Kamis, 03 Juli 2014

KASIH TAK SEMPURNA

KASIH TAK SEMPURNA
(Hampir 20 Tahun Lamanya di Jakarta)
Oleh: Tirta Pawitra

Tangisnya pecah tiba-tiba. Tanpa prolog ia sampaikan semua yang dirasanya.”Mamamu sudah tak mencintai bapakmu. Ia tak pernah bisa menghargai bapak. Ia tak pernah bisa akur dengan bapak”. Mendengar itu,aku tak sanggup bicara apa-apa. Rasanya ini bukan kali pertama bapak sampaikan hal yang sama. Seingatku ini yang ketiga kalinya soal ini seetelah yang kedua kalinya saat ia ingin pulang kampong sendiri. Dan yang pertama kali saat masih di Kampung.

Mama ada di ruang tengah. Aku tidak mau berkomentar soal ungkapan bapak yang barusan. Aku tidak ingin terkesan memihak pada salah satu dari kedua orang tua yang cintaku tak akan pernah mati. Sebab mereka adalah segala-galanya bagiku, aku tidak mau hanya mencintai salah satu dari mereka berdua. Aku mencintai mereka berdua. Mereka adalah sumber inspirasi yang tak akan pernah mati. Jujur seluruh usaha penulisan ini juga aku lakukan dalam rangka membahagiaka mereka. Aku ingin mengabadikan kisah ini sebagai pelajaran bagi saya dan juga mudah-mudahan untuk orang lain.

Tangisnya makin menjadi-jadi saat Mama menyatakan. Lah Aku salah apa?.Mama ngga ngapa-ngapain. Koq ngomong kaya gitu. Bapak menambahinya dengan kalimat "Punya istri satu aja kaya gini susah bener dibenerin..." Mama kembali dengan jawaban. Benerin pa, emang aku salah apa. Kaya aku rusak ,sakit atau penyakitan lah dibenerin.

Aku yang ada di dekat diantara mereka. Hanya menghela nafas panjang. Aku sungguh tak kuasa melihat  keadaan seperti ini. Aku hanya bisa beristighfar atas kondisi yang terjadi pada kedua orang tuaku. Semestinya ini tidak terjadi. Semestinya mereka hidup bahagaia di hari tuanya.menikmati masa tua dengan menimang cucu-cucunya, memandikan cucunya yang masih kecil atau mengantar cucunya pergi ke sekolah sebab itu lebih membahagiakan daripada apa yang mereka rasakan saat ini. Atau ada yang lebih membahagiakan lagi adalah focus ibadah semisal shalat tarawih dan berzikir mendekatkan diri dengan tuhan dari pada lelah memikirkan usaha yang hingga saat ini belum memperlihatkan hasilnya.

Itu adalah pemicu awal mengapa Bapak inginmenangis dan pecah tertumpah apa yang dirasanya. Ibumu disini hutang lagi, katanya…

Aku adalah anak dari empat bersaudara dimana kesemua saudara-saudaraku kini telah berpisah karena telah berkeluarga. Mba Inayah tinggal di Tangerang dengan suaminya yang pekerja Pabrik ban di tangerang. Badriyah tinggal di kampong yang bekerja sebagai seorang perawat, dan terakhir adikku kini sudah lama menikah dan kini dikaruniai 3 anak. Tinggal aku yang belum menikah. Padahal usiaku sudah tak muda lagi. Hal ini yang membuatku juga berpikir apakah sebab mereka Bapak dan Ibuku sering berantem dikarenakan aku yang belum juga menentukan pilihan.  Jika benar ini jawaban bahwa dengan aku menikah mereka akan akaur. Aku akan lakukan. Tapi aku berkeyakinan sebabnya bukan ini.
Bapak jangan menangis, hentikan tangis itu. Hentikan jangan pikirkan hal-hal negative tentang Mama. Cobalah bersabar…?

"Sabar….??" Sudah lama kaya gini. Sudah lama mamamu tak mencintai bapak lagi. Musriah yang dulu beda dengan Musriah yang sekarang. Sangat jauh berbeda.
Bapak hanya minta dihargai. Dianggap suaminya. Aku ngga dianggap. Kalo kaya gini mendingan Mati saja. Astaghfirullah. Bapak jangan ngomong gitu. Istighfa Pak…!!!
Aku sungguh merasakan sesak yang teramat dalam. Aku tidak kuat dengan semua pertengkaran yang tak kelar-kelar ini. Sesungguhnya, aku bosan dengan situasi ini. Ini sungguh sangat membuatku lelah. Tolong hentikan semua ini. Inilah doaku pada Tuhan. Ya Allah ampunillah segala salahku ya Allah. Aku tidak ingin melihat mereka berdua berantem. Aku ingin melihat mereka akur sebagaiman dulu bapak yang akur dengan Mama.

Jika seorang suami istri tidak akur, maka keberkahan itu tertutup. Makanya benar jika usaha kita tidak pernah membuahkan hasil sebab di rumah ini, keluarga kita antara Mama dan bapakmu ini tidak pernah akur. Coba kamu lihat, kita udah usaha demikian keras tiap hari dari pagi samai Malam, tapi hasilnya tidak ada. Bahkan mamamu malah hutang.

Hutang apa sih pak…??? Tanya saja Mamamu. Mama di dalam dengan nada agak meninggi. Wong duit nggo berobat. Kakiku sakit. Ra isa digerakkna..Aku mau minta sama Kamu Bram tapi lagi ngga ada, makanya pinjem Bank Keliling (Rentenir).
Aku hanya bisa nyesak mendengar kata hutang dari Bapak. Memang aku dan bapak dan juga kami sekeluarga sangat sangat trauma dengan kata Hutang. Kuhadirkan mereka berdua di Jakarta ini adalah dalam rangka menghindarkan Mama dari jerat hutang. Tapi di tempat yang sengaja diisolasi agar mama tak hutang ternyata masih bisa Hutang??? Seketika rasa kecewa mendera. Sebuah pertanyaan besar disini muncul….

Untuk soal hutang Bapak tidak terlalu memusingkan, masa Bodoh tapi yang paling Bapak Pikirkan bagimana caranya bisa Akur…Terlalu sakit bapak harus menahan beban batin ini. Bapak merasa tidak dihormati sebagai seorang suami… Makan ngga pernah  nawarin boro-boro nyiapin, Minum aja ngga pernah nawarin apalagi nyediain..

Ngga jauh-jauh, nawarin makan aja ngga pernah. Yang ada malah tiap hari diliatin kalo makan sehari ini sudah sampai 4 dan lima kali. Dansererusnya. Seolah bapak yang ngabisin makananan. Bapak jadi merasa jadi beban di rumah ini. Jadi bapak mending mau pulang saja.

Aku langsung jawab dengan bertanya: Apa dengan pulang ke Jawa, keadaannya akan lebih baik. Apa tidak sebaliknya jika pulang maka akan babak belur, sebab akan banyak orang berdatangan menagih hutang???? Kuajukan pertanyaan dasar ini pada bapak dan rupanya pertanyaan itu membuatnya berpikir ulang dan “terpaksa” harus tetap dengan pilihan bertahan tinggal di kontrakan kecil ini dan bertahan hidup dengan dengan usha kecil ini.
Karenya aku pernah menulis status di FB isnya:

Jika hari ini engkau meminta ijin untuk secepatnya pulang, sungguh aku tak akan lagi menahanmu.. Aku tak akan memintamu tetap di tempat ini menunggu mekarnya bunga di taman yang belum usai pembaangnannya. Entah esok hari..

Jika hari ini engkau meminta ijin untuk pulang, kan kuantar engkau di terminal yang lama kita singgahi. itulah tempat perjanjian kita....

Jika hari ini engkau pergi meminta ijnku untuk pulang... Aku tak akan pernah menghalangi...


Tapi Plisss Ma… Bukan bertambah hutangnya. Aku ajak mama dan bapak serta buka usaha ini agar bisa sedikit-sedikit ditabung dan menutupi hutang yang ada di kampong. Setidaknya bisa bertahan hidup di Jakarta. Tapi saat ada niat kita untuk menutup hutang itu kenapa Mama malah masih saja berhutang, sesuatu yang menurut aku semestinay itu tidak dilakukan sebab kata hutang adalah kata yang paling dibenci…!!!!

Jawaban Mama utang itu untuk berobat tak sepenuhnya salah sebab memang beliau membutuhkan pengobatan. Lebih dari itu bukan saatnya lagi mereka harus berlelah-lelah bekerja. Justru saatnya mereka dimanjakan anak-anaknya. Sayang anaknya belum bisa membahagiakan meraka. Di saat yang sama aku justru sering kesal dan emosi dengan sikap orang tuaku sendiri. Aku sering kesal dengan mereka. Ekonomi tak bisa memenuhi yang terjadi malah aku sering kesal dengan mereka. Astagfirullah.

Lama aku tak bersama mereka layaknya seorang anak bersama orang tua. Lama aku terpisah dengan mereka. lama aku tak perhatian pada mereka.Tahun 1997, aku berangkat ke Jakarta. Aku tidak menyangka jika waktu itu hingga saat ini adalah waktu yang sangat lama. Lama aku tak bersama bapakku. Lama aku tak bersamaIbuku atau mamaku. Lama aku tak berada di dalam kebersamaan keluarga.
Pantas jika tahun lalu bapak pernah bilang, Bram koq beda banget, budi sangat emosian. Aku sendiri tak merasa mengalami perbubahan smosi yang membuatku disebut sangat emosian. Apakah dulu aku sangat lembut. Ramah dan baik pada orang tua. Apalak kini aku sangat berbeda. Benarkah aku yang kini adalah aku yang sangat pemarah. Bisa jadi benar sebab aku pernah bermasalah dengan salah seorang karyawan di tempatku kerja aku pernah membentaknya sangat keras. Aku juga hamper tak sadar bisa memnunculkan kata-kata kasar pada seornag karyawan itu.

Aku juga pernah berucap kasar pada wanita tepatnya bendaharaku saat aku menjadi kepala sekolah di sekolah Dasar Swasta di tempat aku tinggal ini. Padahal ia wanita yang sangat cantik dan baik tapi aku tega memarahinya. Apakah itu aku yang sesungguhnya.

1997,1998,1999, 2000, 2001, 2002, 2003, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014. Sengaja aku deretkan angka tahun ini, agar jelas betapa tak sebenatar aku tinggal di Jakarta. Hamper dua puluh tahun aku berpisah dengan orang tuaku. Bapak dan Ibuku.  Sungguh bukan waktu yang sebentar. Aku baru lama pisah ini saat Mama bilang ke pemilik ruko yang kini kami tempati. Ni anak satu-satunya yang sejak SMA, merantau ke Jakarta dan jarang pulang. Paling pulang setahun sekali. Saat itu sungguh aku baru mikir. Iya ya ternyata aku sudah sangat lama berpisah atau merantau di Jakarta. Rentang waktu yang panjang cukup member jarak yang cukup jauh untuk memahami sosok anaknya yang selama di Jakarta.

Di hadapan Mama dan Bapak tentu aku adalah anak yang sangat pendiam, penurut baik dan tidak pernah emosi. Aku sekarang sangat emosian. Dulu adiku yang emosian. Sekarang justru sangat baik dan sabar pada orang tua. Berbanding terbalik dengan aku. Aku sering tidak sabar menghadapi mereka. Suatu hari bapak pernah bilang pada adik, “kakamu beda sekali sekarang…!!! Kata yang membuatku tersentak, sama dengan perkataan Mama  tentang aku rernta sudah puluhan tahun di Jakarta. Saya kira lama di Jakarta dan perubahan sikap dan emosiku ada kaitannya. Dan selama ini aku tak sadar.

Sejak pertama kali lulus SMA hingga kini aku masih di Jakarta?? Hamir 20 tahun. Sejak 20 puluh Tahun itu pula Mama tak pernah lagi mengelus rambutku saat aku sakit. Membawakanku air the hangat, memasakkanku masakan kesukaanku. Dan selama itu pula Mama tidak pernah melihatku berubah. Sebab perubahan itu seperti lompatan besar yang membuat mereka sangat kaget.
Hampir 20 Tahun Lamanya…

Subhanallah, cukup lumayan lama juga. Selama itu semestinya pula seorang anak hadir untuk orang tuanya di segala situasi dan kondisi yang menghimpitnya. Selama itu aku tidak sepenuhnya disana. Aku tak sempurna menemani hari-harinya. Aku tidak hadir di saat mereka sedang menghadapi situasi dan hari-hari sulit itu. Terlebih menyangkut hubungan mereka berdua yang semestinay di Usia Senja ini makin mesra. Tapi yang terjadi sebaliknya….

Kini mereka ada bersamaku. Di tempat ini. Tempat yang sesungguhnya tak diingininya sebab tempat ini jauh dari tanah kelahirannya. Sewajarnya di usia tua inginkan menghabiskan waktunya di rumahnya. Di tanah kelahirannya. Di kampong halamnnya. Tapi mereka kini ada disini. Hanya sesaat mengasingkanhya dari hiruk pikuk yang menyesak jiwanya. Dan apakah aku akan menyia-nyiakan mereka. Ngga…!!! Itu tidak akan terjadi tidak akan terjadi…...;  Aku ingin menyempurnakan dan menutup bolong-bolong waktu yang semestinya aku ada untuk mereka. Aku ingin menutupnya. Aku ingin membantunya keluardari kemelut Jiwa. Aku ingin berusaha keras membayar hutang-hutangnya…

Aku yang salah selama.. ini..
Mama Bapa,, Maafkan anakmu yang selama ini tak bisa mencintaimu dengan Sempurna…


Marunda di Ujung Senja, 29 Juni 2014



Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini