SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan Terbaik
Untuk Negeri (Revision)
Oleh: Arif Budiman
Dalam peringatan hari pendidikan kali ini, ada dua tema refleksi
yang antara keduanya saling berkaitan yaitu pendidikan itu sendiri dan
perjalanan kebangsaan. Perjalanan hidup kita sebagai sebuah bangsa akhir-akhir
ini telah menggerus ruang pemikiran kita. Panggung politik dan kebangsaan kita
diwarnai beragam pertarungan dan intrik kepentingan tak berkesudahan. Korupsi
dan penegakan hokum serta demokrasi menjadi tema sentral pertarungan elite
politik.
Refleksi pertama berujud keprihatinan terhadap realitas
pendidikan yang tak kunjung menuju perbaikan. Pendidikan Indonesia terpuruk
setidaknya terlihat dari dekadensi moral dan tidak mengertinya proses
pembelajaran di sekolah yang tak kunjung beranjak pada paradigma pembangunan
karakter. Kenyatannya pendidikan hanya menyisakan kerusakan moral dan hanya
berorientasi pada sisi material dan cenderung mengabaikan unsur moral atau budi
pekerti. Di lapangan pelaksanaan UN dalam kenyataannya tak mampu menuju
cita-cita kebangsaan itu tapi justru sebaliknya sebab praktek kecurangan dan
ada unsur pemaksaan sistem yang tidak memahami realitas di lapangan.
Keprihatinan pendidikan jalin berkelindan dengan kondisi bangsa
yang sesungguhnya masih sangat memilukan.
Realitas negeri yang tak kunjung beranjak menjadi negara besar sebagaimana pada
masa jaya dulu saat Sriwijaya dan Majapahit. Mengharap kejayaan sebagaimana
kejayaan tempo dulu yaitu masa Majapahit atau Sriwijaya mungkin terlampau
tinggi. Gapaian agar dihormati negara lain saja, rasanya sangat sulit seperti
kata sebuah pepatah lama api jauh dari panggang. Berada di depan Malaysia pun
terasa sangat sulit sementara kita masih saja asyik dengan nostalgia bahwa
Malaysia dulu bergur pada kita. Negara ini dipermalukan, dihina bahkan
dilecehkan. Kasus terakhir TKI yang terbunuh dan diduga ada penculikan organ
terhadap ketiga TKI tersebut. Dan kita masih diam dan tak beranjak dari
kehinanaan itu. Kita mengharapkan negara ini dan bangsa ini menjadi Negara dan
bangsa yang bermartabat. Ini keingingnan kita, bangsa yang disegani, berdaulat.
Kuat dan kokoh.
Dan semua fenomena keprihatinan nasib bangsa ini terjadi di
hampir setiap sisi kehidupan berbangsa. Dari sumberdaya alam yang dikuasai
bangsa lain dari Sumber Pnas Bumi Sukabumi hingga Emas Papua. Wilayah
teritorial yang diobok-obok dari Sipadan-Ligitan hingga Ambalat. Bukankah ini
telah menjadi fakta bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia belum merdeka. Kita
masih dijajah, kita masih diperlakukan layaknya budak di negeri Sendiri.
Terakhir dalam bidang olah raga (baca:sepak bila) yang nyaris tak pernah
berjaya di atas bangsa lain. Kekalahan dramatis Timnas Indonesia oleh Timnas
Malaysia, tak jua menunjukan kejayaan itu. Sesudahnya perseteruan di
kepengurusan PSSI telah menyisakan polemik tak berkesudahan.
Di sisi yang lain, negeri yang kaya raya “Gemah Ripah Loh Jinawi”
ini masih dihuni oleh ribuan orang-orang miskin yang jauh dari layak. Sementara
di sisi orang-orang miskin itu banyak orang-orang yang berlebihan menyajikan
pemandangan ketimpangan sosial yang tajam. Pengiriman TKW ke negara lain
sesungguhny adalah Indikator bahwa bangsa ini masih sangat rendah kualitas
Sumber Daya manusianya. Sebut saja kasus TKI Indonesia di Malaysia dan
Indonesia sungguh sangat mencoreng muka bangsa Indnesia tapi bangsa ini masih
santai-santai saja dan tetap mengirim wanita-wanita yang tak lain adalah ibu
bangsa untuk mengalami nasib yang terus dihina dan direndahkan. Jika bekerja
sebagai tenaga ahli tak masalah tapi ini bekerja sebagai tenaga kasar seperti
pembantu rumah tangga atau sejenisnya. Sungguh itu sebuah kenyataan yang sangat
Ironi. Sebut saja kegetiran itu semua dengan Ironi Kebangsaan.
Sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukannya.
Sudah saatnya lahir pemimpin dan generasi tangguh yang amanah, cerdas dan
bertanggung jawab kebangsaaan. Karenanya perjuangan melalui pendidikan menjadi
mutlak dilakukan. Tapi jika pendidikan justru membusukkan dirinya dan pada
akhirnya hanya mmpu mencetak manusia-manusia yang justru akan merusak negeri
ini, jelas ini sangat kontraproduktif dengan tujuan pendidikan sebagai penyiap
generasi untuk melanjutkan estapet kebangsaan (baca:kepemimpinan). Bagaimana
jika calon-calon penerus bangsa ini sejak dini telah diajak atau diajari
ketidakjujuran. Apakah pendidikan masih bisa diharapkan?
Jalan lain adalah mekanisme
kebangsaan atau jalur kenegaraan dimana dari sana kita berharap akan lahir
pemimpin berwibawa yang tegas sebagaimana Soekarno yang keras terhadap negara
lain (baca: Malaysia) dan berbicara lantang tentang kehormatan bangsanya. Semua
unsur kebangsaan sangat merindui pemimpin kuat dan disegani. Pemimpin cerdas
yang bisa membaca kondisi rakyatnya. Pemimpin yang peka dengan suara hati
rakyatnya. Dan penguatan kepemimpinan yang kuat hanya terjadi lewat pendidikan
terbaik. Mudah-mudahan usaha pendidikan dan kebangsaan ini dapat memberikan
kontribusi berharga untuk kejayaan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar