PASUKAN MISTERIUS
’98
Sebelum tahun 1098, Negeri Najantar masih terlihat damai
dan tenang, meskipun sesungguhnya banyak penyakit tengah diderita. Saat itu Taruna
Sembilan hanya mampu melihat seluruh kejadian yang ada pada negeri besar itu
tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara Taruna yang lain masih tersebar dalam
gua-gua gelap di pegunungan dan tepi pantai serta tersisih dari keramaian
Istana. Menekuni kehidupan Madras adalah satu-satunya favorit mereka, tempat
yang memungkinkan untuk dirinya menjalankan ajaran Tuhan. Selebihnya di Najantar
(baca: di luar Madras) nampak
arogansi kemanusian dan pengabaian nilai Ketuhanan menjadi pemandangan yang
lazim terlihat di kesehariaannya.
Para
Taruna yang rela mengembara dan tinggal di tempat tersembunyi dari keramaian
serta jauh dari modernitas. Dengan kerelaan itu para Taruna lebih merasa
bahagia daripada berlindung dibalik ketiak Marajutra dengan mengingkari diri
sendiri dan meninggalkan ajaran suci para leluhur. Makanan favoritnya ubi bakar
yang ia tanam sendiri. Dan secangkir teh hangat dipagi dan senja hari. Membaca
buku serta menulis puisi-puisi Indah tentang cinta dan kehidupan menjadi
aktifitas yang sangat menyenangkan. Saat peristiwa ’98, para taruna mencatat
dengan baik kejadian demi kejadian yang memiriskan tengah melanda negerinya.
Pesan guru untuk tetap dalam gua tentu baik untuk ditaati. Meski sebagaian
Taruna yang lain lebih memilih melakukan penyerangan ke Istana. Itupun harus
dihargai sebagai suatu pilihan. Yang memilih dalam gua didasarkan pada strategi
agar apa dilakukannya tidak terbaca oleh Marajutra.
Pejabat Korup, Menindas. Kemaksiatan menjadi-jadi, Korupsi
menjadi satu realitas yang nyata terpampang dalam kehidupan sehari-hari. Deretan
perilaku tersebut dibawa oleh para pengikut Marajutra, pemimpin empat bangsa
yang telah menjajah Najantar berabad-abad lamanya. Atas nama persembahan untuk
Gebasan, mereka menginjak-injak nilai-nilai peninggalan para leluhur. Merenggut
Air Kehidupan dari Istana Najantar.
Kelaparan di pelosok negeri adalah fenomena yang datang
menyusul, satu kondisi yang sangat berlawanan (paradoks) dengan kejayaan negeri
yang sering diceritakan sebagai negeri dengan kekayaan yang melimpah tapi masih
didapati anak negeri menangis kelaparan dengan perutnya yang membesar. Ibarat
sebuah pepatah ”Ayam mati di Lumbung Padi”.
Sungguh telah ada kebodohan yang sangat nyata pada para pengemban amanah
negeri. Para pemimpin yang lupa dengan kepemimpinannya. Pemimpin yang tidak sadar
dengan posisi kakinya dipijakakkan. Sungguh benar-benar suatu kebodohan. Bodoh
sebab semua kita tahu amanah harus ditunaikan, tapi saat amanah itu telah
mereka dapatkan, mereka tak mampu menjalankan.
Dalam
satu negeri dengan banyak kekayaan dan kesuburannya, tanaman tak dapat tumbuh.
Binatang piaraan tidak bisa beranak pinak. Penyakit berbahaya mewabah seantero
negeri. Sumber Air Lawendo sebagai sumber kehidupan negeri dan kebangaan Negeri
berubah menjadi Air Panas yang menghanyutkan sebagian warganya. Bahkan hingga
hari ini. Kerusuhan antar warga saling berebut Air dan lahan untuk kehidupan
mereka mewarnai negeri Najantar. Di tengah kondisi yang memilukan itu, para
pejabat lepas tangan dan tidak mau peduli dengan banjir air panas yang menenggelamkan
sebagian warga Najantar.
Peristiwa dan bencana itu menemukan titik puncaknya
dengan serangan mendadak Pasukan Misterius ’98. Pasukan Misterius ’98 adalah
momentum menuju perubahan, pasukan yang banyak diharapkan tapi ia juga
disayangkan sebab hadirnya sedikit banyak menyumbang penderitaan. Saat datang
pasukan 98 adalah saat yang baik bagi seluruh anak negeri untuk kembali pada
negeri Pertiwi. Pasukan yang tak dikenali alias tak teridentifikasi. Pasukan
itu hingga hari ini disebut dengan Pasukan Misterius ’98. Pasukan ini telah memporak porandakan Istana dalam kenistaan. Jalan-jalan
umum dan fasilitas umum mereka hancurkan, warga yang melawan tak ayal menjadi
sasaran kebrutalan mereka. Pasar-pasar dihancurkan. Gedung Istana juga mereka
serbu. Sore itu 6 tahun yang lalu adalah masa yang sangat mencekam jiwa. Sangat
menakutkan. Derap langkah pasukan ‘98 dengan kudanya menghentikan nafas warga.
Pasukan itu mengenakan kostum hitam tak teridentifikasi. Dalam situasi seperti
ini Para Taruna sebagina masih tersebar di tempat-tempat tersembunyi (termasuk Taruna Sembilan).
Air Suci sebagai unsur penting Istana telah dirusaknya.
Mereka datang dengan gerak yang sangat cepat. Menerjang secara membabi buta.
Meluluh lantakkan bangunan-bangunan penting Istana. Merenggut sumber Air Istana.
Pujangga Diwan yang sejak awal disingkirkan dari Istana,
memilih Madras (tempat belajar yang jauh
dari keramaian) bersama beberapa Taruna. Bertahun-tahun tinggal di Madras
hingga tiba saatnya kembali ke Istana menuntut perubahan.
Pagi di hari ketiga. Bulan Dekat Satu. Tahun 1098. Ksatria dan para murid Madras telah siap berkumpul,
bergabung dalam pasukan gabungan untuk satu tujuan yaitu merebut tampuk
kekuasaan yang kini ada di tangan pemimpin zolim, Sugarda yang sejak awal selalu bersama Marajutra. Rakyat pun ikut
bergabung memberi dukungan pada gerakan para Murid Madras. Pujangga Diwan
berada di garis terdepan, memimpin para Murid Madras yang tampak sangat bersemangat. Hari itu adalah hari yang
kesekian dalam rangkaian peperangan meruntuhkan membobol benteng Najantar yang
dijaga sangat ketat. Satu keyakinan selalu jadi pegangan bahwa mereka akan
dapat meruntuhkan tembok keangkara-murkaan
yang terbentang di depannya.
Di halaman nan Luas Madras Unzan, tempat dimana seluruh
pasukan dari berbagi Madras berkumpul.
Diwan tampak berdiri kokoh dengan penuh keyakinan. Ia
akan memulai orasinya. ”Saudara-saudaraku. Hari ini kembali kita berkumpul
untuk menunjukkan perjuangan suci.” Menyingkirkan keangkaramurkaan dan penjajah
dzolim di negeri ini.
Ini adalah hari yang ke Tujuh kita berada di luar benteng
Istana. Kita harus yakin bahwa kita bisa membobol benteng yang dikawal pasukan
Sugarda. Dukungan dari beberapa daerah di Najantar masih terus mengalir,
demikian halnya dengan pengiriman pasukan semakin menambah besar kekuatan yang
kita punya.
Sudah seharusnya, kita yang mengawal negeri, merebut
kekuasaan dan menyerahkannya pada penguasa yang sah. Yaitu baginda kita
”Pangeran Peradaban”.
Anda, adalah pengawal perubahan demi kejayaan negeri yang
sama-sama kita cintai. Jumlah kita kecil dibanding jumlah pasukan Sugarda yang
banyak dengan persenjataan lengkap. Tapi jangan pernah takut, sebab tuhan ada
bersama kita.
Pekik kebesaran membahana....!!!!!!
Hari ini adalah momen yang sangat tepat. Tepat sebab
nyawa kawan dan saudara kita telah dikorbankannya untuk kejayaan negeri ini.
Kemenangan itu akan datang.
Mereka yang telah berkorban untuk negeri kita doakan agar
Tuhan memberikan pahala yang setimpal di surganya.
Sebagaimana rencana semula, maka pasukan akan dipimpin
Taruna Satu dan Taruna Dua. Dan bergerak sesuai rencana.
Genderang pun dibunyikan bertalu. Ribuan Murid dari
berbagai Madras telah berkumpul tanda bahwa perubahan harus dimulai dari para
pemangku sejati yang suci memperjuangkan kebenaran dan tegaknya panji
peradaban.
Segera Taruna Taruna dan Taruna Dua dengan kudanya maju
ke depan pasukan yang telah ramai berkumpul. Siap memberi komando dalam aksi
penyerangan berikutnya. Target hari ini adalah membobol benteng Istana.
Diantara mereka ada yang mengenakan pakaian dengan kostum Hijau ada juga yang
berkostum Kuning sebagai warna seragam pasukan dengan perangnya dan
perlengkapan perang yang telah disiapkan. Pasukan berkuda ada dibelakang
mengawal pasukan yang berjalan kaki yang membawa genderang dan panji-panji
kerajaan serta simbol raja yang sah.
Hidup Najantar...!!!!!!
Hidup Najantar...!!!!!!
Taruna Dua meneriaakkan yel cinta negeri. Sembari
mengangkat pedangnya bersama Taruna Satu, Segera pasukan diberangkatkan menuju
Istana. Yel cinta negeri pun membahana seiring komando Taruna taruna yang
membahana membelah angkasa Najantar. Para Murid Madras terus bergerak menuju
Istana Najantar. Di belakang telah disiapkan gerobak pembawa persenjaataan dan
sebuah gerobak lagi membawa kayu gelondong besar untuk merobohkan Pintu Gerbang
benteng yang terbuat dari bahan yang sangat kokoh.
Sampai di depan Pintu gerbang Istana Najantar. Jam
menunjukkan pukul 10.00. Sekitar benteng tampak sepi. Mentari bersinar sangat
terik membakar para Murid madras yang sebetulnya telah lama terbakar api yaitu
api yang siap mengobarkan dan menghanguskan keangkaramurkaan dan
kesewenang-wenagan.
TARUNA TUJUH dan DELAPAN
SAAT YANG SAMA SEDANG BERADA DI TIMUR NAJANTAR KEKEH DGN PESAN GURU UNTUK TIDAK
SEDIKIT PUN KELUAR DAN CAMPUR TANGAN DENGAN URUSAN NAJANTAR.
Taruna Tujuh dan Delapan itu masih memilih gua sebagai
tempat tinggal di tepian pantai dan juga pegunungan sebagai tempat nyaman untuk
mempertahankan idealisme dan kehormatan leluhur. Menunggu saat tepat untuk
mengembalikan kejayaan dan kemulaian negeri pada tingkat yang sesungguhnya.
Jauh dan benar-benar menjaga diri agar tidak bersentuhan dengan segala urusan
yang terkait dengan Najantar. Utamanya Taruna Taruna. ia memilih mempelajari
kitab para leluhur dan belajar arti kehidupan dari para guru suci. Bercumbu
dengan temaram lampu dikala malam melahap buku-buku peradaban dan kitab-kitab
penuntun hidup, baginya itulah sebaik-baiknya pilihan. Paling tidak bisa
melupakan perlakuan kejam Marajutra terhadap para leluhur dan petinggi klerajaan
di zaman Ayahnya masih berkuasa di Najantar.
Ada Tiga ras manusia besar Najantar yang berhak atas tahta
Najantar. Pertama ras Jaba mendiami sebagian besar wilayah Najantar Selatan.
Beberapa tahun berdiri, Najantar berada dibawah kepemimpina ras Jaba. Ras kedua
di Najantar adalah ras Candra dan terakhir Ras Bula.
Semestinya Najantar dipimpin oleh oleh salah satu ras
besar itu. Bukan di luar Ras itu. Memimpin sendiri lebih banyak punya resiko
dipermainkan oleh negeri seberang Amrozar. Taruna tujuh dan Taruna Delapan
adalah keturunan Ras Jaba. Saat penyerangan di Istana yang tengah berlangsung
Taruna Tujuh dan Delapan tidak ikut dan ini menjadi tanda tanya besar Rakyat
dan warga Najantar pada umumnya. Sebab ada yang hilang dari kepemimpinan. Kita
tahu bahwa Taruna Satu dan Dua adalah keturunan ras Bula. Pujangga Diwan yang
selalu dijadikan tempat bertanya tentang keberadaan Taruna Tujuh dan Taruna Delapan.
Meski demikian Diwan bukan berarti berdiam diri. Ia
sangat paham tentang keberadaan Taruna Tujuh dan Delapan. Tapi ia sangat
menghargai kehendak Taruna dan penasehat atau gurunya untuk tetap di negeri
Jogala. Namun rakyat terus mendesak agar Taruna Tujuh dan Delapan dapat hadir
dan menemui mereka di Najantar. Atas permintaan ini, Diwan pun memenuhinya. Maka
dikirimlah utusan untuk menemui Taruna Tujuh dan Delapan di Jagola.
Katakan pada Diwan, bukankah dia juga tahu bahwa
kemenangan akan menjadi milik kita. Maka kehadiranku di Najantar sepertinya
belum perlu.
Tapi rakyat sangat menghendaki kehadiran tuan. Utusan
meminta kesedianan Taruna Tujuh untuk bersedia menemui rakyatnya.
Hal yang sama juga terjadi saat meminta Taruna Delapan
untuk datang di Najantar. Salam hormatku untuk Diwan. Aku dan kakaku Taruna
Tujuh, belum berkeinginan kembali ke Istana. Kami ingin menikmati negeri kecil
ini dibawah pemerintah yang sangat menghargai dan menghormati kami. Menjadi orang
biasa yang bekerja di ladang sebagaimana rakyat pada umumnya..!!!
Saya yakin Diwan mengerti apa yang menjadi kemauan kami.
Taruna Delapan mengakhiri dialog sore itu. Sementara utusan Diwan tak dapat
berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk dan menuruti apa yang dikatakan Taruna Delapan.
Sesudahnya berpamitan untuk kembali ke Istana Najantar.
SEMENTARA ITU, SORE
HARINYA
Taruna Sembilan punya kesempatan melihat lebih dekat
Peristiwa ‘98. sebab dari tempat tinggalnya perbukitan Cilian, ia dapat leluasa
melihat seluruh yang terjadi di Najantar. Taruna ke-sembilan, adalah salah satu
yang menyaksikan secara langsung kenyataan negeri yang mulai terpuruk dengan
rusaknya Sumber Air di Najantar. Banyak mata air kering, kalaupun ada air itu
justru menjadi racun bagi kehidupannya bahkan merusak tanaman. Banyak tanaman
rusak. Permintaan orang tua dan gurunya menjadikan taruna ke-Sembilan harus memperdalam
ilmunya untuk bekal kehidupan. Salah satunya adalah sumber Air Lawendo yang menggenangi
sebagian wilayah Najantar Timur dan menghancurkan lahan pertanian warga.
Di atas Bukit Cilian, Taruna Sembilan menyaksikan
bagaimana pasukan ‘98 membakar dan membumi hanguskan seisi negeri. Ibukota
mengalami kelumpuhan. Penduduk mengalami ketakutan dan trauma yang sangat
dalam. Taruna berkeinginan mencegah laju pasukan. Tapi selalu dia urungkan
niatnya sebab Mr. Guna melarang. Ratusan orang terbunuh hingga ribuan. Dan itu
terjadi di depan matanya. Tanpa bisa berbuat apa-apa.
Prajurit Istana pun Tiada biasa berbuat apa-apa. Tidak
ada yang mampu menghentikan seluruh kekejaman yang dilakukan. Di satu pusat
belanja Najantar berjaga beberapa aparat
Najantar. Mereka hanya bisa menyaksikan bagaimana bangunan tempat
perbelanjaan dihancurkan. Sesekali mereka hendak menghentikan gerak pasukan
tetapi hanya dengan tatapan tajamnya, pasukan ’98 mampu menghentikan langkah
aparat Najantar. Hingga tak mampu berbicara. Bahkan dengan tatapan itu membunuh
pun bisa dilakukannya.
Saya tahu pasukan ’98 bukanlah para Murid dari Madras
karena Murid Madras tidak ada yang memiliki keuatan itu. Meski gerakan pasukan
itu terjadi setelah adanya gelar pasukan oleh para Ksatria dari berbagai
madras. Guman Taruna Sembilan menepis anggapan banyak orang bahwa kerusuhan dan
kerusakan dilakukan oleh gerakan para Murid Madras. Rakyat biasapun bisa
menilai bahwa perbuatan ini bukan dilakukan oleh para Murid Madras. Murni
perlawan yang dilakukan Murid Madras semata-mata untuk membobol Istana dan
meminta Sugarda Turun dari jabatannya.
”Ke arah Timur menuju gua, Taruna berlari dan masuk ke
dalam gua serta mendapati paman masih asyik dengan Kitab yang dibacanya....”
Paman tidakkah paman melihat Najantar sedang dalam kehancuran, dan kesana kita
akan membantu!!!! Menyelamatkan yang dianiaya dan memapah mereka yang terluka. Taruna
Sembilan mendesak Pamannya untuk segera beranjak.
Masuklah kedalam dan pelajari lebih dalam ilmu main
pedang. Itu lebih baik darimu dan sangat bermanfaat.
Paman...!!!! Sesungguhnya aku benar-benar akan belajar
ilmu pedang. Dan itu terjadi dengan membantu saudara-saudara kita yang sedang
diserbu pasukan ‘98. Taruna Sembilan setengah memaksa. Pamannya belum menjawab
seperti ada kecewa dalam yang sangat dalam dirasanya. Rasa dendam pada Najantar
dan kecewa sedang di alaminya. Sehingga wajar jika Taruna masih saja berpikir
untuk Najantar tentu satu hal yang sangat bertentangan dengan harapan Pamannya.
Tidakkah kau bisa paham bahwa Najantar bukan lagi Najantar
yang dulu. Najantar sudah mati saat Najantar mau berlindung dibawah ketiak
Marajutra. Dan ketahuilah Pasukan ‘98 adalah pasukan Marajutra. Seandainya kau
keluar, maka saat kau jejakkan kakimu di atas bumi Najantar, saat itu pula
seluruh rencana besar kita akan gagal sebab Marajutra justru akan menarik
pasukannya di barisan depan serta menunggu putra-putra pewaris Najantar keluar
semua. Dan saat itulah ia kan membantai kalian semua....!!!!
Paman sepertinya sangat membenci Najantar????
Kenapa Paman.? Taruna menegaskan. Dan Mr. Guna tidak juga
bergeming. Dia tampak kecewa dengan pertanyaan Taruna Sembilan itu.
Jika benar paman dendam dengan Najantar, Apakah dengan
hanya diam dalam gua dan membaca Kitab yang paman banggakan itu bisa membalas
dendam paman.
Jaga mulutmu!!!! Mr. Guna naik intonasi Mr. Guna yang
berarti marah atas apa yang baru dikatakan Taruna Sembilan. Merah wajahnya
menyiratkan kemarahan itu dalam tensinya yang tinggi. Tidak biasanya pamannya
marah. Orang tua yang dikenal sangat lembut di hari-harinya, kini tampak sangat
marah. Tentu ini adalah hal yang sangat serius. Dan tentu ada rasa yang telah
lama dipendamnya terkait dengan Najantar.
Taruna Sembilan, kau adalah salah satu dari harapan kami
yang terpencar antah dimana. Ikatan Taruna yang ada kini telah tercerai berai.
Jika engkau meninggalkan gua ini dan pergi ke Najantar. Maka resiko itu akan
sangat berbahaya buatmu. Marajutra sedang mengintai keberadaanmu. Karena kau
adalah satu dari Ikatan Sembilan.....!!!! garis warna hitam yang melingkar di
lehermu (Taruna Sembilan meraba lehernya
dan menyadari telah ada garis hitam melingkar di lehernya) ...............
adalah garis Ikatan Sembilan. Dan ikatan sembilan adalah melekat sejak lahir di
leher para kstria. Ksatria yang akan menyelamatkan Najantar dari Begundal Marajutra
yang bengis dan kejam.
Diambilnya kitab ”Kadbala”
dari meja batu dihadapannya dan digenggamnya erat-erat. Sangat erat. Tiba-tiba
dari kitab itu keluar cahaya yang sangat terang hingga menyinari seluruh ruang
dalam gua.
Atas nama kitab ini. Pergilah jika engkau menghendaki
kembali ke Najantar. Tapi ingatlah satu hal. Darah yang mengalir dalam tubuhmu
akan kembali mengantarkanmu pada jalan para pewaris.
Tapi paman ......!!
Pergilah dan temui saudaramu. Mr. Guna memotong dan memberi kebebasan pada
jiwa Taruna untuk memenuhi ambisinya. Satu tempat yang hanya bisa kamu tempati
setelah kau bantu saudaramu adalah Madras. Sebab tempat itu adalah salah satu
tempat dimana saudaramu yang lain berada.
Taruna Sembilan, ketahuilah bahwa pasukan ‘98 hanyalah
pasukan bayangan yang sengaja dibentuk Marajutra. Simbol-simbol yang dia
kenakan pun atas nama Marajutra. Dengan cara itu Marajutra dapat kembali
berkuasa atau dekat dengan kekuasaan yang nantinya akan memimpin Najantar.
Pergilah. Tiba-tiba Cahaya dalam ruangan itu menghilang dan suasana dalam gua
kembali menjadi gelap.
Taruna Sembilan tercengang melihat apa yang terjadi di
depannya. Mr. Guna tampak sangat berwibawa dengan nada kerasnya. Seperti ada
sesuatu yang sangat dalam ingin dia ceritakan. Mungkin tentang sejarah para
leluhur yang sangat ia pegang teguh. Atau juga tentang cita-citanya yang hingga
hari ini belum terpenuhi.
Mr. Guna. Dimana engkau??? Mr. Guna....!!!!! Lengang
dalam gua. Tanpa suara. Tiba-tiba ruangan itu berubah menjadi sangat sepi sama
persis dengan ruangan gua yang tak pernah dijamah manusia.. Hening...?! Dia
telah pergi. Gumam Taruna Sembilan. Aku telah mengecewakannya, Maafkan aku
paman??!!! Taruna menyesali perbuatannya yang suka melawan dan menolak ikut
tergabung dalam pasukan langit. Kemana Mr. Guna perginya hingga hari ini tak
pernah terdengar kabarnya. Tentu dia sedang bersama kawan-kawannya membangun
idealisme dan melatih pasukan yang akan ia terjunkan saat melawan Marajutra.
Nanti di satu hari yang telah ditentukan. Selamat Berjuang Paman.....!!!!!!
Taruna bergegas keluar meninggalkan Gua yang telah lama
ditempatinya bersama Mr. Guna dan beberapa kawannya yang lain. Saat kakinya
hendak melewati batas pintui gua. Tiba-tiba muncul goncangan keras hingga
membuat Taruna nayris terjatuh. Taruan mengira di tempat itu ada gempa.
Diperhatikan situasi sekitar. Dan kembali goncangan keras dirasanya.makin keras
lagi tepat di depan pintu gua. Batu-batu gua berjatuhan dan diluar perkiraan Taruna
Sembilan gua yang terbuka tiba-tiba merapat untuk kemudian menutup tanpa
terlihat lagi sebagaimana cekungan atau lorong gua.
Tiba-tiba terdengar suara. Anakku... engkau benar sudah
saatnya kau turun ke Najantar dan bertemu dengan saudara-saudaramu. Ilmu yang
kau dapat di gua ini sudah cukup memadai. Suatu saat jika dalam dirimu
terbangun niat untuk menggunakan panah Sada, maka kau akan kembali mendapati
pintu gua terbuka......!!!! Berangkatlah. Taruna tertegun dan berucap untuk
mengiyakan apa yang disampaikan dari suara yang terdengar keras lagi lantang.
Ya... suara itu tidak lain adalah suara Mr. Guna.
Baik Paman.
Taruna Sembilan bergegas lari kencang. Membelah hutan di
bukit Cilian. Langit diatas Najantar terlihat makin memerah. Saat itu telah
menunjukkan senja sekitar jam 04 sore. Saat taruna masih berlari kencang
memastikan diri untuk membantu mereka korban dalam bencana oleh pasukan ’98.
Untuk memastikan arah Taruna berhenti sejenak dan melihat lorong sebelah barat
daya adalah arah yang tepat. Di depan pandangannya terlihat kepulan asap
bangunan warga yang terbakar. Asap itu membubung ke atas. Sesampainya di atas gundukan tanah yang relatif
tinggi Taruna dapat menyaksikan lebi jelas fenomena kerusakandan pengrusakan
yang dilakukan pasukan ’98.
Sungguh sangat biadab....! Taruna miris dengan apa yang
dilihatnya.
Semua sudah terlambat. Jasad terbakar bergelimpangan.
Bangunan, pasar, dan pusat kegiatan Istana habis terbakar