KECURANGAN UN:
(Pemerintah Tutup
Mata)
Oleh: Arif Budiman[1]
Sampai kapan sandiwara bernama UN ini akan
berakhir. Aktor-aktor sengaja dimainkan dengan peran-peran yang bertentangan
dengan kemampuannya (baca: nuraninya). Anak yang diminta hanya menjadi boneka,
guru yang dipaksa menjadi penggembira system dan ditakut-takuti. Tiga tahun
lamanya para guru mencoba mengembangkan potensi anak baik sisi pengetahuan (kognitif), Sikap (Afektif), dan ketrampilannya (Psikomotor).
Tantangan deras berupa terpaan budaya barat yang meluluh-lantakan pondasi dan
keutuhan budaya saja belum mampu kita atasi, saat ini kita malah disibukkan
dengan ketak tahuan diri dari proses evaluasi akhir dengan nilai yang dipatok
melampaui target atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Seolah anak kita telah mendapati anak kita
cerdas, sehingga yakin dengan target-target itu. Atau sebenarnya pemerintah
yang sedang dirundung mimpi bisa menjadi bangsa yang maju bidang pendidikannya
padahal nilai tinggi yang diperolah selama ini tidak melalui proses yang
semestinya. Masih banyak praktek kecurangan dalam praktek Ujian Nasional itu.
Saya bahasakan istilah kecurangan itu sebagai bentuk keterpaksaaan sistem yang dibuat pemerintah. Tulisan
ini lebih berbentuk pembelaan terhadap para guru yang seolah dipaksa ditodong
dibawah kokangan “senjata keterpaksaan” untuk mewujudkan mimpi nilai tinggi
tanpa melihat realitas pelaksanaan pendidikan di lapangan yang sebenarnya belum
siap dengan Ujian Nasioanal. Prakteknya
yang ada stake holder dalam UN
menjadi pemain “drama kebohongan” dan tak ada orientasi positif.
JIka asmsi kecurangan ini terus berlangung atau
di kemudian hari atau saat ujian sudah bisa diprediksiakan ada “bocoran”, maka
ini akan melemahkan semangat guru dalam memberikan materi. Artinya saat guru
tahu bahwa nanti saat UN akan ada kebocoran sebab kenyataannya hamper tiap
tahun kita menemukan fakta-fakta itu dan selama ini terkesan dibiarkan, maka
tak ada motivasi mengajar pada guru. Dengan alasan mereka nanti anak akan
mendapat bantuan dari kebocoran itu. Sesudahnya guru telah menjadi tiada
berwibawa saat mengajar. Lebih jauh pembelajaran kehilangan wibawanya. Martabat
guru digadaikan dengan tuntutan pengejaran nilai atau target UN. Lebih jauh
lagi integritas moral bangsa ini dipertanyakan.
Bagi
anak ini memberi dampak yang sangat luar biasa tentang kebohongan besar yang
akan tersimpan di dalam otak mereka secara personal.
Tidak berlebihan jika akar kebobrokan praktek
korupsi demikian menggurita di negeri ini sebab pendidikan sebagai basis
pembentukan karakter dicemari. Anak-anak kita secara tidak langsung seolah
sedang diajarkan praktek-praktek kecurangan ini. Tidakkah kita sadar bahwa
sesungguhnya anak-anak kita sedang merekam episode pembelajaran ini hingga
dewasa. Ujungya ia (anak-anak kita) akan mengatakan bahwa guru saja melakukan
kecurangan apalagi kita. Apa yang terjadi jika anak-anak yang melihat rekaman
itu duduk dalam pemerintah..? Mampukah mereka amanah padahal secara tidak
langsung pembelajaran tentang ketidak jujuran itu tersaji di depan matanya. Sungguh
terlalu mahal jika kita mengorbankan institusi pendidikan, sebagai lembaga
terhormat ini dikotori oleh praktek-praktek kecurangan yang sesunguhnya
pemerintah tahu tentang keadaan dan
situasi ini.
Ketahuan atau kenyataan bahwa pemerintah tahu
pun tidak bisa disikapi oleh pemerintah dengan pengawalan pada paket soal UN
yang digiring dengan pengamanan yang super ketat. Itu bukan solusi. Dan memang
bukan disana letak persoalan yang sebenarnya. Persolalan UN yang sebenarnya
adalah bagaimana Pemerintah menyadari bahwa kebijakan Ujian Nasional ini tidak
semestinya dipaksakan. Berikut target-target yang sangat menekan siswa atau
anak didik. Kembalikan saja proses pendidikan kita pada pendidikan yang utuh
yang memahami keberhasilan pembelajaran pada keseluruhan proses pembelajaran
yang telah dijalani anak.
Saya menyoroti Pemerintah (baca: Dinas Pendidikan) sebab kebijakan pendidikan ada di tangan
pemerintah. Penerapan atau kebijakan Kurikulum sangat bergantung pada kebijakan
pemerintah. Dalam kasus UN selama ini,
pemerintah terkesan tutup mulut, mata dan juga telinga. Merasa bangga
bahwa UN murni disertai penjagaan ketat terkesan berlebihan sebab dalam
kenyataannya praktek kebocoran terjadi di depan matanya. Apakah pemerintah akan
menunggu wistoblower-wistoblower sebagaimana Gayus Tambunan dalam dunia pajak
atau Nazarudin dalam dunia Politik yang dengan begitu pemerintah akan menuding
puihak tertentu dengan hukuman yang jelas ini sangat otoriter atau bentuk
kezaliman yang dipertontonkan. Kesalahan itu diukur saat telah ada yang
terbukti bersalah.
Apakah sebuah kecurangan atau kesalahan harus
menunggu ada orang yang tergelincir sebagaimana Gayus?, baru kemudian kita akan mengatakan bahwa ada kesalahan atau
kecurangan. Apa kecurangan itu akan dianggap curang setelah ada pelaku
kecurangan tertangkap kamera wartawan. Sementara yang tidak tertangkap kamera
itu bukan kecurangan.? Di Negeri ini ukuran kesalahan diukur dengan
ukuran-ukuran yang sangat fisikal. Dalam kasus ini saya ingin mengatakan bahwa
tahu itu tidak hanya bisa melihat secara fisik, tahu juga bisa dirasakan. Walau
dalam aksus UN secara fisik pun sudah sangat jelas dan nyata adanya praktek
kecurangan itu.
Keberhasilan UN sebelumnya telah menjadikan
pemerintah merasa bangga padahal masih banyak praktek kecurangan. Dan degan
kecurangan itu, pemerintah bukan mengevaluasi malah menambah atau meningkatkan
target capaian Ujian Nasional yang semakin memberatkan guru dan juga anak. Pada
ujungnya tuntutan ini menjadi lingkaran setan dimana sekolah dituntut Dinas
pendidikan di daerahnya agar nilai UN dengan hasil baik. Jika buruk maka akan
berakibat kemunduran kinerja. Dinas kota juga mengalami hal yang sama mendapat
Tuntutan dengan hasil UN yang harus tinggi.
Dulu tak ada bimbel sebagaimana kondisi saat
ini. Kelulusan tidak semata diukur dari hasil UN tapi pada faktor lain. Dulu
Ujian kita adalah Ujian Murni yang menggambarkan hasil yang sebenar-benarnya
anak kita. Ujian yang tanpa kebohongan Ujian yang mengedepankan kejujuran
sebagai ukuran. Maka dari sanalah sesungguhnya generasi yang kita harapkan.
Jika hari ini pemerintah dan dalam hal ini gur yang jadi korban hanya karena
ingin menyelamatkan anak kemudian harus melakukan kebohongan (keterpaksanaan
yang dipaksanaakan pemerintah). Guru harus berbohong, ini akan memunculkan image di anak kita bahwa guru saja mengajarkan
ketidak jujuran.
Tidak usah pengawalan ketat, tidak usah
soal-soal Ujian dibuat dengan paket-paket yang bermacam-macam itu. Cukup unik sebenarnya
dengan paket penyelenggaraan yang seolah sudah tak ada lagi kejujuran di negeri
ini. Sebetulnya siapa yang tidak jujur? Betapa besar biaya yang harus
dikeluarkan pemerintah dengan pembuatan soal yang tahun ini hingga lima paket.
Berapa energi yang harus dikeluarkan jika dalam kenyataannya kebocoran itu
masih saja terjadi. Dan coba tanyakan dalam diri pemerintah sendiri. Jangan dan
tidak harus menunggu Wistho Blower
sebab ukuran benar salah bukan karena ada atau tidak adanya bukti sebagaimana
ukuran dalam hokum kita. Apakah juga pemerintah akan tetap mengatakan bahwa UN
tahun ini lancar jarang kecurangan. Padahal sesungguhnya pemerintah juga tahu
apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Jangan ada dusta diantara kita. Jangan ada lagi
kebohongan yang sama artinya memberikan pendidikan buruk buat anak-anak kita.
Hentikan semua kebohongan ini. Cara seperti ini justru akan menyebabkan bangsa
ini semamkin terpuruk. Kita menjadi manusia yang tidak pernah belajar dari
kekalahan atau ketidak lulusan atau kegagalan. Biarkan semua belajar dengan
proses yang sebenarnya, sejujurnya dan sedanya sebab itu akan lebih
mendewasakan.
Secara Materi, pemerintah juga sememestinya
meninjau kualitas materi Sekolah atau materi UN. Jangan memberi beban yang
berat yang sebenarnya anak-anak kita tidak mampu atau tidak sesuai dengan tugas
perkembangannya. Tidak sama kemampuan anak usia SMA dengan Usia mahasiswa. Kasus di lapangan betapa soal UN tertentu
memiliki bobot kesulitan yang sangat tinggi setara dengan materi-materi di
tingkat atau level mahasiswa.
Jika
kita memberikan keteladan yang benar maka anak akan melakukan kejujuran sesuai
apa yang diteladankan kita paanya. Karenanya pemerintah jangan tutup mata, dan
jangan paksakan guru dan anak kita dengan beban pembelajaran yang berat. Ingat
UN adalah kompetensi Kognitif sementara aspek pembelajaran yang semestinya kita
tuju dan sangat penting buat bangsa ini
adalah pembentukan karakter. Seperti menanamkan kejujuran, Nilai ketuhanan dan
Kemanusiaan. Apa jadinya jika dalam kenyataanya, pendidikan yang diharapkan
justru malah “dipaksa” berperan dengan nilai-nilai diluar dirinya. Saya katakan
dipaksa sebab sesungguhnya pemerintah tahu adanya kecurangan yang ada di
lapangan. Membiarkan itu terjadi sama saja membiarkan proses kebohongan
berlangsung terus. Bukan pula tindakan represif yang mengharuskan guru masuk
sell dan dipermalukan. Padahal inti persoalannya bukan pada kecurangan guru
melainkan tapi lebih pada kedewasaan pemerintah menentukan kebijakan yang lebih
mausiawi dalam memandang adanya UN.
Guru dan anak menjadi korban dan dikorbankan
demi ambisi tak berdasar. Ambisi yang tidak sesuai dengan kenyataan sebab
pemerintah tidak memahami esensi pembelajaran yang sesungguhnya yaitu bagaimana
memanusiakan manusia.
[1] Arif Budiman, Aktifis CENTER
(Komunitas Guru Untuk Pembentukan Karakter Bangsa). Guru Sejarah MAN 21
Jakarta. Alamat Jl Sarang bango No 2 Cilincing Marunda Jakarta Utara e-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id. Telp 02141872917.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar