OVERLOAD CURICULUM DAN NASIONALISME KITA
Oleh: Arif Budiman*
Oleh: Arif Budiman*
Beberapa hari yang lalu telah diadakan Olimpiada
Sains Nasional yang diadakan oleh Kanwil DKI Jakarta. Dan masih banyak bentuk
yang serupa untuk menguji kemampuan anak. Pesertanya adalah siswa-siswi MAN se-wilayah Jakarta. Pemaparan fakta ini
bukan bertujuan untuk mengangkat persoalan peminat olimpiade matematika.
Sesungguhnya fakta dan data ini disajikan untuk menunjukkan hal yang sangat
penting dalam wacana pendidikan Indonesia . Betapa olimpiade dan soal yang
diajukan itu dalam olimpiade itu sedang mengabarkan sisi lain realita
pendidikan kita. Realita pendidikan tentang beban Kurikulum yang diemban anak
didik kita. Lewat olimpiade matematika itu kita telah menjadi tahu tentang
sejauh manakah materi mathematika yang telah kita ajarkan. Meski soal diajukan
dalam bahasa Inggris sebagian peserta menyatakan tidak mengalami kesulitan
dalam menjawab soal yang ada. Contoh pada soal matematika yang disitu hanya
dituntut kemampuan anak untuk menunjukkan waktu pada gambar yang terpampang
dalam lembar soal. Tentu ini soal yang sangat mudah. Seusia anak SMP, siapa
yang tidak bisa menunjukkan angka jarum jam? Tentu semua sangat paham dan
sangat bisa mengerjakan soal dimaksud. Dan masih banyak soal sejenis yang
menunjukkan karakter mudah dan tidak sesulit materi yang biasa kita ajarkan
pada murid-murid kita di kelas. Materi yang kita ajarkan sebagaimana yang
diamanahkan dalam kurikulum nasional kita. Tingkat kesulitan yang ada di soal
olimpiade setingkat dengan soal-soal yang ada di sekolah tingkat dasar atau SD.
Kata pak Wahyu, salah satu guru matematika di SMP Internat Al kausar
Sukabumi...
Melihat fenomena tersebut, ada dua hal
terbangun dalam pemikiran saya selaku penulis. Pertama, timbul rasa bangga
bahwa kita bisa dengan sebuah pertanyaan apakah penyelenggara telah salah
memberikan soal. Kedua, apakah kurikulum yang telah kita terapkan telah sesuai
dengan tugas perkembangan anak? Bukan tidak mungkin kita telah melanggar dan
memaksakan tugas perkembangan anak sehingga materi ajar yang diberikan berada
diluar batas kemampuan anak usia SMP. Men-judge penyelenggra salah dalam
membuat soal, rasanya terlalmpau dini. Terlebih pendidikan untuk remaja atau
usia SMP. Atau di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pendidikan Australia
menjadi favorit banyak Negara untuk warga negaranya menimba ilmu di Australia .
Program beasiswa dan minat anak Indonesia dan Negara lain sekolah di Australia
pun menunjukkan angka yang signifikan. Dengan demikian pemikiran pertama tentu
tak perlu lagi menjadi persoalan. Yang patut menjadi pertanyaan adalah bahwa
kita telah merasa mudah dengan soal-soal Olimpiade dan beberapa kali kita
menang lomba olimpiade baik fisika maupun bidang ilmu yang lain, pertanyaannya
apakah kemenangan itu mencerminkan kemenangan cita pendidikan kita. Bukankah
kita hanya menang dalam hal penguasaan materi dan tidak pernah menang (baca
bisa) dalam olimpiade hidup yang sesungguhnya. Kita telah menjadi sangat hafal
dengan materi pelajaran tapi kita hamper tidak bisa menerapkan materi yang kita
kuasai dalam kehidupan seharihari.
Selebihnya pemikiran kita tertuju
pada fenomena kedua yaitu tentang realitas kurikulum pendidikan kita (baca:
Indonesia ) yang tentu saja layak diajukan. Dengan sebuah pertanyaan sudahkah
pendidikan terutama sisi kurikulum mempertimbangkan dengan matang beban
pembelajaran yang disajikan untuk siswa. Apa tidak mungkin kita telah
memaksakan beban kurikulum yang berat dan memberatkan sehingga dalam usia yang
masih remaja mereka telah “dipaksa”
untuk menelan materi-materi yang belum sepantasnya dipelajarinya. Sementara
tugas perkembangan tidak mengamanahkan hal tersebut.
Apakah pembelajaran kita telah overloaded dalam arti kita
terlampau memberi beban berat pada siswa dengan materi-materi berat sementara
potensi anak belum waktunya menerima materi yang jumlahnya besar atau berat
itu. Sementara di tataran praktis, ilmu atau materi yang diajarkan tidak
bernilai praktis di lapangan. Artinya tidak ada korelasi antara apa yang
diajarkan dengan realitas yang sesungguhnya. Padahal paradigma pendidikan
terbaru menghendaki adanya konsep pendidikan yang bernilai praktis atau sesuai
dengan kenyataan.
Kenyataan pendidikan kita telah memasuki
persoalan yang sangat paradigmatic dan kompleks. Satu sisi negeri ini
menghendaki kemajuan dan penguasaan teknologi yang cepat (instant) yaitu dengan
cara proses pendidikan yang juga cepat. Menyikapi paradigma ini
penyelenggaraan pendidikan mewujud dalam bentuk penyikapan yang berlebihan
dengan memahami makna kemajuan cepat itu dengan penguasaan secara kuantitatif materi-materi ilmu
pengetahuan. Betapa banyak anak yang telah hafal diluar kepala rumus matematika
tapi penguasan dan hafalannya dengan semua rumus itu tidak memiliki nilai yang
aplikatif dalam kehidupan. Sehingga ilmu pengetahuan yang dikuasai hanya
berhenti pada tataran pengetahuan. Dan saat ilmu pengetahuan hanya tersimpan
dalam otak-otak saja tanpa bisa dipublikasikan dalama arti dimanfaatkan,
bukankah sesungguhnya tujuan pembelajaran itu telah gagal direalisasikan.
Pembelajaran telah gagal menjadikan manusia mandiri dalamkehidupan. Pengetahuan
yang dia punya tak ada arti dan gunanya sebab ia hanya menempel di otak tanpa
ia mampu menerapkan bahwa realitas yang menunggu jawaban praktis dari ilmu yang
sederhana untuk mendapatkan solusi sederhana, tidak berbeli-belit.
Temuan Thomas Alfa Edison dengan lampu pijarnya, saya kira Thomas menemukan
lampu tersebut tidak harus menunggu sampai dia menguasai semua bidang ilmu
pengetahuan. Einstein dengan teori relatifitasnya, saya kira temuannya tentang
rumus E=MC, Einstein tidak perlu menunggu dan hafal semua materi tentang
fisika. Ketika kita hanya bangga dengan pengetahuan yang melimpah tentang semua
ilmu pengetahuan, sesungguhnya kita telah hanya mampu menjadi bangsa yang hanya
tahu banyak pengetahuan. Tapi kita telah menjadi bangsa yang kecil sebab dengan
ilmu pengetahuan yang di tahuinya, tidak tahu harus berbuat apa. Dalam suatu
ajang olimpiade ( sebut saja olimpiade matematika misalnya) menjadi
pemenang tentu tidak menjadi kebanggaan jika olimpiade hanya bermakna tahu satu
ilmu pengetahuan, tapi tidak pernah diterapkan. Menjadi pemenang olimpiade akan
benar-benar menjadi kebanggaan saat kemenangan itu ditunjukkan bukan semata
anak tahu banyak ilmu pengetahuan tapi mampu menghasilkan karya nyata dengan
pengetahuan itu. Itulah kemenangan yang sesungguhnya.
Bangsa Eropa telah melaju dengan
penemuan-penemuan, kita malah sibuk membicarakan temuan mereka. Selebihnya
menjadi pengguna utama atas temuan mereka dan enggan berpikir sama untuk sebuah
temuan dan terus asyiik dengan temuan bangsa lain. Korea yang terkenal dengan
produk Hand Phone-nya yang terkenal terus mengadakan inovasi HP dengan
teknologi terbaru, kita malah sibuk ber “pamer ria” untuk memiliki atau berlomba-lomba mendapatkan HP
terbaru. Tanpa pernah berpikir dan terpikir untuk berbuat hal yang sama (mencipta teknologi dan inovasi)
sebagaimana yang mereka lakukan, atau melakukan temuan-temuan. Alih-alih
temuan, mampu memperbaiki HP saja belum sepenuhnya bisa dilakukan. Kita telah
menjadi sangat bangga dan secara tidak sengaja menjadi pasar yang
sesungguhnya dari produk-produk teknologi bangsa lain. Sejauh itu pula kita
telah menjadi tidak berdaya dengan serbuan produk yang datang bertubi itu. Dan
pada akhirnya kita harus mengalah dan merelakan apa yang kita punya seperti
menjual asset kekayaan sendiri untuk memenuhi sifat konsumtif kita. Saat
itu sesungguhnya kita telah menjadi objek yang ditentukan dan bukan menentukan.
Contoh lain, saat kita sedang
bersibuk-sibuk dengan menguasai salah satu program aplikasi computer. Sang pembuat
telah dan sedang merancang program baru yang kembali akan diluncurkan di pasar
konsumen Indonesia . Sementara itu kita masih asyik belajar tentang temuan atau
inovasii baru yang baru diluncurkan itu. Eh.. produk ini fasilitasnya bagus
lebih lengkap, temannya yang lain menambahkan “eh ini ada lagii yang terbaru,
dan seterusnya. Logikanya belum selesai kita total menguasai satu program,
tiba-tiba dating program baru yang menjadikan kita juga harus bersegera
mengikutinya. Kita telah ditentukan dan bukan menentukan. Kita sedang diarahkan
oleh penguasa teknologi dan tidak mengarahkan teknologi. Kita terus belajar
untuk tahu, tapi tak pernah mengajarkan.
Belum lagi dari sisi yang lain.
Kita telah benar-benar telah dirancang secara sistematis untuk selalu tunduk
dengan produk barat (untuk tidak mengatakan kita telah menjadi budak)
produk-produk bangsa lain. Dan situasi keterbudakan itu terjadi secara sistematis. Hingga merambah
pada sisi lain budaya kita. Misalnya kita yang belajar program Windows, didalam
kotak dialog dan seluruh petunjuk pengoperasian dibuat dalam bahasa Inggris.
Apa dampaknya..????, pernahkah kita berpikir kesana???? Praktis dilapangan
mereka para pengguna windows harus mampu menguasai bahasa windows yaitu bahasa
Inggris termasuk bahasa-bahasa pemrograman. Lagi-lagi belum selesai kita
menguasai program windows, saat yang sama kita dihadirkan dengan produk program
windows yang baru. Situasi ini mejadikan kita makin merasa tidak berdaya
dan selalu merasa tertinggal dengan teknologi yang ada. Harus ada perubahan
paradigmatic (untuk tidak menyebut revolusioner) tentang bagaimana kita
mensikapi secara sewajarnya deras arus perkembangan teknologi yang sulit
dibendung. Prinsipnya bukan tidak menghendaki perubahan atau perkembangan
teknologi, tapi bagaimana dengan teknologi yang ada kita seharusnya menjadi
terbantu dan benar-benar menjadikan kita sebagai manusia yang sebenarnya. Paulo Freire menyebutnya dengan ungkapan
memanusiakan manusia.
Sudahkah dengan teknologi dan pendidikan
yang kita jalani itu telah menjadikan kita sebagai manusia. Atau malah
sebaliknya. Jika dengan teknologi itu kita benar-benar dimanusiakan berarti
teknologi itu adalah teknologi yang bermanfaat. Dan sebaliknya jika dengan
teknologi itu telah memperbudak
kita, maka sesungguhnya teknologi itu adalah teknologi yang semestinya
ditinggalkan alias mengandung mudharat. Selanjutnya apakah pendidikan kita
telah manusiawi dan tidak lagi ada pemaksaan kurikulum diluar batas kemampuan
anak didik kita. Tentunya kita berharap pada pendidikan yang manusiawi,
pendidikan yang lebih punya arti. Dan bukan pendidikan yang mematikan hati
nurani. Meski demikian kita memang akan tetap menjadi pemenang olimpiade, tapi
kita masih menjadi pecundang dalam kenyataannya. Kita juga tidak perlu merasa
bangga karena anak-anak kita tiada kesulitan menjawab soal olimpiade. Kita
harus lebih memahami arti pendidikan yang sesungguhnya, yaitu memanusiakan
siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar