Ini adalah kegelisahan
pribadi, yang penulis yakini sebagai kegelisahan kolektif yang semesartinya
orang lain yang juga sama-sama meiliki potensialitas yang sama saat berbicara
tentang realitas moral di sekitar kita.. Aneh jika manusia berbeda dalam hal
ini. Saya kira saat manusia tak gelisah dnegan keadaan ini, yang terjadi pada
orang itu adalah manusia yang mengingkari hati nuraninya. Salah menjadi benar,
benar menjadi salah dan lain sebagainya. Pintar jadi bodoh dan lain sebagainya.
Ukuran ini menjadi berbalik atau diputar baik tanpa standar yang jelas. Hingga
manusia tak mampu membedakan criteria moral itu. Mana yang benar dan mana yang
salah dan seterusnya.
Tema moral adalah tema
abstrak yang ada dalam jangkauan ide. Ia berbicara tentang nilai yang berujud realitas
tak terindrawi. Ia adalah fenomena jiwa. Tentang baik benar, baik tidak baik,
patut tidak patut dan penting dan tidak penting. Dalam diri manusia telah ada potensi atau
kemampuan untuk membedakan dua hal. Tuhan menganugrahi manusia kemapuan otak
untuk memilah mana yang mengarah pada kenaran dan man yang mengarah pada
keburukan.
Interaksi mensyaratkan
adanya komunikasi dan kontak. Sementara pelaku interaksi itu manusia sebagai
mahluk super kompleks. Kata Koentjaraningrat ada tiga hal utama dalam diri
manusia yaitu Pengetahuan, Perasaan dan Dorongan Nurani. Maka setiap yang
dilakukan dalam kehidupan dan ruang sosial kita dipengaruhi oleh ketiga faktor
yang datang dari diri individu. Saya ingin menggunakan mekanisme interaksi ini
yang sebetulnya adalah kajian sosiologi sebagai alat analisis moral. Walaupun
sesungguhnya ia bisa dikaji dari aspek agama dan etika. Moral adalah entitas
dalam diri manusia yang merupakan potensi rasa dan dorongan Nurani.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa perilaku itu ditentukan oleh kerja otak dan
Jiwa yang padu.
Orang seringkali berbeda
dalam melihat ukuran Moral. Satu orang menilai pelangaran itu diganjar 3 hari,
yang lain diganjar satu minggu. Atau ada yang menialia jika anak melakuan
tindakan asusila itu sebaiknay dikeluiarkan dari sekolah. Ada juga orang yang
menganggap apa yang terjadi di lingkungan hubungan seks bebas, pacaran remaj
ayanf berlebihan. Berpacaran atau berciuman di pinggir jalan dinilai sebagai
hal yang biasa. Sejak kapan kita telah menganggap hal semacam itu sebagai hal
yang biasa. Bagi saya ini sangat menggelisahkan. Ini tidak sepantasnya
dilakukan sebab melegalkan atau mengijinkan hal itu terjadi sama saja kita
telah member kebebasan pada aksi bejat yang akan berkembang.
Hubungan atau adanya rasa
seksualitas adalah hal wajar, cumin batasa nilai kita. Ketimuranm kita sangat
mengatur adanya hal ini. Ada tempat ada waktu. Ada saat dimana itu akan lebih
indah dirasakan jika menempuhi sebuah aaturan atau ketentuan yang disepakati.
Intinya dunia social kita adalah dunia yang sangat menghargai aturan dan nilai.
Tanpa itu kita akan berantakan atau kacau balau.
Dunia maya yang hamper
setiap hari kita jelajahi adalah dunia tanpa tuan tak ada aturan atau norma
yang berdiri kooh diatas nilai yang sama. Yang ada adalah setiap individu akan
menemukan benturan nilai dalam internet dengan kemampuannya dirinay sendiri.
Pemerintah lewat Men Kominfo pernah membatasi adanya situs porno, nampaknya tak
mampu secara optimal sebab situs porno tetap dapat diakses dengan mudah.
Lalu bagaimana dengan
nasib moral anak-anak kita di tengah terpaan perubahan yang tak kenal waktu.
Memborbardir eksistensi banguann moral yang selama ini kita jaga.
Saatnya bangkit dan
menyadari bahwa keadaaan moral anak bangsa kita hari ini sngat memprihatinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar