JALALUDIN RUMI DAN INILAH YANG SESUNGUHNYA
Oleh: Arif Budiman[1]
Catatan ini adalah sepercik pemikiran yang dibuat untuk menunjukkan tentang apa yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Catatan ini menjelaskan dengan sangat gamblang bagaimana jalan-jalan untuk memahami makna hidup yang sesungguhnya. Buku ini adalah karya Jalaludin Rumi Sufi terbesar dunia yang memiliki pengaruh sangat besar dalamdunia sastra dan pemikiran para sufi. Buku ini sesungguhnya merupan catatan yang ditulis oleh murid-murid Rumi saat mengikuti sesi pembelajaran di kelas.
Jalaludin Rumi pada awalnya adalah seorang pencari kebenaran lewat jalan-jalan intelektual yaitu lewat buku-buku literasi ilmiah yang bertumpuk. Ia juga belajar dalam majelis-majelis ilmu. Dalam perjalanannnya menuju pencarain itu ia bertemu dengan seorang yang secara tiba-tiba masuk dalam ruang pembelajarannya dan membakar buku-buku Rumi yang dipakai dalam pembelajaran itu. Tentu saja Rumi sangat kaget dengan kelakuan orang yang baru datang di majelisnya itu. Inilah sesungguhnya peristiwa mahapenting dalam spiritualitas Rumi tentang bagaimana cara berpikirnya tentang kehidupan mengalami perubahan.
Kejadian itu adalah awal baginya untuk memaknai apa yang sesungguhnya. Bahwa apa yang ada dalam kehidupan ini sesungguhnya adalah pencarian dan upaya untuk menggapai cinta yang hakiki. Sosok laki-laki yang datang dalam majelis Rumi saat itu adalah Syamsudin Tabrizi yang telah mengantarkan seorang Rumi menjadi sufi besar di masanya. Kedatangannya yang tiba-tiba telah menyentak alam berpikirnya bahwa tiada yang utama dalam pencarian hidup ini kecuali kedekatan pada Tuhan. Itulah makna pencarian yang sebenarnya. Sejak pertemuan dengan Tabrizi itulah, Rumi mulai menekuni dunia sufi dalam pengibadahan abadi dan pencarian hakiki pada Tuhan. Kesedihannya adalah ketika Tuhan jauh dari hidupnya.
Catatan ini memaparkan dengan sangat elegan tentang perlilaku kita dalam kehidupan. Apakah benar apa yang kita lakukan menuju pada gapaian yang abadi? atau hanya mengikuti pandangan sesaat atau hawa nafsu semata. Atau kesombongan dan kebutaan intelektual dan melupakan hakekat yang sebenarnya dari perjalanan hidup yang sebenarnya. Untaian pemikiran ini adalah catatan yang dibuat oleh murid-murid Rumi saat mendengarkan kuliahnya di sesi pembelajaran yang sangat agung dan suasana penuh kecintaan pada Tuhan. Beragam wacana dimunculkan berbagai puisi dalam banyak tema dicipta dalam kalimat-kalimat yang mengalir bak air gunung yang mengalirkan kesejukan,dimana suara gemericik dari percik air itu sangat menentramkan Jiwa, percik air yang mengenai muka kita membuat kita bercahaya dalam cahaya Tuhan. Itulah akhir dari pencarian dan tujuan utama kedamaian.
Tidak tertulis dengan pasti kapan kuliah-kuliah Rumi disampaikan, sebab bukan itu fakta utama yang ingin dimunculkan. Apalagi hari dan jam berapa kalimat-kalimat indahnya meluncur di tengah murid-muridnya yang sangat membanggainya. Ia menuturkan dengan kalimat langsung disusun atau dalam proses pemikiran panjang sebab kalimat-kalimatnya sudah terbangun dan tercipta lewat intusisi yang lama bahwa kehidupan adalah guru yang mengajarkan konseptualisasi dan menjadikan kata-katanya pun penuh makna lagi sulit dibantah sebab ia adalah kebenaran penenial, kebenaran yang dating dari Tuhan, itulah sebenar-benarnya kebenaran.
Wacana pemikiran Rumi yang dijelaskan dalam bahasa-bahasa kehidupan dan persentuhannya dengan aspek-aspek kehidupan itu sendiri. Wacana-wacana itu adalah pengalaman yang dikuatkan oleh petuah teman sejatinya, Syamsuddin Tabrizi yang menguatkan gagagsan dan ide-idenya tentang Tuhan, manusia, kekuasaan dan moral. Ia banyak menggunakan ungkapan seperti angin, dahan pohon, ombak, juga analogi raja dalam menjalankan kepemimpinannya. Beliau juga banyak menyajikan ayat Quran dan juga hadits tentang kesejatian dan keutuhan agama dalam menjawab masalah kehidupan. Sungguh karya yang sangat inspiratif dan menggugah alam kesadaran kita tentang betapa apa yang ada disekitar kita belum tentu seperti apa yang kita lihat dan rasakan itu. Apa yang sesungguhnya adalah yang sejati, yang ultimate dan utama.
Tuhan adalah gagasan tertinggi dari semua pemikiran. Semua dibingkai dalam Konsep dan pemaknaan pada Tuhan. Tuhan adalah tujuan utama. Tujuan akhir dari semua pengembaraan Jiwa. Puncak kedamaian dan akhir dari semua cerita. Saat itu terjadi manusia, maka manusia sesungguhnya telah sampai pada Ultimate Goal (Tujuan Sempurna).
Beragam wacana pemikiran Rumi ini sangat menggugah dan menyentuh hingga dasar Jiwa, Tema yang sama dapat kita baca pada bab lain ketika Rumi dengan sangat baik mengungkapkan pengalaman spiritualnya. Banyak uraiannnya memunculkan Ide tentang Negara atau kerajaan. Ia menggunakan tokoh Amir untuk menggambarkan tipikal kepeimpinan. Rumi ingin menunjukkan dengan penuh kesadaran bahwa mana yang lebih penting dari semua persoalan yang ada. Rumy pernah membiarkan Amir atau sang Raja dengan segala kesibukannya dan lupa Akhirat. Dengan cara ini Rumy ingin menunjukan bahwa rakyat dan kekuasaan tidak lebih Indah dari urusan unuk mendekatkan diri pada kebenaran lewat jalan-jalan Tuhan. Rumi hanya mau menemui sang Amir apabila sang Amir telah benar-benar m,enyelesaikan semua urusannya.
Masih tentang Amir, bagaimana Rumi menjadi penasehat dalam hal spiritual. Bagaiman Rumi memadukan logika atau konsep kekuasaan Tuhan dengan konsep kekuasaan Raja atau Amir. Saat sang raja demikian khwatir dengan dengan waktunya yang ter-reduksi oleh urusannya, Rumi memberikan jawaban yang sangat menyejukkan. Sebab selama apa yang dilakukan Amir dalam rangka pelayanan pada Umat dan itu sepenuhnya dalam bingkai pengibadahan Tuhan, maka itu termasuk Ibadah. Sungguh makna ini sangat lebih mendalam dari semua makna kita saat memaknai kehidupan sering terjebak pada Rutinitas yang menurut kita bukan Ibadah, padahal Ibadah pada Tuhan sangat universal dan mencakup semua wilayah.[2]
Perumpamaan Rumi tentang kebenaran yang sangat dikagumi dan sangat ditekankannya adalah perumpamaan lewat fenomena-fenomena alam seperti daun atau pepohonan. Kita dapat melihat bagaimana Rumi memandang kerendah hataian Rasulullah sebagai tauladan kebenaran dengan menggambarkannya seperti sebuah pohon yang tatkala batangnya menunduk maka batang-batang itu tertahan oleh adanya dahan-dahan itu. Itulah kerendah hatian yang sempurna yang ditunjukan oleh Rasulullah. Artinya Rasulullah adalah taudalan yang menjadi penyangga semua kebaikan yang ada di muka bumi. Subhanallah.[3]
Rumi, sesungguhnya adalah guru Cinta yang sebenarnya dari semua guru atau pujangga Cinta di sepanjang Zaman. Ia sangat elegan menerjemahkan makna Cinta. Terkhusus dalam hal ini adalah cinta pada seorang gadis yang dalam pandangannya adalah bukan terletak pada keindahan fisik namun lebih tinggi dari fisik yang Indah dan cantik itu adalah kecintaan pada apa yang ada dalam diri sebenar-benarnya yaitu kecantikan Jiwa. Rumi menempatkan cinta sejatinya pada Tuhan dan itulah tujuan yang jelas. Bukan orang barat yang tidak mengerti kemana Tujuan akhir dari filsafat yang dibangunnya. Bukan orang barat yang mengatakan bahwa semua tindakanya berasal dari dirinya dan kehendaknya. Tuhan diabaikan, Tuhan tidak punya tempat. Tapi bagi Rumi kalaupun Rumi menggunakan konsep barat tetang evolusi misalnya, gagasan evolusinya adalah gagasan evolusi yang lahir dari konsepnya tentang tujuan akhir yang jelas yaitu cinta pada Tuhan.[4]
Bagaimana juga pandangan Rumi tentang pembelajaran atau ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Tentu tidak lepas dari pengalaman pribadi Rumi sendiri tentang keberalihannya dari seorang penggila kajian-kajian ilmiah beralih menjadi ahli Sufi yang sangat kenamaan. Baginya kebenaran yang ada pada kajian-kajian ilmiah selama ini tidak mampu mengantarkannya pada capaian yang sesungguhnya dari gagasan kesejatian sebab kajian ilmiah dan ilmu-ilmu yang bertumpuk dalam buku-buku itu tidak mampu menggapi ketinggia yang tertinggi yaitu jiwa. Tapi justru kajiannya itulah yang telah mengantarkannya pada kedamaian dan ketenangan sempurna. Itu lebih utama baginya.[5]
Dua kekuatan yang tidak asing bagi Rumi dan wejangan spiritualnya adalah Musik dan Puisi. Dua media yang sangat efektif untuk mengungkapkan apa yang sesunggunya dan apa dia pahami tentang konsep kehidupan. Ini jalan Tumi jalan yanb Indah dan sangat Universal sebagaimana Musik dan Pusisi adalah bahasa Universal yang mampu menembus batas-batas peradaban dan juga kangkuhan zaman yang mungkin sangatjauh dari nilai-nilai humanis. Lewat Musik, pertemuan dan upayanya untuk dekat dengan Tuhan begitu terasa. Sangat transendetan dan penenial. Musik menyirep pendengarnya dalam rentak tari Sama yang “memabukkan” semata karena pertemuan dengan Tuhan demikian terasa dangat intim atau sangat dekat.
Puisinya adalah bahasa Jiwa yang murni yang mengalir dari mulutnya kalimat Indah tanpa rekayasa bahkan persiapan, tanpa konsep tapi mengalir bak air sejuk di di gunung sana. Tentu karena Jiwanya telah terkonsep dalam satu pemahaman dan pemaknaannya yang dalam tentang Tuhan sehingga kata-katanya mengalir apa adanya. Tapi apa adanya disini adalah apa adan yang sangat sempurna. Sempurna sebab ia adalah gambar tentang sosok seorang hamba Tuhan. Puisinya adalah bahasa-tentang Tuhan, bahasa yang mengungkapkan keagungan Tuhan dalam dimensi yang Universal dan menembus sekat-sekat pemikiran yang berbeda.
Pada akhirnya Apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Rumi pada kita adalah bagaimana kita memahami bahasa kehidupan dengan kalimat yang Indah sebab ia adalah bahasa Tuhan bahasa sempurna. Kalimat-kalimat Rumi adalah kumpulan kuliah yang Indah yang dicatat oleh murid-muridnya yang saying jika kuliah yang Indah itu tidak diabadaikan dalam sebuah catatan atau buku. Tujuan sejati dan utama dalam perjalanan hidup manusia. Wallu alam Bi Shawab
Bibliography
Amin, Miska Muhammad. Epistimology Islam, Jakarta: UI Press.
Gaarder, Jostein. Dunia Sophie. Bandung: Mizan Pustaka. 2006
Muthahari, Ayatullah Murtadha. Pengantar Epistimologi Islam. Jakarta: Shadra Press. 2010
Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Buku Daras Filsafat Islam: Orientasi ke Filsafat Islam Kontemporer. Jakarta: Shadra Press. 2010
Arbery, A. J . Inilah Apa Yang Sesungguhnya. Yogjakarta. Risalah Gusti. 2002
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2002
Schimel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar