RUJUK
(Penyatuan kembali Jiwa)
Rawamangun,
3 September 2004. Inilah
isi Suratku yang kuberi judul “CINTA BODOH” itu. Surat yang menorehkan cerita
tentang kebodohanku. Bodoh karena telah
mengabaikannya. Tak menghubunginya, tak memberinya kabar. Bodoh sebab sikapku
selama ini telah menjadikannya sangat menderita.
Tadi malam aku menuliskannya. Dalam ruang Masjid Kampus, kuberkhidmat pada
Surat ini. Surat spesial untuk Dina Larasati.
Ya Allah, aku ingin kembali mencintainya. Aku
yakin dapat bertemu dengannya. Di depan Komputer Masjid itu, kuketik sebuah
ungkapan perasaan mendalam ini pada Dina. Aku ingin ungkap detail-detail
sikapku yang selama ini sangat-sangat memikirkannya.
Surat yang kuketik dengan Komputer. Kertas ukuran Legal kurasa ukuran ini lebih
bisa memuat banyak tulisan dari pada A4 apalagi kuatro, Font 12, huruf
kesukaanku Garmound. Surat resmi
biasanya menggunakan Times New Roman. Dan aku tak menggunakan model huruf ini
sebab terlampau biasa. Garamound sangat nyeni, Indah dan pas….!!
SURAT CINTAKU BERJUDUL “CINTA BODOH”
Assalamu’alaikum
wr.wb
Dina,
Duhai Wanita yang memiliki tatapan surga, apa kabar dik…!. Semoga Allah SWT
senantiasa melindungi dan memberkahi kita. Amin.
Mudah-mudahan
datangnya surat ini tidak membuat adik kaget atau marah. Sebaliknya
mudah-mudahan bisa menjadi hujjah (penjelas) bagi semua Tanya dan ragu dalam
dada. Rasa-rasa yang penuh Tanya tentang bagaimana perasaamu yang sesungguhnya.
Mudah-mudahan surat ini juga bisa menjadi penghilang keraguan dan pengikis
prasangka. Sebab banyak hal yang membutuhkan penjelasan. Banyak Tanya yang
kuajukan.
Duhai
wanita yang memiliki tatapan Surga, sudah cukup lama kita terpisah tanpa kabar
berita. Surat-suratkupun tak pernah ada balasannya. Saat itu diantara kita
tumbuh rasa curiga. Setelah aku bertemu dengan Ibumu beberapa waktu yang lalu,
Pertemuan yang sesungguhnya digerakan oleh penjelasan Mas Agus yang mengatakan
bahwa Surat mas Imam tak pernah ada di tangan Dina. Ibu Toto malah bilang kalau
Mas Imam Santoso mengada-ada dan sedang mencari alas an untuk menjauhi Dina.
Aku baru menyadari bahwa surat-surat itu tak
pernah sampai di tangan-mu. Aku juga tahu bahwa sesungguhnya engkau masih mencintaiku.
Cemburu
mendalam sehingga kesimpulan negative itu lebih mendominasi daripada refleksi
berpikir benar. Kesimpulanku salah karena telah men-judge engkau tak Cinta aku.
Aku telah berprasangka negatif padamu. Maafkan aku dik.
Duhai
wanita yang memiliki tatapan surga, ingatkah 4 tahun lalu saat engkau
menyanyikan lagu “Menghitung Hari di Festival Band Van Der Wijk”, aku sangat terkesan. Aku melihat penampilanmu malam itu. Engkau
tidak tahu kalau aku datang. Aku memang tak menemui-mu. Maafkan…..! Kukatakan
ini agar engkau tahu bahwa bukan aku tak pernah mau tahu tentang dirimu. Aku
pulang karena aku rindu. Saat itu untuk pulang kampung aku harus membayar denda
“Atas Pelanggaran karena Pulang ke Jawa”[1].
Sebagian teman memilih tidak pernah pulang. Tapi orang tua bagiku
segala-galanya. Sekuat apapun doktrin yang mengkafirkan orang tua, tak mampu
menggoyahkanku untuk tetap Cinta pada orang tua meski aku tak pernah
mengajaknya dalam Negara ke Sembilan.
Tidakkah
Pulangku itu dapat meyakinkanmu bahwa aku ingin bertahan dengan cinta ini. Saat
kau tatap aku di masjid Dekat pasar Gombong di hari itu sungguh akupun telah
sangat yakin bahwa Cinta itu telah hadir untuk kita. Kecantikanmu sungguh
sangat menawan. Kini engkau tambah
dewasa. Saat itu beberapa hari setelah kematian Salman. Tentu adik tidak
menyangka jika, aku datang dan memperhatikan penampilanmu malam itu.
Sesungguhnya
hari itu aku ingin langsung bicara dan memutuskan masa depan kita.
Kenangan
Indah kita, tampil kembali sangat kuat. Aku selalu memikirkannya. Selalu
mengingatinya. Kenangan pada sosok yang mengingatkanku pada perjalanan dari
Cilacap menuju rumah Eyang di Gombong. Lagu Keroncong berjudul “Di Tepinya
Sungai Serayu” mengalun indah, membangkitkan keheningan Jiwa sebab lagu keroncong mengajak Sang Jiwa
merambahi bukit, pepohonan dan panorama alam, persawahan juga perbukitan.
Itulah panorama yang selalu dirindui Jiwa. Tipikal wanita keibuan. Wanita
dengan wajah ikhlas. Wanita yang memiliki “Wajah Setia”. Yang menerima sang
lekaki apa adanya. Suatu hari akan aku ceritakan semua yang terjadi
padamu, aku akan memberikan catatan harian yang selama ini aku tulis tentang
apa sesungguhnya menimpaku. Sebab kisah dalam catatan itu (Novel Ini) adalah
sebenar-benarnya isi perasaanku….! Tidak lain karena aku sangat berharap engkau
bisa kembali menjadi kekasihku. Aku sangat mencintaimu. Itu adalah sesuatu yang
sesungguhnya ada dalam diriku selama ini.
Mengabaikanmu
dalam ketidak pastian adalah suatu kebodohan. Aku tidak pernah mengerti dengan
apa yang aku lakukan. Seharusnya saat lebaran itu aku datang dan menemuimu
serta menanyakan surat itu atau tentang perasaanmu yang sesungguhnya. Aku telah
membuat kesimpulan sendiri dan terlanjur membuat surat yang sangat menyakiti
perasaanmu.
Aku
ingin bercerita tentang kisah kita. Kisah yang terbangun saat jiwa semakin jauh
dan nyaris tanpa daya.
Saat
itu curiga menghiasi hari-hari kita. Aku ingin berbagi cerita, tentang harapan
yang membara, tentang sisi gelap di pinggir Jakarta dan juga tentang keadaanmu.
Berita tentang perubahan dan beberapa saat lalu sempat hilang kontak, sungguh
membuatku sangat gelisah. Kata Mama, engkau telah berubah dalam pemahaman
agama. Satu sisi itu membuat Ibumu sangat bangga. Tapi di sisi lain perubahan
itu telah membuat Ibu gelisah. Sebab engkau sempat tanpa kabar dalam beberapa bulan.
Duhai wanita yang memiliki tatapan Surga…..!,
ingatlah dengan kisah-kisah bahagia yang telah kita jalani. Bukankah
kisah-kisah itu adalah penguat bahwa Cinta kita tak akan pernah terpisah.
Jangan engkau menangis, jangan pula engkau bersedih. Aku sangat ingat dengan
air mata yang menitik di pipimu. Air mata keikhlasan. Air mata yang menitik
karena pembuktian Cinta adalah keinginan. Namun lebih utama dibuktikan dalam
perjalanan waktu. Itulah pembuktian Cinta yang sesungguhnya.
Duhai
wanita yang memiliki tatapan surga…..!, aku yakin air mata itu jelas sangat
original dan nyata. Aku yakin air mata itu adalah air mata Cinta. Air mata yang
mengalir dari sumbernya yang suci dan perasaan anugrah Tuhan.
Duhai
wanita yang memiliki tatapan Surga, Ingatkah engkau dengan cincin yang melekat
di jemari tangan ini. Bukankah itu juga yang telah menyerta keikhlasan Cinta
kita. Sangat lekat dan abadi. Aku masih mengenakannya. Aku masih mengenakan
cincin itu hingga hari ini. Sebab Cinta ini sungguh bukanlah permainan sesaat. Cinta
di dada ini adalah abadi dan selamanya.
Duhai
wanita yang memiliki tatapan Surga, yang terpenting dari kenangan Indah kita adalah pertemuan pertama
yang istimewa. Di masjid Rr-rahman kauman, kita bertemu untuk kali yang
pertama. Pertemuan yang sangat Indah dan sangat membahagiakan. Bukankah itu
scenario Tuhan….?. Pertemuan yang Indah dan perteuan yang meyakikan aku untuk
berkhidmat pada satu ke-Indahan. Itulah prinsip hidup berpegang pada satu
pilihan hingga sampai waktu dimana keputusan dijatuhkan.
Bukan
sepasang kekasih yang menjalin dua status, belum selesai masalahnya dengan
satukekasihnya tapi ia sudah mencoba dengan lelaki yang lain. Itu yang disebut
dengan pengkhianatan. Aku tahu aku sudah memberimu keputusan dengan surat
terakhir yang kukirimkan. Dan sejak saat itu aku telah merelakan dan melepas
dirimu dengan laki-laki yang kau pilih. Itu adalah jalan yang kuberikan sebab
aku tidak ingin menggantungkan perasaan ini padamu. Itu sangat tidak aku
inginkan.
Duhai
wanita yang memiliki tatapan Surga, surat ini sekaligus permohonan maafku jika
datangnya surat ini mengganggu. Terlebih
jika dalam masa itu, adik telah menentukan laki-laki lain. Jika tidak ada
laki-laki lain Alhamdulillah, itu yang kuharapkan. Tapi kemungkinan itu jelas
sangat tidak mungkin, sebab keindahan-Mu adalah Pancaran Cahaya yang senantiasa
diharpkan oleh banyak lelaki. Sehingga engkau selalu dinanti dan dikelilingi
banyak pria
Duhai
Wanita yang memiliki tatapan Surga, aku hanya ingin mohon maaf padamu atas
semua kesalahan yang pernah kulakukan. Aku tidak mengerti dengan perasaan ini.
Aku adalah sang pendosa yang mengabaikan perasaan wanita. Aku ingin kita
kembali bersama. Dalam Cinta yang pernah engkau harap akan abadi selamanya. Ini
alamatku, masih alamat yang dulu pernah kau pakai untuk mengirim surat yang
pertamamu.
IMAM
SANTOSO
Alamat:
Masjid Kampus. Perumahan Dosen UI. Jl. Daksinapati No.1 Rawamangun Jakarta
Timur Telp. 0214702589.
۞
[1] Pulang Kampung sama saja kembali kepada tradisi
Jahiliyah. Kang Jumrani sangat ketat memberlakukan Doktrin ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar