KEKUASAAN
NEGARA DAN MEDIA
(Peran Media Dalam Bangunan Sosial Indonesia)
Oleh: Arif Budiman
Era kebebasan pers, tidak selamanya member dampak
positif untuk kesehatan social. Tak jarang kebebasan pers menjadi racun yang
merusak sendi-sendi social. Salah satu bentuk kerusakan social itu adalah tidak
berfungsinya lembaga-lembaga dan system nilai yang berlaku dalam masyarakat
kita. Kita pun telah terbuai dengan era kebebasan sebagai pilihan terbaik yang
akan member keleluasanaan dan kesejahteraan dalam arti umum. Tapi kenyataannnya
sendi-sendi social itu mejadi rapuh dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai
pondasi bangunan social. Kegelisahan social
yang berlanjut pada kerusuhan social adalah buah dari hilangnya kesadaran pada
nilai budaya dan social kita. Ada nilai luhur yang terabaikan dan terlupakan.
Atas nama kebebasan, kita seolah telah menjadi manusia super yang mampu
menanggulangi yang ada. Seolah kebebasan itu telah menjadi tuhan itu sendiri,
masyarakat menjadi Tuhan dan kebenaran yang sejati ada padanya. Padahal tidak
demikian.
Sejumlah media baik surat kabar maupun elektronik
telah dengan sangat bebas memasuki ruang pandang dan dengar serta alam berpikir
kita. Bahkan keberadaanya telah menyatu dalam aktifitas keseharian kita. Ia
menemani hari-hari dan aktifitas kita, memberikan informasi dan juga motivasi
di satu sisi. Pada saat berikutnya media atau terutama dalam tulisan ini lebih
kepada media elektronik yaitu televise setiap saat tampil di depan mata kita. Tanpa
pernah kita bisa memahami akhir tayangan yang ditampilkannya. Jika tv swasta itu adalah media sebuah perusahaan,
maka tv swasta akan menjadi alat yang efektif untuk mengkampanyekan idea tau visi
perusahaan yang dipimpinnya. Jarang kita temukan sebuah media independen yang berdiri di atas sebuah
niat yang tulus dan murni menggapai kebenaran sejati.
Media telah memerankan begitu banyak peran-peran social
yang selama ini ada pada sosol seorang ustad, atau seorang Romo di Gereja atau
seorang biksu di Biara. Sebagai ilustrasi, saat kita membutuhkan ketenangan,
serta merta ada acara di tv (bukan acara agama) yang mampu menggantikan peran
tokoh-tokoh agama itu. Saya juga ingin bahas tentang adanya acara keagamaan di
TV, apakah benar acara itu berpihak pada pencarian dan menuju penemuan pada
esensi beragama itu sendiri.
Mee\dia telah menjadi penguasa dalam alam berpikir
kita, sehingga yang muncul di otak kita adalah apa yang ditampilkan media.
Sesungguhnya tida bermasalah Media itu merasuk dalam pikiaran kita. Hanya kita
telah menjadi sangat tidak menyadari bahwa dakwah yang sebenarnya adalah pesan
nilai itu dapat tersampaikan dengan sangat baik lewat media. Artinya belum ada
kesadaran yang utuh dari para tokoh agama untuk melihat Media ini sebagai alat
yang efektif dan super efektif untuk menumbuhkan gagasan tentang nilai
dasarnya.
Seperti acara lawakan dan komedi di tv, betapa
penetrasi media itu sangat kuat merasuk dalam alam sosal kita. Acara ini
menjadi trend setter nilai dalam masyarakatnya. Apakah kita tidak melihat
bagaimana perubahan pada anak-anak kita yang menjadi sangat semu dalam memahami
nilai. Tidak mampu lagi membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak atau
kurang pantas. Kasus Olga, seolah muncul di sebagain besar masyarakat bahwa
mencela menjadi hal yang wajar dan yang seperti itulah yang akan menghasilkan
uang dan seterusnya. Dianggap gaul dan lain sebagainya.
Media yang bebas telah mejadi alat politik tertentu,
dengan kemasan ilmiah sekalipun pada ujungnya tak mampu menyentuh esensi yang
memihak pada nasionalitas kita. Yang terjadi sebaliknya Media menjadi alat
provokasi dan corong bagi naiknya sebuah kepentingan. Sesungguhnya memang ada
yang salah dalam bangunan pemikiran kita tentang Indonesia. Apa keuntubgan yang
akan di dapat dengan menampilka aksi kerusuhan bahkan hingga berdarah ke khalayak umum jika bukan untuk
meruuntuhkan sebuah otoritas tertentu atau dalam hal ini adalah pemerintah. Di
saat yang sama hal itu memang perlu dilakukan saat pemerintah tak bisa tegas
dalam setiap kebijakannya.
Jadi ada dua yang salah, Media salah. Pemerintah
juga salah. Mengapa pemerintah tidak membangun sebuah gagasan yang sama dnegan
Media dalam arti berkolaborasi d untuk membnagun ide keindonesiaan yang sama.
Bukan kepentingan kelompok tertentu. Sya sedih sebab seringkali pemerintah
merasa dipojokkan media. Di saat yang sama pemerintah juga tidak mau berbaik-baik
dengan Media untuk membangun kultur yang terbuka.
Dalam tulisan ini , saya hanya ingin menyoroti
betapa Media yang ada saat ini demikian massive memasuki ruang dalam pikiran
kita. Sehingga melahirkan konstruksi keadaan yang tidak sehat dalam system dan
bangunan social kita. Media telah menjadi kekuatan yang lebih besar disbanding Negara.
Penguasa yang sesungguhnya negeri ini adalah kontruksi Media. Pemerintah tak
bisa berbuat apa-apa. Demo menjadi besar itu karena kekuatan Media. Maka
semestinya pemerintah membangun kolaborasi yang positif dengan Media, mengambil
kembali tugasnya yang selama ini dikuasai Media. Bukan sekedar siaran pers
untuk mengeluh atau curhat bahha drinya juag sedang sulit.
Tentang Pengajian di TV, sebuah catatan penting yang
ingin saya sampaikan. Benar bahwa acara itu jauh lebih baik ketimbang acara
lain itu. Namun sayangnya acara pengajian pun tak terlepas dari kepentingan
komersial yang sangat besar. Itu artinya pengajian itu menjadi kehilangan
esensin atau maknaya. Maka sebenarnya bukan pengajian yang tertanam dalam benak
pegajinya tapi unsure komersialisasi disana. Sejauh ini saya nilai lebih baik
sebab secara materi jelas lebih baik dibandingkan acara yang hanya menyuguhkan
obat penat sesaat, selebihnya bangunan sosiual dan budaya kita seolah
terabaikan. Nilai digoyang, kekuatan Budaya hilkang.
Sekali lagi Media harus dipandang sebagai penguasa,
bahkan Budayawan Qomarudin Hidayat mengatakan bahwa Media adalah salah satu
pilar demokrasi. Itu benar sebab Peran media benar-benar sangat efektif. Bagaimana
salah satu pasang cagub DKI memanfaatkan Media untuk kepentingan kampanye atau
pencariabn dukungan.
Saya kira sejauh ini semau sepakat dan sudah tahu
tentang efektifita s dan peran Media dalam hal ini. Yang jadi persoalan adalah
sedikit sekali yang mampu mengontrol konten Media dalam hall ini. KPI masih
cukup bernyali untuk menyerety dan mengoreksi Olga dalam penampilannya agar
memperhatikan etika dan aturan. Namun Media belum menjadikan system kritik itu
menjadi bagianyang include dlam system penyiaran mereka. Yang terjadi pihak
Media TV menunggu pengaduan setelah itu baru membatasi atau mengurangi siaran
dll. Di system Media kita belum ada kekuasaan Media dibawah bangnan Negara.
Media seperti bola liar yangt sesungguhnay sangat mengerikan dan lebih sangat
mengerikan sebab Media dalam arti yang lebh tinggi telah memasuki ruang yang
sangat privat bagi anak atau saudara-saudara kita. Seperti penayangan internet
yang bebas dll. Pemerintah terbukti tidk berdya dan takut dengan kecaman dan
lain-lainnya. Pemerintah tak berdaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar