PENDIDIKAN
DAN KEBANGKITAN NASIONAL:
Oleh: Arif Budiman[1]
Di
bulan Mei ini, ada dua peringatan hari Nasional yaitu hari Pendidikan Nasional
dan hari Kebangkitan Nasional. Melalui dua peringatan itu, ada dua tema yang
ingin penulis angkat dalam tulisan ini yaitu pendidikan dan perjalanan
kebangsaan (baca:Kebangkitan nasional). Perjalanan hidup kita sebagai sebuah
bangsa akhir-akhir ini telah menggerus ruang pemikiran kita. Panggung
kebangsaan kita saat ini masih diwarnai beragam pertarungan tak berkesudahan
dan intrik kepentingan. Korupsi dan penegakan hukum serta demokrasi masih
menjadi tema sentral pertarungan para elite politik yang biasanya dilakukan
semata untuk melanggengkan kepentingannya.
Refleksi
pertama, yaitu refleksi terhadap
pendidikan yang telah kita selenggarakan. Refleksi dalam dunia pendidikan ini
lebih merupakan refleksi keprihatinan terhadap realitas pendidikan yang tak
kunjung menuju kearah perbaikan. Pendidikan Indonesia terpuruk setidaknya
terlihat dari dekadensi moral proses pembelajaran di sekolah yang tak kunjung
beranjak pada paradigma pembangunan karakter. Kenyatannya pendidikan hanya
menyisakan kerusakan moral dan hanya berorientasi pada sisi material dan
cenderung mengabaikan unsur moral atau budi pekerti. Di lapangan pelaksanaan UN
dalam kenyataannya tak mampu menuju cita-cita kebangsaan itu tapi justru sebaliknya
justru sedang melahirkan lulusan yang dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan.
Keprihatinan
atas nasib dunia pendidikan jalin berkelindan dengan kondisi bangsa yang masih
sangat memprihatinkan. Realitas negeri yang tak kunjung beranjak menjadi negara
besar (baca: dihargai) sebagaimana saat kejayaan tempo dulu, kejayaan Sriwijaya
dan Majapahit. Jika itu terlampau jauh sebut saja kejayaan di Masa Kepemimpinan
Presiden Soekarno, bukankah Indonesia dalah Negara yang cukup dihormati dan
disegani. Mengharap kejayaan sebagaimana kejayaan tempo dulu yaitu masa
Majapahit atau Sriwijaya mungkin terlampau tinggi. Gapaian agar dihormati
negara lain saja, rasanya sangat sulit seperti kata pepatah lama “Api Jauh Dari
Panggang”. Mampu berada di depan
Malaysia pun terasa demikian sulit, disisi lain kita masih saja asyik dengan
nostalgia bahwa Malaysia dulu berguru pada kita. Sesudahnya kenyataan bangsa
kita hari ini sedang dipermalukan, dihina bahkan dilecehkan. Kasus terakhir TKI
yang terbunuh dan diduga ada penculikan organ terhadap ketiga TKI tersebut,
kembali merobek rasa kita sebagai sebuah bangsa. Dan kita hanya mampu diam dan
tak beranjak dari kehinanaan itu. Kita sudah bosan mengalami keterhinaan. Kita
inging keluar dari kondisi itu menjadi Negara besar, bangsa yang disegani,
berdaulat. Kuat dan kokoh.
Dan
semua keprihatinan pada nasib bangsa ini terjadi di sisi kehidupan berbangsa.
Dari sumberdaya alam yang dikuasai seperti Panas Bumi Sukabumi hingga Emas
Papua. Wilayah teritorial yang diobok-obok dari Sipadan-Ligitan hingga Ambalat
adalah fakta bahwa sesungguhnya bahwa bangsa Indonesia belum merdeka. Kita
masih dijajah oleh kepentingan-kepentingan asing. Kita masih diperlakukan
layaknya budak di negeri Sendiri. Dalam bidang olah raga (baca:sepak bila),
kita nyaris tak pernah bias berjaya atau mengungguli bangsa lain (baca:
Malaysia). Kekalahan dramatis Timnas Indonesia oleh Timnas Malaysia, tak juga
mampu mengembalikan aura kejayaan itu. Sesudahnya perseteruan di kepengurusan
PSSI akhir-akhir ini telah menyisakan polemik tak berkesudahan.
Negeri
kita adalah negeri yang kaya raya dengan sumber daya.Orang jawa menyebutnya
dengan ungkapan “Gemah Ripah Loh Jinawi” dalam kenyatannya masih dihuni
oleh ribuan orang-orang miskin yang jauh dari kehidupan layak. Sementara di
dekat mereka, ada orang-orang asing yang
berlebihan yang telah menikmati kekayaan bumi Indonesia. Pengiriman TKW ke
negara lain sesungguhnya adalah salah satu Indikator bahwa bangsa ini masih
sangat rendah tingkat kesejahteraannya. Yang kedua, pengiriman TKI ke luar
negeri menunjukan betapa kualitas Sumber daya manusia yang masih rendah. Sebut
saja kasus TKI Indonesia di Malaysia dan Indonesia sungguh sangat mencoreng
muka bangsa Indnesia tapi bangsa ini masih santai-santai saja dan tetap
mengirim wanita-wanita yang tak lain adalah ibu bangsa. Jika bekerja sebagai
tenaga ahli tak masalah tapi ini bekerja sebagai tenaga kasar seperti pembantu
rumah tangga atau sejenisnya. Sungguh itu sebuah kenyataan yang sangat Ironi.
Sebut saja kegetiran itu dengan Ironi Kebangsaan.
Sudah
saatnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukannya. Sudah saatnya lahir
pemimpin dan generasi tangguh yang amanah, cerdas dan memiliki tanggung jawab kebangsaaan. Karenanya
perjuangan melalui pendidikan menjadi mutlak dilakukan. Tapi jika pendidikan
justru “membusukkan dirinya” dan hanya mmpu mencetak manusia-manusia pembohong
karena kita yang mengajari kebohongan, jelas ini sangat kontraproduktif dengan
tujuan pendidikan sebagai penyadai atau pencetak generasi-generasi tangguh
untuk melanjutkan estapet kebangsaan (baca:kepemimpinan). Bagaimana jika
calon-calon penerus bangsa ini sejak dini telah diajak atau diajari ketidakjujuran.
Apakah pendidikan sebagai pilar utama pembentukan karakter kebangsaan masih
bisa diharapkan?
Jalan lain adalah mekanisme kebangsaan atau
jalur kenegaraan dimana dari sana kita berharap akan lahir pemimpin berwibawa
yang tegas sebagaimana Soekarno yang tegas dan berani terhadap Negara-negara
lain (baca: Malaysia) dan berbicara lantang tentang kehormatan bangsanya. Semua
unsur kebangsaan sedang sangat merindui pemimpin kuat dan disegani yang akan
memberikan bimbingan keteladanan dan member pengayoman pada harga diri bangsa.
Pemimpin cerdas yang bisa membaca kondisi rakyatnya. Pemimpin yang peka dengan
suara hati rakyatnya. Dan penguatan kepemimpinan yang kuat hanya terjadi lewat
pendidikan terbaik. Mudah-mudahan usaha pendidikan dan kebangsaan ini dapat memberikan
kontribusi berharga untuk kejayaan Indonesia.
Semestinya
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang melimpah dengan kekayaannya mampu berdiri
kokoh di hadapan Negara-negara lain. Sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit
dari keterpurukan dan beranjak menyongsong kejayaan dan kemuliaannnya sebagai
sebuah bangsa yang bermartabat dengan segenap potensi yang kita punya. Saatnya
bangsa Indonesia menyadari kekuatannya untuk secara berwibawa di hadapan bangsa
lain, disegani dan dihormati.
Kebangkitan
Nasional adalah momen kesadaran yang harus ditumbuhkan dalam Jiwa anak bangsa
tentang kehormatan jati diri bangsa. Kebangkitan juga adalah kesadaran bahwa sesungguhnya
kita masih di jajah. Kita belum mampu berdiri tegak di atas tanah dan kekayaan
negeri sendiri. Sebagian besar kita belum sadar bahwa sebenarnya kita bisa
lebih hebat jika kekayaan yang kita punya kita kelola sendiri. Maka tugas kita dan terutama pendidikan yang
paling penting adalah menumbuhkan kesadaran tentang diri kita sebagai suatu
bangsa.
Arif Budiman,
Penulis Novel “Gadis Madinah”
[1] Arif Budiman, Aktifis CENTER
(Community of Nation Character Building) atau komunitas Guru Untuk pembentukan
Karakter bangsa. Guru MAN 21 Jakarta.
Alamat Rorotan Cilincing Jakarta Utara. Telp. 02141872917. E-mail:
tirta_pawitra@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar