NARASI FILSAFAT ISLAM
(Argumentasi Para
Filosof tentang Pembelaan terhadap Tuhan)
Sebetulnya judul ini terkesan berlebihan sebab mengesankan Tuhan yang
lemah alias tak mampu menunjukkan eksistensinya sehingga karenanya perlu
dibela. Sesungguhnya bukan karena hal tersebut sebab Tuhan berada diluar
hal-hal yang kita pikirkan. Pondasi awalnya adalah Tuhan sebagai sebuah
kesadaran lama dan sangat primordial dalam pemikiran manusia adalah entitas
nyata dan riil dalam diri manusia tapi mengapa dalam kenyataannya pengingkaran
terhadapnya sangat kuat. Atas dasar kenyataan ini, maka jawaban dan argumentasi
pembelaan terhadap hal ini akan senantiasa mewarnai sejarah peradaban Islam.
Saya ingin membagi kecenderungan pemikiran Islam tentang Tuhan.
Pertama Masa Islam, Masa Islam Modern, dan Masa Islam Kontemporer.
Masa Islam Awal
Masa ini terjadi adopsi pemikiran Filsafat dengan
munculnya tokoh-tokoh semisal Ibnu Sina. Zaman the dark age di eropa (abad 5
hingga abad 15), adalah masa gemilang filsafat Islam sebab di masa ini mulai
bermunculan argumentasi-argumentasi filosofis tentang Tuhan semisal argumentasi
yang dibangun Ibnu Sina yang sangat menekankan aspek logika. Filosophinya
Suhrawardi yang sangat iluminatif. Itu berlangsung antara tahun
Embrio Filsafat Islam, lahir saat Islam dihadapkan oleh situasi
rasionalitas sebagai argumentasi. Tampaknya sebuan pemikiran filsafat barat tak
mudah diabaikan. Dan mengharuskan penggunaan rasio sebagi alat untuk menakar
kebenaran, saat itu adalah saat dimana hampir semu aspek harus didasarkan pada
aspek logika. Sezaman dengan itu lahirlah ilmu pengetahuan modern yang dimotori
peradaban barat.
Kegelisahan para pemikir Islam sesungguhnya adalah hal yang sama
dialami oleh semua pemikir Islam. Sebut saja Ibnu Sina, adalah pemiiran
filosophis tentang ketuhanan yang saat itu demikian terabaikan saat manusia
sangat tergandrungi oleh pemikiran lain yang justru menjauhkan manusia dari Tuhannya.
Masa Islam”
Modern”
Perkembangan Filsafat Pembelaan pada Tuhan ini kurang
diperhatikan Tokoh-tokohnya pun terabaikan dari pentas pemikiran dan ilmu
pengetahuan. Sebab pada masa ini, dunia sedang sangat digandrungi ilmu
pengetahuan yang positivistic-empiris, lalu dari sinilah lahir filsafat dan
metode ilmiah yang mendasarkan teorinya pada aspek materialism. Dengan
berdirinya kerajaan Safawi pada tahun 905 H/1499 M oleh Syah Ismail, mengawali
warna mistis dan filosofis pada penguasa-penguasa Persia dari golongan Syiah.
Perkembangan pemikiran pada zaman Safawi
ini mempunyai karakteristik yang khas, yang disebut sebagai mazhab Isfahan.
Mazhab ini menampung perkembangan Peripatetik (Masya’i), Illuminasionis
(Isyraqi), Gnostik (‘Irfani) dan Teologis (Kalam). Aliran-aliran ini berkembang
pesat selama empat abad sebelum Mulla Shadra, yang merupakan jalan buat
sintesis utama yang dilakukan oleh Mulla Shadra .Aliran filsafat yang digagas
oleh Mulla Shadra ini biasa disebut Teosofi Transenden (al- hikmah al-muta’aliyah).
Meskipun sempat terlambat
dikenal dan dipahami, sehingga timbul keyakinan bahwa filsafat Islam
telah mati setelah Ibn Rusyd, saat ini telah diterima secara luas bahwa Hikmah
adalah suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai
mazhab filosofis sebelumnya. Sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan
inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan
filsafatnya tidak hanya sebagai bukti masih-hidup dan dinamisnya filsafat Islam
pasca Ibn Rusyd, tetapi juga menunjukkan bahwa-lebih dari Paripateisme dan
Israqiyah-filsafat Hikmah layak dsebut filsafat Islam yang sesungguhnya.
Sejarah peradaban senantiasa lahir dari pondasi ketuhanan, maka
cara dan tradisi apapun hampir selalu dikaitkan dengan pendasarannya pada aspek
ketuhanan. Upacara dalam kajian antropologi sangat penuh dengan nuansa
keyakinan pada sesuatu di luar dirinya. Ini yang saya maksud sebagai aspek
ketuhanan.
Pengingkaran pada aspek ketuhanan dengan sendirinya akan
mendapatkan perlawanan dengan sendirinya. Seperti filsafat anti tuhan yang
beberapa saat lalu melegenda, kini terbukti mulai ditinggal pengikutnya. (baca:
Hukum Materialismenya Marx).
Ibnu Sina, saya kira adalah pemikir yang
juga gelisan pada aspek ketuhanan yang terbaikan. Ia ingin menjawab persoalan
ini dengan membangun filsafat peripatetiknya. Keunggulan
pemikiran Ibnu Sina dapat dilihat dalam karya-karya besar yang telah
diciptakannya. Dalam waktu yang relative sangat pendek Ibnu Sina telah
melahirkan banyak karya-karya yang sangat fundamental. Asyifa adalah satu
contoh karya terbesarnya. Bahkan bias dikatakan dari sekian banyak karyanya,
Asyifa merupakan karya yang paling representatif[1].
Diantara hal menarik dan baharu dan sudah semestinya dilakukan pengembangan
dari karya Ibnu Sina adalah bagaimana filosof muslim tertarik dan
mengembangakan pemikiran Ibnu Sina. Sebab kenyataan yang ada masih jarang didapati
penelitian yang concern dengan pemikiran Ibnu Sina.
Dasar pemikiran yang kuat, adalah argumen berdasar
dalam rangkaian pemikirannnya. Jadi bukan sembarang gagasan yang kosong tanpa
sebuah perenungan dan dasar ilmiah. Sebagai contoh saat orang sedang berpikir
tentang hewan, maka ada dasar dan argument yang kuat dan pemaparan yang kokh
tentang argument tentang dunia binatang, tumbuhan atauu bidang yang lain. Saat
ia berbicara tentang konsep Tuhan atau dalam hal teologi, ia pun berusah
amembangun pemikirannya denga dasar argument yang dapat dipertanggungjawabkan
sebagaimana para pendahuluny aketika berbicara tentang Tuhan, Alam maupun
Manusia. Tiga tema ini adalah tema penting dalam pembahasan filsafat.
Harus diakui pengaruh pemikiran pendahulunya sangat kuat
berpengaruh. Tokoh semisal Amidi, Sijistani sangat kuat mempengaruhi prinsip
dia tentang bagaimana mensikapi perbedaan pandangan antara Agama dan Filsafat.
Sijistani adalah satu yang mempengaruhi pemikirannya tentang rasionalisme yang
sangat kuat. Sehingga dalam banyak literature dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah
tokoh yang sangat rasionalis diantara filosof Islam yang ada. Setidaknya
saat-saat yang lampau ada beberapa pemikir atau filosof yang mendasarkan
pemikirannya pada dasar-dasar intuitif semisal Mulla Shadra atau pemikir muslim
lainnya. Tapi Ibnu Sina sangat-sangat rasional.
Al-Ghazali
Serangan Al
Ghazali memperlihatkan aspek yang sangat mendasar tentang argumentasi
ketuhanan. Sesudahnya Filsafat sempat ditinggalkan pengkajinya. Tokoh ini lebih
dipahami sebagai pemkir Islam yang mengembangkan ilmu tasawuf dibandingkan
aspek pemikirannya. Namun kegelisahan dan kekecewaannya pada filsafat sedikit
banyak menelurkan banyak uraian dan pendapatnya tentang filsafat.
Ibnu Rusyd, berusaha memberikan jawaban balik atas karya Tahafut
Al Falasifah. Walaupun argumentasi balik ini kurang berhasil menkaunter gagasan
Al Ghazali yang sangat menohok. Pada gilirannya pmebelaan terhadap Tuhan
(Filsafat Islam) sempat mengalami kefakuman, Terutama di kalangan Sunny,
tradisi filosofis telah mengalami keredupan. Sementara pembelaan terhadap
Tuhan, secara konsisten masih dilakukan oleh Muslim Syi’I, walaupun di
tempatnya penentangan terhadap filsafat ini masih sangat gencar terjadi. Masih
ada dan telah lahir mazhab baru yang konsisten dengan pembelaan terhadap Tuhan
(Filsafat Islam ini).
Hikmah Al Mutaaliyah
Adalah konsep
yang sangat nyata. Filsafat ini berusaha tetap konsisten pada filosophi
ontologism yang menjadikan pembahasan tentang wujud sebagai dasar utama untuk
membuktikan keberadaan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar