KAPITALISME KELAS
Prestasi pembelajaran
hampir bisa dipastikan sebagaian besar berpegang pada paradigma Kognitif (Cognitif
Minded). Meski jargon pembentukan moral dan akhlaq atau nilai afektif
didengungkan hampir tiap hari di sesi pembelajaran kelas, kenyataannya
keberhasilan tentang terbangunnya moralitas atau akhlakul karimah hampir
tak pernah jadi kenyataan. Sebagaimana bunyi sebuah pepatah ”api jauh
dari panggang”. Pendidikan kita tengah didera mimpi tak berkesudahan
tentang cita-cita dibangunnya manusia yang sempurna, insan kamil dan seluruh
idiom tentang idealitas pribadi anak manusia yang diharapkan mampu membawa
perubahan.
Tentu kita
semua sadar bahwa kualitas suatu generasi yaitu anak didik kita banyak
ditentukan lewat proses pendidikan. Lebih kecil atau lebih spesifik, kualitas
itu ditentukan dalam ruang berukuran kurang lebih 6X8 meter yaitu ruang kelas.
Ruang yang menjadi tempat bagi berlangsungnya proses belajar. Dalam ruang yang
kita punya andil di dalamnya itu, terkandung peran yang sangat menentukan
keberhasilan atau ketercapaian sebuah tujuan pendidikan. Kita yang dimaksud
tentu saja bukan hanya guru namun kita adalah orang tua, masyarakat, lingkungan
dan juga pemerintah. Baik atau tidaknya pengelolaan kelas, akan sangat
berpengaruh pada kualitas generasi yang dididiknya. Kenyataan menunjukkan hal
yang sangat memprihatinkan. Ketaatan murid pada guru, rasa hormat sampai pada
perhatian siswa pada pembelajaran menjadi pemandangan yang jarang kita temukan.
Yang ada kelas kita dihiasi dengan anak yang suka membantah perintah guru
dengan ulah-ulah atau perilaku keonaran. Kewibawaan dan kehormatan kelas
kita telah hilang. Item-item berupa nilai moralitas, ahlaq dan budi pekerti
yang dulu pernah ada dalam kelas kita, kini telah menipis bahkan tiada.
Tidak usah menutup-nutupi semua fenomena (baca:
kenyataan) yang terjadi dalam kelas pembelajaran. Guru menjadi tiada
dihargai dan tiada pula berharga. Ia tidak lagi menjadi sosok yang digugu
(dipercaya) dan ditiru (diikuti). Kata-kata kita (guru)
akan didengar dengan dua kemungkinan, pertama kita berlaku sebagai penguasa otoriter
alias berlaku represif . Pendekatan represif ini sedang sangat gencar
ditentang oleh mereka para pengusung ide menjadikan siswa sebagai pusat
pembelajaran. Sehingga siswa bebas menjadikan dirinya seorang pembelajar.
Atau
dengan kemungkinan kedua yaitu guru memerankan dirinya sebagai seorang entertain
(baca: badut, orator, aktor). Menurut saya tanpa harus otoriter dan berperan
sebagai badut, kelas kitapun bisa berwibawa. Sebagaimana wibawa kelas yang pernah
ada tempo dulu. Bukan bermaksud bernostalgia kosong dengan masa lalu. Tapi
paling tidak disanalah kita bisa kembali membuka lembaran-lembaran Indah
pendidikan masa lalu yang pernah berjalan. Tidak perlu metodenya tapi rasakan
jiwanya atau roh pembelajaran yang dijalankannya.
Kelas kita tempo dulu adalah kelas yang sangat berwibawa. Guru begitu dihargai,
sopan santun begitu dikedepankan. Bahkan ada cerita seorang murid ketika
berpapasan dengan gurunya, ia memilih menghindar atau mengambil jalan lain.
Bukan sang murid takut pada gurunya tapi disana ada penghormatan pada
nilai-nilai akhlaq dan sikap yang begitu dijunjung tinggi. Dalam salah
satu kitab Ta’alim Muta’alim dalam bab ”Ta’dziimul Ustadz” disana
dibahas dengan detail bagaimana sikap seorang murid terhadap gurunya dengan
penghormatan yang tinggi.
Hari ini
kondisinya sungguh jauh berbeda. Bahkan ada satu kasus di sekolah negeri di
Jakarta yang anak muridnya tidak percaya dengan pengelolaan dana Perpisahan
yang dikelola gurunya dan meminta pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan itu
diserahkan ke murid hingga urusan jadwal acara, semua diminta agar segala
sesuatau dikelola siswa, guru tinggal datang dan menyaksikan saja acara yang
akan digelarnya. Menurutnya, merekalah yang membayar seluruh biaya kegiatan
sehingga logis jika semuanya dikembalikan pada murid. Sungguh fenomena ini
menunjukkan betapa guru telah dan sedang sangat tidak dihargai (baca:
direndahkan). Bukankah guru terkesan layaknya pengemis di hadapan murid.
Bukankah guru seolah sedang hanya ditempatkan sebagai tenaga kerja layaknya
pelayan toko atau pekerja di Pabrik yang setiap saat bisa diperlakukan
seenaknya oleh sang majikan. Bukankah seharusnya kita merasa sangat sedih
dengan pelecehan terhadap wibawa keguruan kita?
Kelas Yang Hilang
Ada
yang hilang dalam kelas-kelas pembelajaran kita. Moralitas yang seharusnya
dikedepankan, kini telah tiada. Kata-kata yang sering kita sampaikan tidak
mampu menyentuh intuitas yang ada pada mereka. Bukankah kenyataan itu menjadi
hal yang wajar jika kelas kita disebut sebagai kelas yang tidak berwibawa.
Bukankah kata-kata kita tentang moral, sopan santun dan budi pekerti pernah
(bahkan sering) tidak didengarnya? apalagi meminta mereka untuk mempraktekkan.
Sesungguhnya
bukan karena mereka tidak mau mendengar dan bukan pada tempatnya kita
menyalahkan anak sebagai biang masalah dengan mengkambinghitamkan dan
menjatuhkan punishmen pada mereka sebagai tidak bermoral, urakan dan
lain sebagainya. Anak kita adalah kertas putih yang dengan kertas itu kita
bisa membuat tulisan apapun dengan corak dan warna apapun. Goresan apapun
yang ada dalam kertas itu adalah hasil kerja kita. Jadi jelas bahwa
dalam problem ini anak tidak perlu dilibatkan. Lalu siapa yang harus
bertanggung jawab terhadap nasib yang menimpa kelas pembelajaran kita? Menyebut
guru sebagai yang paling bertanggungjawab, rasanya juga tidak bijak. Meskipun
penyelenggaraan proses belajar dalam kelas sepenuhnya menjadi tanggungjawab
guru, kelas yang berwibawa atau sebaliknya kelas menjadi tidak berwibawa sangat
ditentukan penyelenggara pendidikan itu sendiri yaitu masyarakat sebab
pendidikan adalah rekonstruksi masyarakat. Contoh, ketika masyarakat telah
menjadi sangat kapitalis, bukankah segala yang ada didalamya juga harus
kapitalis. Demikian paling tidak logika kapitalis berlaku. Termasuk sekolah (baca:
Kelas) pun akan mengalami nasib yang serupa seiring berkembangnya
masyarakat.
Maka jangan
pernah membayangkan kelas kita akan dihiasi dengan anak yang hormat, sopan dan
berbudi pekerti luhur, sementara negara atau masyarakat tidak punya
komitmen pada bidang pembentukan moral. Kalaupun ada, ha itu hanyalah sebatas
jargon. Masyarakat kita telah banyak didominasi oleh logika kapitalis, maka
sopan santun, budi pekerti dan religiusitas cenderung disingkirkan karena tidak
dibutuhkan. Yang dibutuhkan dalam
masyarakat kapitalis adalah hal-hal yang terkait dengan logika pasar,
nilai produksi dan keuntungan. Masyarakat kapitalis tidak berpikir bagaimana
moralitas, sopan santun dan keagamaan dijadikan acuan atau dasar berprilaku,
menurut mereka nilai-nilai tersebut dikembalikan pada masing-masing
pribadi. Kelas yang ada dalam masyarakat kapitalis berfungsi sebagai
mesin produksi yang diharapkan tercipta manusia-manusia atau tenaga-tenaga (baca;
Robot-robot kapitalis). Saat anak sudah punya kecerdasan intelektual (baca:
Ketrampilan yang dibutuhkan pasar), maka itu sudah cukup artinya telah tercapai
tujuan belajarnya. Maka jangan heran jika nilai atau instalan yang paling
penting tertanam dalam diri anak tidak lain, tak bukan adalah nilai disiplin
waktu. Logika ini sepadan dengan logika kapitalisme yang sangat berhitung
dengan penggunaan waktu untuk mendapatkan kapital.
Kelas Pembelajaran
Kapitalis
Kapitalisme yang melanda kelas-kelas pembelajaran kita melahirkan kelas-kelas
pembelajaran yang kapitalis. Kelas kapitalis menunjukkan bahwa kelas-kelas
dalam pembelajaran di sekolah yang ada selama ini adalah kelas yang berlaku
atas logika kapital. Misi sekolah sebagai sarana membangun sisi moralitas,
ahlaq dan budi pekerti dinilai sebagai jargon belaka sebab kenyataanya kelas
dengan misi pembangunan moralitas, religiusitas itu lebih punya perhatian pada
kegiatan pembelajaran untuk memenuhi logika kapitalisme. Ciri kelas
pembelajaran yang kapitalis yang utama adalah minimnya materi-materi moral,
budi pekerti dan nilai agama. Kurikulum yang dipakai pun terpaksa didisain
dengan mengurangi jam-jam pelajaran agama dan kelompok mata pelajaran humaniora
lainnya. Hadirnya kelas-kelas pembelajaran yang kapitalis secara otomatis
menandai hilangnya wibawa kelas. Sehingga seluruh energi yang ada diarahkan
pada upaya sebesar-besarnya untuk terbentuknya masyarakat
kapitalis.
Pada saat kelas kita menjadi demikian kapitalis seperti
itu, maka mengharap kelas kita menjadi kelas berwibawa adalah pekerjaan berat.
Sehebat apapun konsep kurikulum yang diterapkan, tidak akan mampu membentuk
kelas berwibawa sebab kesatuan visi antara masyarakat dan sekolah adalah dua
hal yang harus diperhatikan dalam menyusun arah pendidikan. Selama jiwa masyarakatnya masih kapitalis, maka
penyelenggaraan di bidang pendidikan pun akan terpengaruh dengan pola
kapitalis. Anak tidak merasa perlu mengembangkan sisi moralitas sebab dalam
system kapitalis hal itu tidak diperlukan. Pembelajaran moralitas, budi pekerti
dan juga agama hanya akan menyebabkan perkembangan kapital itu terhambat.
Sehingga sudah selayaknya pembelajaran pada bidang-bidang itu diabaikan.
Baginya saat ia telah menjadi cerdas dengan bekal ketrampilan berpikir, bahasa
dan lain-lain, itu dirasa lebih penting.
Kelas kita
telah menjadi begitu tidak berwibawa dan bukan lagi menjadi tempat bagi anak
untuk belajar pengalaman-pengalaman suci atau nasehat-nasehat kemanusiaan.
Kelas kita telah menjadi sempit makna. Kelas kita hanya berperan sebagai tempat
bermain ketika orang tua menitipkan anaknya pada sekolah karena kesibukan orang
tua. Sehingga wajar jika kelas kita menjadi “lembaga jasa” penampung anak-anak
yang ditinggal ortu-nya yang sibuk. Dalam kasus tersebut kelas kita telah
menjadi lembaga profit. Bahkan tanpa malu sekolah pun berlomba-lomba memasang
tarif/harga untuk dan atas jasa yang diberikan. Dalam kasus kapitalisme dalam
dunia pendidikan yang lebih kompleks, sekolah yang ada telah menjadi ruang
tertutup dan terbatas hanya dan hanya untuk mereka yang mampu membayar sesuai
tarif yang ditentukan. Saat itu sekolah tidak lagi punya hubungan kolaboratif-edukatif
dengan orang tua, yang ada adalah hubungan balas jasa. Maka jangan heran
setelah anak lulus, jarang didapati komunikasi dan hubungan berkelanjutan
antara anak dan guru atau sekolah. Hubunganguru dan murid itu hanya terjadi
saat ada selama dalam ikatan sekolah. Sesudahnya tinggal cerita dan masa lalu
yang hanya indah untuk dikenang.
Orientasi Kelas
Kedepan
tentu harus dibangun kembali wibawa di dalam kelas pembelajaran kita sebab
kelas kita adalah garda terdepan dalam system pendidikan yang dijalankan. Kelas
kita adalah ruh yang menggerakan dan tidak digerakan. Ruh yang menentukan dan
tidak ditentukan. Kelas kita merupakan perpaduan tak terpisahkan dengan tujuan
masyarakat, sehingga kemana masyarakat itu hendak
dituju, kesana pulalah kelas atau sekolah kita juga akan diarahkan. Wibawa
kelas kita adalah jiwa otonom yang membangun basis kediriannya pada kesadaran
utuh tentang tujuan utama pembelajaran.
Kejelasan
orientasi kelas merupakan hal mendasar ketika wibawa kelas itu hendak dibangun.
Kewibawaan kelas adalah perisai utama saat panji-panji keberhasilan pendidikan
hendak kita kibarkan. Jangan terpengaruh sedikitpun dengan gagasan diluar
tujuan yang pasti, sebab pendidikan membutuhkan kepastian langkah. Kelas punya
satu tujuan yaitu tujuan yang telah dirumuskan oleh mereka para penyelengara
pendidikan dalam satu meja diskusi yang ditentukan berdasarkan filosofi
masyarakatnya. Bukan tujuan orang tua, bukan tujuan para kapitalis dan
atau tujuan-tujuan yang lain.
Kalau masyarakat atau bangsa
kita belum memiliki orientasi yang akan dituju, maka hal ini sangat prioritas
untuk diperhat. Arah pendidikan ikan terlebih dulu. Kita sangat ditentukan oleh
arah masyarakat atau pemerintah. Saran yang ingin kita sampaikan adalah
kejelasan arah pendidikan yaitu arah yang ditentukan dan didasarkan atas
tujuan masyarakat. Tentu saja stujuan masyarakat yang humanis, demokratis, berkeadilan dan
berkesejahteraan sesuai dengan karakter asli masyarakatnya. Kita adalah
masyarakat yang sangat menghargai, nilai sopan-santun, menghormati dan jiwa
keagamaan yang kuat. Bukan masyarakat yang hedonis atau masyarakat yang merasa
paling modern tapi melupakan nilai moralitas dan spiritualitas. Masyarakat dan
pendidikan dalam hal ini tentu saja adalah satu kesatuan. Sehingga bagaimana
wujud kelas itu ditampilkan dan dihidupkan akan sangat ditentukan jiwa
masyarakatnya. Kalau masyarakat masih memperdebatkan tujuan masyarakatnya, maka
wajar jika wibawa kelas pun akan sulit diwujudkan. Meskipun demikian sejauh dan
sekeras apapun perdebatan masyarakat dan tokoh tentang tujuan masyarakat dan
kebudayaan kita. Hal mendasar dalam pendidikan tentu saja dapat kita sepakati.
Dari sana tentu wibawa kelas dapat dipastikan. Kelscas pun tidak perlu goyah
dalam berproses sebab telah ada pondasi yang kuat. Dan kita semua
termasuk orang tua pun harus diberikan penyadaran tentang makna kelas itu.
Kembalikan makna kelas pada tempatnya. Kembalikan guru di kelasnya. Perlakukan
murid sebagaimana seharusnya murid dan tidak perlu berpikir lain pada mereka
kecuali memanusiakannya. Bukan menjadikannya mesin atau robot-robot kapitalis.
Bukan pula menjejalkan ke dalam dirinya semua kecerdasan intelektual, tapi
emosional dan spiritualnya dilupakan. Pendidikan dalam kelas kita adalah
pendidikan untuk mengembangkan semua potensi anak baik inteketual, emosional
dan juga spiritualnya sebab potensi inilah unsur-unsur utama kewibawaan kelas
pembelajaran. Wibawa kelas kita adalah ruh yang harus terus ada. Wibawa kelas
pembelajaran kita adalah penjaga tapal batas nilai-nilai moral agar tetap pada
posisinya yang kokoh. Hilangnya wibawa kelas kita dapat terjadi karena kita
lalai. Hilangnya wibawa kelas pembelajaran kita adalah bencana pendidikan.
Tapi bencana tidak akan ada selama kita menyadari hal utama dalam
kewibawaan kelas. Wibawa kelas pembelajaran kita adalah gambaran bagaimana
masyarakat kita. Wibawa kelas kita adalah gambar pendidikan kita, wibawa kelas
kita adalah gambar budaya kita. Karena itu jangan biarkan wibawa kelas
pembelajaran kita hilang. Pastikan ia terus ada.[
Tidak ada komentar:
Posting Komentar