KISAH
PENULIS NOVEL IDEALIS
(Sebuah Idealisme yang hampir Tenggelam)
Oleh Arif Budiman[1]
Di depan komputernya yang tak lagi baru,
laki-laki itu sedang memainkan Tuts-tuts yang ada di keybord. Malam itu adalah
salah satu malam dalam rangkaian malam dan hari-hari panjang dalam bingkai
waktu yang sedang sangat ia hargai. Bukan berarti waktu sebelumnya tidak ia
hargai. Tapi paling tidak ia sedang merasakan betapa waktu yang sedang
dijalaninya saat itu sangat ia dambakan. Waktu yang ia butuhkan demi selesainya
novel. Saat kawan-kawan guru pulang kampong atau liburan, ia sengaja tidak
pulang. Saat orang tua dan kakaknya yang ada di Tangerang beberapa kali
menelpon dan menanyakan kabarnya, ia pun tetap memilih tidak pulang. Semua
dilakukannya untuk sebuah novel. Bersama waktu dan dengan terus memanfaatkan
waktu itu ia ingin segera menyelesaikan Novelnya.
Sungguhkah hanya karena Novel itu ia
tidak pulang untuk menegok ibu yang beberapa tahun terakhir sering terkena
sakit atau ayah yang beberapa hari ini dikabarkan sedang sakit gula. Laki-laki
itu sepertinya tidak hanya menyimpan satu alasan atas ketidak pulangannya.
Padahal ia sering meluangkan waktu untuk pulang.
Aku lagi Nulis Novel.” Jawabannya singkat saat salah
satu kawannya bertanya. Jawaban yang terdengar tegas tapi tanpa isi tanpa
muatan apalagi ungkapan makna. Bahkan yang terlihat hanyalah egoisme yang
dipaksakan. Ia sangat yakin bahwa karyanya adalah karya yang sangat penting
bagi masyarakat. Menurutnya karya yang dibuat atau disusunnya adalah novel yang
baru dan tidak ditemukan pada novel-novel yang lain. Tidak seperti novel atau
buku-buku yang mendopleng ketenaran karya orang lain. Contoh saat baru muncul
atau booming buku Da Vinci Code, ramai-ramai buku atau tulisan membuat kemasan
dan tema yang sama tentang Da Vinci Code dengan segala variasinya. Atau saat
Shirazy booming dengan “ayat-ayat Cinta”, beberapa penulis lain juga membuat
buku atau tulisan atau novel dengan bahasa dan tampilan buku mirip dengan
tampilan buku Ayat-ayat Cinta. Ia berharap novelnya bisa sehebat Negeri Lima
Menaranya Ahmad Fuadi atau Laskar Pelanginya Andrea Hirata.
Berbeda dengan Laki-laki itu…. !!!! Novel
yang sedang dibuatnya adalah Novel yang benar-benar baru yang diangkat dari
khasanh budaya local yang sering dipandang sebelah mata oleh anak negeri
sendiri. Begitulah kurang lebih akunya. Laki-laki yang di depan computer itu
ingin menunjukkan bahwa budaya negerinya juga punya khasanah cerita rakyat yang
lebih bermakna dibanding dengan cerita atau epos bangsa-bangsa Eropa yang
jelas-jelas tidak memiliki akar atau dasar budaya ketimuran.
Ada juga yang mengira ia tidak pulang
karena alasan tidak ada ongkos. Segera ia membantahnya sebab uang gajian bulan
lalu cukup sekiranya hanya untuk ongkos pulang. Tapi memang harus diakui novel
adalah idealisme dan obsesi yang setahun terakhir memenuhi ruang dalam jiwanya,
sehingga dana sebesar apapun rela ia keluarkan untuk tujuan penulisan novel.
Komputer Pentium tiga yang ada di depanya sesungguhnya adalah computer kreditan
yang belum lunas. Naskah separoh jadi beberapa kali ia kirimkan pun harus
diakui memerlukan dana yang tidak sedikit. Belum lagi printer berikut tinta
serta kertas dll. Belum lagi jika computer harus mengalami kerusakan. Setahun
ini ia harus mengganti hard disk-nya sebanyak 2 kali. Tentu ini semua menjadi
sebuah kenyataan betapa alasan keuangan turut membentuk alasannya untuk tidak
pulang.
Tidak…!!!! Aku memang sedang nulis novel.
Ga ada sebab atau alasan lain. Kekehnya dalam hati meyakinkan bahwa penulisan
dan keasyikannya dengan novel memang sesuatu yang sedang menjadi fokusnya.
Bukan hanya satu dua kawan guru yang menanyakan. Memang agak aneh dan tak lazim
dengan pola umum. Saat libur adalah saat yang ditunggu oleh banyak orang untuk
istirahat atau berkumpul bersama keluarga. Hal itupun bukan sesuatu yang tak
membebani pikirannya. Tapi kini ia sedang memilih dan menggunakan cara itu.
Paling tidak untuk beberapa hari. Selebihnya ia tentu ada rencana untuk pulang.
Bahkan kepala sekolahnya juga turut
bertanya tentang ketidak pulanganku. Ya…. Memang benar aku sedang menulis Novel
Pak...!! Jawabnya pada Pak Tohir, suatu hari saat datang di Asrama. Baginya, Libur
ini adalah waktu yang sangat tepat untuk merapihkan tulisan dalam Novel ini.
Bahkan kadang-kadang ia harus berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya sedang
ikut lomba penulisan resensi buku yang diadakan oleh salah satu penerbit di
Jakarta. Dengan begitu alas an penulisan Novel tertutupi. Sehingga idealisme
penulisan novel baginya bukanlah sesuatu yang harus ditampilkan. Bahkan sebisa
mungkin disimpan dalam-dalam dan jangan sampai ada orang yang tahu. Tentu agar
apa yang kita katakana lebih punya kesesuaian dengan kenyataan. Saat kita
menggebu dengan penyusunan Novel, namun dalam kenyataannya novel itu tak
kunjung terwujud, maka semangat yang menggebu itu menjadi dipertanyakan. Namun
apabila kita baru menyampaikan judul Novel tapi sebenarnya sudah sekian Bab dan
juga halaman tersusun, sungguh orang akan salut dengan kata-kata kita. Sebab
antara apa yang dikatakan dengan kenyataan jauh lebih baik. Itulah prinsip yang
sedang terus dipegangnya.
Satu hari kawan dekatnya bertanya lewat
sms.
Apa kamu ngga kepingin ketemu orang
tua…??? Tanya kawannya yang beberapa hari lalu telah menikah dengan gadis Blora
lulusan salah satu Universitas Islam bergengsi di Jogya. Gadis itu cukup cantik
… Pokoknya di atas standar yang pernah kami sharing bersama tentang tipe-tipe
wanita yang kami idealkan. Beberapa minggu yang lalu kami masih main bersama
untuk sekedar ngobrol tentang Yayasan dan harus diakui obrolan kami sedikit
banyak terfokus pada obrolan tengang wanita dengan sejuta harapan padanya.
Kangen Siiihh.., tapi beberapa hari lalu
kan aku sudah pulang ……!!!!lewat sms laki-laki itu kirimkan jawaban. Ya berapa
hari lalu ia memang sempat pulang tapi tidak ke rumah. Ia ke Jawa untuk tujuan
mendampingi Tour murid kelas tiga. Saat Bis melaju di kota tempat orang tuanya,
ia memang sempat kirim sms dan bertanya soal kabar di rumah. Tapi ia tidak
sempat mampir karena ia sedang mendampingi anak-anak tour di Jogjakarta. Ia
memang sempat mengatakan kalau ada waktu nanti akan pulang. Beberapa saat
berikutnya sms datang kembali. Dia buka kotak pesan dalam ponselnya. Rupanya
pesan singkat dari kawanya tadi.
Yaa bukan itu… Meski hanya sebentar orang
tua itu sangat senang jika anaknya dapat menengok. Apalagi jika usia orang tua
kita telah tua. Mendapati jawaban itu, laki-laki itu terdiam dan berpikir
panjang sebelum ia menanggapi argumen kawannya. Air matapun tak kuasa ditahan
mengalir di cela matanya. Bayangan ibunya yang gesit membayang sangat jelas
dalam ingatannya. Bayangan gesit seorang ibu yang tiap pagi harus bersiapa-siap
berdagang di pasar. Mengingati hal itu menambah rasa sedihnya kian dalam.
Tangannya yang dulu halus kini menjadi keriput dan makin terlihat keriput.
Dengan tangan yang kini keriput itulah Lelaki itu mendapati belaian kasih
sayangnya. Demikian bayangan kekar ayahnya tampil juga dalam ingatannya.
Rambutnya tidak semua berwarna hitam. Bahkan yang ada warna putih yang tampak
lebih dominant. Wajar saja usianya beberapa tahun lagi mendekati 60.
Mengingatinya menjaaadikan ia tambah sedih. Apalagi permintaannya di beberapa
bulan terakhir. Sebuah permintaan yang sangat menganggu perasaannya
Jam menunjukkan pukul 09.00, lelaki itu
lagi-lagi hanyut dalam aktifitas mengetiknya. Ia Kembali menekuni Laptop Second
hasil kredit yang belum lagi lunas. Dua bulan lagi tepatnya bulan Agustus,
semua Insya Allah lunas. Ia bisa memanfaatkan dananya untuk keperluan yang
lain. Di depan computer itu laki-laki it melanjutkan aktifitas penulisan
novelnya. Sebut saja novel itu dengan sebutan Novel Idealis. Idealis sebab
itulah karakter yang kuat melekat pada laki-laki itu. Idealis punya dua makna,
bisa positif bisa juga negative. Biasanya makna ini lebih dekat pada makna yang
negative sebuah kata sifat yang menunjukkan perilaku yang di luar kebiasaan.
Diiringi MP3 dengan lagu-lagu melankolik,
ia masih terus asyik dengan novelnya. Walau sesekali lagu berhenti, atau
kadang-kadang computer HENG. Dengan me-reset ulang komputernya,
laki-laki itu melanjutkan aktifitasnya. Wajahnya terlihat sangat lelah tak
sebanding dengan idealisme yang diembannya. Meski harus mengalah mengetik tanpa
iringan MP3.
Biarlah tanpa musik…!!! Yang penting aku
dapat segera menyelesaikan Novel ini tanpa harus terganggu dengan Heng-Heng
yang melelahkan. Beberapa kawan guru yang lain telah memiliki laptop yang cukup
baik untuk ukuran seorang guru. Tentu mereka sangat nyaman dengan laptop itu.
Laki-laki itu membayangkan suatu saat untuk juga bisa memiliki sebuah Lapop
yang memadai. Ia pernah membaca satu majalah dimana seorang penulis terkenal
dengan laptop yang dipunyainya ia bisa menuangkan tulisan atau idenya seketika
dan dimana saja tentu karena kelebihan yang ada pada laptop.
Wajahnya masih tampak sayu dan begitu
lelah malam itu. Lelah karena kerja idealis yang dilakukannya tak kunjung
membuahkan hasil yang diinginkan. Bahkan malam itu ia mengharuskan diri untuk
mengenakan kacamata minnya yang jarang ia kenakan. Tulisan font ukuran 12 yang
biasa tampak jelas, akhir-akhir ini terlihat tambah buram dalam pandangannya.
Mungkin daya lihatnya telah menurun, Pikirnya.
Novel yang berbeda, Novel yang
diyakininya akan sangat ditunggu, begitu kurang lebih idealisme yang dibangun
untuk menyebut apa yang digarapnya sebagai karya terbaik. Ia berharap dan
sangat yakin bahwa suatu saat nanti novelnya bisa diterbitkan. Sebagaimana
novel penulis muda yang ia kagumi dan sangat popular saat ini. Dan keyakinan
itu tak perlu ia perlihatkan. Ia lebih memilih pembuktian daripada kata-kata
yang sering membebani.
Suatu saat muridnya juga pernah
menyarankan agar novel yang sedang dia susun diterbitkan. Lelaki dan sekaligus
guru muda itu hanya mengatakan “Kalau novel itu bisa diterbitkan tentu menjadi
suatu harapan semua penulis, tapi yang utama buat bapak adalah bagaimana kita
sebagai manusia yang diberikan kemampuan intelektual bisa memaksimalkan
kemampuan tulisnya dalam sebuah catatan. Tulisan atau catatan kita diterbitkan
dalam sebuah buku itu adalah suatu kebanggaan yang besar. Sebab catatan atau
tulisan yang kita buat bukan hanya bermanfaat untuk diri sendiri melainkan juga
bermanfaat untuk orang lain. Jawabnya di depan kelas saat dalam satu sesi
belajar mengajar.
Aku yakin aku bisa bersanding bersama
penulis-penulis besar sebagaimana El-Sirazy, penulis ayat-ayat cinta yang
namanya harum memenuhi jagat perbukuan negeri ini. Siapa orang yang tidak
mengenal Sirazy, itulah nama yang lekat dalam pikirannya. Seorang penulis muda
dengan karya monumental telah dibuatnya, karya besar diakui sebagai karya yang
masuk deretan karya-karya terbaik di zamanya. Karya peradaban yang menghentak
seluruh paradigma novel-novel yang ada sebelumnya sebab karyanya berada di luar
Mainstream.
Hampir satu tahun aku mengerjakan Novel
Idelis ini. Tapi yang kudapat barulah peta konsep. Sekian kali terjadi
[erubahan pada peta konsep. Tapi aku yakin, peta konsep ini ada;ah peta konsep
yang terakhir dan paling sempurna dibanding konsep-konsep yang telah dibuat
sebelumnya.
Dulu aku tidak berniat menjadi penulis Novel…!!!!!
Perubahan yang mendasar pada obsesinya. Awal ia mengajar di sekolah itu, ia
berobsesi menghasilkan artikel dan karya-karya ilmiah. Belakangan ia banting
stir ingin menjadi penulis novel. Sebuah dunia kepenulisan yang sama sekali
jarang ia sentuh. Bahkan bisa dikatakan satu novel belum pernah ia baca hingga
tuntas. Wajar jika ia sering mengalami kesulitan untuk menemukan pilihan kata,
sistematika dan semua hal yang terkaiy dengan novel. Perubahan ke dunia novel
salah satunya didasarkan pada pertimbangan bahwa dunia novel lebih punya
kebebasan berskspresi tanpa harus dituntut untuk mencari rujukanatau
sumber-sumber ilmiah. Terlebih jika novel yang ditulis adalah novel dalam
bentuk Fiksi. Novel jenis ini lebih punya kebebasan ekspresi disbanding novel
Non-fiksi. Lelaki depan computer itu sedang menulis Novel Fiksi. Sebut saja ia
dengan Novel Idealis. Seidealis penulisnya.
Tapi sungguh aku tidak mengerti dengan
apa yang terjadi denganku. Aku seperti sedang terbius oleh penyihir dimana aku
tak mampu keluar dari pengaruh sihir. Ujarnya disatu waktu. Laki-laki itu tidak
bisa melepaskan dan meninggalkan novel berikut komputernya. Ia telah terjerat
dalam ikatan Magis Novel Idealis. Sungguh ia tidak bisa melepaskannya. Hanya
lelah dan tidur yang mampu menghentikan aktifitasnya. Hingga mata kembali
terbuka ia akan kembali di depan computer. Bahkan hingga malaikat maut
merenggut nyawanya….!!!!! Ia akan terus di depan komputernya melanjutkan nafas idealismenya,
membangun nurani, menguatkan hati. Menguatkan logika menuju karya besar amanah
peradaban.
Lelaki depan computer itu kini sedang
berlinang air mata. Ia menangis sebab di usianya kini belum bisa membahagiakan
orang tuanya. TigaBulan yang lalu saat pulang, Laki-laki itu menolak dinikahkan
dengan Wanita pilihan Ibunya.
Mak…… Aku ga bisa
menikah sama Tri…???!!!!!
(Babakan Jaya Sukabumi 2007)
[1]
Arif Budiman, Guru MAN 21 Jakarta. Alamat Rorotan Cilincing Jakarta Utara.
Telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar