Quran. Pemikiran ini didasarkan pada keprihatianan penafsiran Ayat dalam Al-Quran yang terkadang hanya menjadi justifiksi bagi kekuasaan dan kepentingan. Al-quran diartikan secara leterlijk. Padahal saat ayat AL-Quran diartikan secara apa adanya akan menimbulan banyak persoalan. Contoh yang diajukannya adaalh Negara teokrasi oleh rasulullah dengan mendirikan negara teokrasi sebab situasi saat itu memang mengharukan untuk membentuk negara teokrasi itu, tapi tidak tepat jika hal itu diterapkan pada zaman ini. Tidak ada alasan mengapa ia membuat contoh negara teokrasi. Kemungkinan situasi saat itu adalah masa-masa rusuh pasca revolusi 1965.
Kesejarahan AL-Quran menurut Ahmad Wahib dibangun dari pemahaman akan prinsip-prinsip sejarah. Pertama, ia menekankan aspek Historical Setting. Ia termasuk yang meyakini bahwa ayat-ayat dalam Al-quran itu turun dalam situasi zamannya. Ahmad Wahib menyebutnya dengan istilah meruang dan mewaktu. Historical Setting adalah setting waktu atau zaman yang melingkupi suatu kejadian yang dalam hal ini dimaksud adalah ayatnya. Jadi al-quran harus dipahami dalam konteks historis yang melingkupinya atau situasi zaman masa itu.
Aspek kedua Ahmad Wahib tentang sejarah adalah proses ideation yang artinya mengambil ide-ide, makna dan prinsip-prinsip sejarah. Proses ini dalam pemikiran Nashr hamid Abu Zaid bahwa dalam teks itu mengandung Makna dan Maghza. Sehingga dalam proses penggalian makna seorang penafsir akan diajak pada zaman Rasulullah dimana teks itu ada dan dari sana ia akan mengambil makna. Dalam proses pengambilan makan ini, Ahmad Wahib mengajukan perlunya ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, politik dll sebab permasalahan yang dihadapi sudah sangat kompleks sehingga membutuhkan pendekatan yang multidisiplin.
Aspek ketiga, Ahmad Wahib menawarkan gagasan yang sangat fundamental (baca: cemerlang) Pertama dikenal dengan istilahh historical direction. Apakah ini sama dengan gagasan yang dibuat oleh Fazlurahman dengan konsep double movement, yang oleh Fazlurrahman dimaksud sebagai mengambil makna pada zaman dimana teks itu ada dan membawa makna itu pada masa kini. historical direction yang dimaksud Ahmad Wahib adalah bagaimana sejarah Rasulullah kita gunakan untuk menuntun dan menentukan sikap dan perbuatan pada masa kini.
Dengan cara ini, maka umat islam tidak perlu melakukan kesalahan dalam penerapan ajaran Islam yang benar sebab yang dilakukannya adalah sesuai dengan makna yang sebenarnya. Hari terpampang di depan mata bagaimana agama itu tampil sangat mengerikan. Ia ibarat monster yang siap membunuh siapapun yang menentangnya. Agama bukan lagi membawa kedamaian dan rahmatan lil alamiin.
Aspek keempat pemikiran Ahmad Wahid adalah Comunication with God, yang dalam konteks ini Ahmad Wahib dinilai sebagai pengikut ajaran Ahmadiyah garis Lahore yang meyakini masih ada wahyu setelah nabi Muhammad. Padahal dalam al-quran sangat jelas menyatakan bahwa nabi Muhammad adalah penutup para nabi. Terlepas dari perdebatan itu bahwa ada satu situasi saat manusia telah pada tahapan dimana tingkat intelektualitas itu sampai pada level yang sangat dimungkinkan baginya menggapai kebenaran yang hakiki sebagaimana nabi dan rasul juga manusia-manusia pilihan. Dalam konsep ini tentu kita hanya meyakini bahwa itu terjadi hanya pada manusia-manusia sempurna yang bias menjaga ahlak dan keilmuananya pun di luar manusia biasa. Ibnu Sina menyebutnya dengan tingkatan intelelek yang menjadikan tiadanya batas antara Tuhan dan manusia. (Isyarat Wa Tan Bihat[6][6])
Pemikiran Ahmad Wahib yang bekaitan dengan pemikian sejarah terlihat dalam beberapa argumentasinnya antara lain: Pertama, Quran sendiri ia pandang sebagai sejarah Muhamamad. Dan pandangan ini memberi dampak pada argumen yang otomatis sejalan dengan argumen pertama. Kedua Shalat olehnya dipandang sebagai kegiatan memahami dan mengkaji sejarah Muhamamad. Demikian halnya puasa ataupun haji ditempatkannya dalam konteks pemahaman terhadap sejarah nabi Muhammad. Ketiga, Al-Quran sebagai puisi Muhammad, yang itu artinya memberi julukan bahwa Rasulullah adalah Penyair. Nashr Hamid Abu Zaid punya analisa yang kuat.
Kesejarahan Al-Quran tentu dapat dibenarkan dalam beberapa aspek seperti rasulullah hidup dalam ruang dan waktu. Yaitu di Hijaz. Ini unsure utama sejarah, karenanya Al-Quran yang diturunkan pada waktu itu mengandung unsure sejarah. Tidak perlu juga merasa takut bahwa saat rasulullah hanya sebagai manusia sejarah bukan berarti mengkerdilkan rasulullah. Sebab sebagai manusia sejarah rasulullah telah meninggalkan makna-makna mendalam. Walaupun di aspek yang lain rasulullah juga melakukan tindakan yang hanya tepat untuk zamannya. Ia melakukan tindakan sesuai zamannya.
Mudah-mudahan bisa memberikan cabaran yang lebih baik jika dalam tulisan ini juga menyinggung pandangan Ayatullah Muhammad Baqir Shadr dalam bukunya “Paradigma dan Kecenderungan Sejarah dalam Al-quran” dengan mengatakan bahwa Al-Quran itu memiliki norma-norma sejarah. Bahasa Al-Quran adalah bahasa yang mengandung hukum-hukum sejarah seperti dorongan perkawinan, keberagaman. Dalam poin pentingnya Ayatullah Muhammad ingin mengatakan bahwa memahami kesejarahan termasuk dalam hal ini kesejarahan Al-Quran akan mengaktifkan daya pikir manusia dan tidak mudah pasrah dengan keadaan hanya karena keyakinan bahwa Tuhan sudah menggariskan di dalam Al-Quran. Sehingga dalam hal ini Al-Quran memiliki nilai aktif yang memotivasi manusia dengan nilai-nilai sejarah. Muhamad Bagir Shadr secara nyata menngunggulkan cara memahami Islam yang benar itu dengan penafsiran Maudu’i.
Ahmad Wahib menolak teokrasi karena basic demand pada masa nabi berbeda dengan basic demand pada masa kini. Muhammad Baqir Shadr kurang lebih juga memiliki pandangan yang sama dengan mengatakan bahwa Nabi menjelaskan teori-teori dalam Al-Quran dengan cara yang sesuai dengan lingkungan beliau di masa itu.
Nash Hamid Abu Zaid
Pemerhati dan juga pemikir aktif Hermeneutika ini rasanya paling produktif. Beberapa karyanya cukup menyisakan ruang diskusi dan perhatian umat Islam yang cukup besar. Bahkan ia hidup satu zaman dengan Ahmad Wahib. Nashr Hamid meinggal belakangan pada tahun 2011. Karenanya, menhadirkannya sebagai penyulut pemikiran hermeneutika ini, menjadi sangat relevan. Dalam hal ini kajian Nashr Hamid Abu Zaid tentang perbudakaan rasanya cukup relevan dijadikan pembanding bahwa perbudakan ada sebab masa itu memang sedang tumbuh kuat budaya itu. Tahapan yang dibuat Nashr Hamid misalnya. Pertama, Kedua, Ketiga dan Kempat. Terakhir, Dalalah atau kesimpulan bahwa perbudakan ditolak sebab tidak sesuai dengan zamannya. Zaman ini tidak tepat lagi melakukan perbudakan.[7][7]
Shalat adalah kegiatan mempelajari dan mengkaji sejarah Muhammad, pemikiran ini tidak ditemukan dalam pemikir Islam manapun. Dalam hal ini akan timbul satu penilaian bahwa Shalat menjadi hanya memiliki makna yang sempit. Shalat hanya berarti proses mempelajari, memahami dan mengkaji sejarah rasulullah. Penolakan padanya didasarkan pada makna yang luas tentang shalat. Kritik padanya adalah jika ia diartikan sebagai sekedar mengkaji sejarah Muhammad, apakah itu juga bisa dilakukan dengan seminar-seminar atau diskusi tentang Muhammad. Sejauh (dalam catatan hariannya) ini Wahib belum membangun konsep atau argumen yang kuat tentang Shalat yang dimaksudnya.
Ahmad Wahib juga memberikan contoh tentang relevansi fiqh. Baginya fiqh yang ada selama ini adalah fiqh Muhammad dan hanya sesuai dengan konteks dan zaman Muhammad. Karenanya dengan tuntutan waktu yang ada saat sekarang ini perlu adanya fiqh baru.[8][8] Fikih Muhammad adalah hasil sekulerisasi Transformatif terhadap ajaran Tuhan dalam situasi zaman Muhamamad pada abad ke-14 Masehi.
Kontroversi Tak terhindarkan
            Setelah meninggal, catatan harian Ahmad Wahib dibukuka Djohan Efendi. Saat itu ada dua naskah yang bersamaan waktunya dengan Naskah Soe Hok Gie, aktifis pergerakan tahun 1965-an. Unik sebenarnya sebenarnya kedua tokoh ini, oleh karena memiliki idealism yang sama tentang Negara. Soe Hk Gie lebih sangat konsern dengan gerakan politik dalam perpektif sosialisme yang kuat. Sebuah catatan juga bahwa pada masa itu rupanya pemikiran sosialisme sedang sangat digandrungi. Soekarno dalam kepemimpinan dan politik Indonesia sangat nyata terpengaruh akan idiologi ini. Sebut saja konsepnya tentang Nasakom.
Pelajaran menarik dari Wahib ini adalah betapa ia telah menyuguhkan ide tentang pentingnya sejarah. Ide yang sesunguhnya sangat original bahakan para pengkaji sejarah belum ada yang secara khusus dan berani menyebut kitab suci sebagai teks historis. Bahwa yang dilakukan manusia adalah aktifitas historis. Ini menunjukan demikian intens Ahmad Wahib memandang pentingnya sejarah. Tugas manusia berikutnya dalam konteks historis itulah yang penting seperti mengambil makan dan mengamalkannya. Saat itu terjadi adalah saat dimana manusia dapat mengamalkan ajaran yang benar sesuai denan tuntutan zamannya masing-masing yang berbeda. Sejarah adalah sumber inspirasi yang dikemas dalam tiga istilah penting yaitu historical setting, ideation, direction dan comunication with good. Pada dasarnya sejarah Muhamamd adalah sumber inspirasi yang mengarahkan dan menggerakkan umat Islam dalam segala aktifitasnya. Pada akhirnya manusia diposisikan sebagai pengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah itu dan dijadikan dasar dalam bertindak atau berperilaku. Dengan cara pandang yang sama apa yang dilakukannya (kita) pada dasarnya adalah tindakan yang terikat ruang dan waktu.





[1][1] Hasil Penelitian saat kuliah di jurusan Sejarah UNJ
[2][2] Arif Budiman, Mahasiswa S2 Ilmu Agama Islam ICAS-Paramadina. Alamat Kp Sarang Bango Marunda Cilincing Jakarta Utara telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id
[3][3] Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, diterbitkan oleh LP3ES. Penerbitannya menimbulkan kontroversi.
[4][4] Ini adalah rangkuman hasil kuliah Hermeneutika, Dosen Hadi Kharisman
[5][5] Dulu Noercholish Madjid sangat benci dengan Amerika, setelah diundang untuk study banding, Noercholish berubah. Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad wahib. LP3ES. Jakarta.1996
[6][6] Tema ini juga disampaikan saat Diskusi Periphatetic Philosophy. Prof. Abdel Azis Abaci. Beliau mengatakan bahwa Jiwa yang makin sempurna akan mampu mengantarkan manusia pada Akal Pertama (The First Intellect).
[7][7] Lima tahap metode hermeneutika dalam kasus perbudakan ini diambil dalam Makalah Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Dalam “Diskusi SelasaSore” yang dipresentasikan oleh Tijani.
[8][8] Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Edisi Cetak Ulang yang diterbitkan atas Kerjasama dengan Freedom Institute. Jakarta:Pusataka LP3ES. 2003. Hal 58.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini