REFLEKSI PENDIDIKAN INDONESIA
(Pendidikan Terbaik Untuk Negeri)
Oleh: Arif Budiman[1]
Dalam peringatan hari pendidikan kali ini, ada dua tema
refleksi yang antara keduanya saling berkaitan yaitu pendidikan itu sendiri dan
perjalanan kebangsaan. Perjalanan kita sebagai sebuah bangsa akhir-akhir ini telah
menggerus ruang pemikiran kita. Panggung politik dan kebangsaan diwarnai oleh
beragam pertarungan tak berkesudahan. Korupsi dan penegakan hukum, demokrasi
menjadi tema sentral pertarungan elite politik.
Refleksi pertama berujud keprihatinan terhadap realitas
pendidikan yang tak kunjung menuju perbaikan. Pendidikan Indonesia terpuruk
setidaknya terlihat dari dekadensi moral dan tidak mengertinya proses
pembelajaran di sekolah yang tak kunjung beranjak pada paradigma pembangunan
karakter. Kenyatannya pendidikan hanya menyisakan kerusakan moral dan hanya
berorientasi pada sisi material dan cenderung mengabaikan unsur moral atau budi
pekerti. Di lapangan pelaksanaan UN dalam kenyataannya tak mampu menuju
cita-cita kebangsaan itu tapi justru sebaliknya sebab praktek kecurangan dan
ada unsur pemaksaan sistem yang tidak memahami realitas di lapangan.
Keprihatinan pendidikan terkait dengan nasib bangsa
yang sesungguhnya sangat memilukan. Realitas
negeri yang tak kunjung beranjak menjadi negara besar sebagaimana pada masa
jaya dulu saat Sriwijaya dan Majapahit. Mengharap kejayaan sebagaimana kejayaan
tempo dulu yaitu masa Majapahit atau Sriwijaya mungkin terlampau tinggi.
Gapaian agar dihormati negara lain saja, rasanya sangat sulit seperti kata
sebuah pepatah lama api jauh dari panggang. Berada di depan Malaysia pun terasa
sangat sulit sementara kita masih saja asyik dengan nostalgia bahwa Malaysia
dulu bergur pada kita. Negara ini dipermalukan, dihina bahkan dilecehkan negara
lain. Dan kita masih diam dan tak beranjak dari kehinanaan itu. Kita
mengharapkan negara ini dan bangsa ini menjadi Negara dan bangsa yang
bermartabat. Ini keingingnan kita, bangsa yang disegani, berdaulat. Kuat dan
kokoh.
Dan semua fenomena keprihatinan nasib bangsa ini
terjadi di hampir setiap sisi kehidupan berbangsa. Dari sumberdaya alam yang
dikuasai bangsa lain, wilayah teritorial yang diobok-obok hingga bidang olah
raga yang nyaris tak pernah berjaya di atas bangsa lain. Setidaknya kekalahan
dramatis Timnas Indonesia oleh Timnas Malaysia, tak jua menunjukan kejayaan itu.
Sesudahnya perseteruan di kepengurusan PSSI telah menyisakan polemik.
Di sisi yang lain, negeri yang kaya raya “Gemah Ripah Loh Jinawi” ini masih dihuni oleh ribuan orang-orang miskin yang jauh
dari layak. Sementara di sisi orang-orang miskin itu banyak orang-orang yang
berlebihan menyajikan pemandangan ketimpangan sosial yang tajam. Pengiriman TKW
ke negara lain sesungguhny adalah Indikator bahwa bangsa ini masih sangat
rendah kualitas Sumber Daya manusianya. Sebut saja kasus TKI Indonesia di
Malaysia dan Indonesia sungguh sangat mencoreng muka bangsa Indnesia tapi
bangsa ini masih santai-santai saja dan tetap mengirim wanita-wanita yang tak
lain adalah ibu bangsa untuk mengalami nasib yang terus dihina dan direndahkan.
Jika bekerja sebagai tenaga ahli tak masalah tapi ini bekerja sebagai tenaga
kasar seperti pembantu rumah tangga atau sejenisnya. Sungguh itu sebuah
kenyataan yang sangat Ironi. Sebut saja kegetiran itu semua dengan Ironi
Kebangsaan.
Sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dari
keterpurukannya. Sudah saatnya lahir pemimpin pemimpin dan generasi tangguh
yang amanah, cerdas dan bertanggung jawab kebangsaaan. Karenanya perjuangan
melalui pendidikan menjadi mutlak dilakukan. Tapi jika pendidikan justru
membusukkan dirinya dan pada akhirnya hanya mmpu mencetak manusia-manusia yang
justru akan merusak negeri ini, jelas ini sangat kontraproduktif dengan tujuan
pendidikan sebagai penyiap generasi untuk melanjutkan estapet kebangsaan
(baca:kepemimpinan). Bagaimana jika calon-calon penerus bangsa ini sejak dini
telah diajak atau diajari ketidakjujuran. Apakah pendidikan masih bisa
diharapkan?
Jalan lain
adalah mekanisme kebangsaan atau jalur kenegaraan dimana dari sana kita
berharap akan lahir pemimpin berwibawa yang tegas sebagaimana Soekarno yang
keras terhadap negara lain (baca: Malaysia) dan berbicara lantang tentang
kehormatan bangsanya. Semua unsur kebangsaan sangat merindui pemimpin kuat dan
disegani. Pemimpin cerdas yang bisa membaca kondisi rakyatnya. Pemimpin yang
peka dengan suara hati rakyatnya. Dan penguatan kepemimpinan yang kuat hanya
terjadi lewat pendidikan terbaik. Mudah-mudahan usaha pendidikan dan kebangsaan
ini dapat memberikan kontribusi berharga untuk kejayaan Indonesia
[1]
[1]
Arif Budiman, Guru MAN 21 Jakarta. Alamat Rorotan Cilincing Jakarta Utara. Telp.
02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar