INSPIRASI
BUNG TOMO
Oleh: Tirta pawitra
Sesungguhnya bukan semata terinspirasi oleh gaya dan
kata-kata Bung Tomo dalam pidatonya kala itu. Namun ada sebuah kenyataan betapa
kesadaran sebagai sebuah bangsa sedang berada pda titik tertinggi. Indikator perang
setidaknya menjadi ukuran bahwa pengorbanan tertinggi bagi negera adalah
penyerahan dan pengorbanan nyawa. Ini Nampak sangat nyata dalam situasi
kebatinan saat itu. Hal yang sama apakah mungkin kita akan menemukan dan
mendapatan semangat yang sama saat ini dalam konteks kebangsaan.
Apakah untuk menghadirkan semangat itu harus
menunggu, negeri ini dijajah oleh bangsa lain sebagaimana Inggris membombardir
Surabaya kala itu. Jawabannya bisa ia bisa juga tidak sebab ini sangat
tergantung dnegan pemahaman kita dalam memahami apa yang dimaksud dengan
pemahaman kita pada definisi tentang penjajahan. Jika penjajahan yang dimnaksud
adalah penjajahan militer sebagaimana kedatangan Inggris itu tentu hal itu
tidak sedang terjadi di negeri ini. Tapi jika penjajahan yang dimaksud adalah
penjajahan ekonomi, kesulitan anak bangsa di negeri sendiri. Itu hal yang
sangat lazim terjadi di seantero negeri. Realitas keterjajahan yang sebenarnya
justru kini sedang melanda negeri.
Itulah sebabnya mengapa semangat dan Inspirasi Bung
Tomo perlu dihadirkan dalam situasi keindonesiaan saat ini untuk menyadarkan
bahwa semangat zaman selalu sama. Selalu ada pihak-pihak yang mengekang dan
menghalangi langkah bangsa ini untuk maju. Ekonomi yang disetir oleh
kepentingan asing adalah kenyataan sejarah yang harus dilawan dan harus ada
kesadaran bersama tentang adanya situasi itu serta harus ada orang yang berani
berbicara lantang tentang kondisi negerinya agar sadar dan bangkit dari
keterpurukan bukan menjadi pelacur atau menyerah pda kepentigan-kepentingan
asing yag tidak pro rakyat jelata.
Ribuan nyawa jadi korban dalam peristiwa 10
November, adalah orang-orang yang bersatu hatinya dalam melakukan dan menolak
ultimatum Inggris untuk menyerahkan senjata. Ini adaa sikap rakyat jelata anak
bangsa meghadapi situasi aneksasi atau tekanan bangsa lain, hingga nyawa jadi
taruhannya. Harga diri bangsa lebih tinggi dibanding jabatan atau kedudukan
yang akan diberikan asing tapi tetap saja menjadi cukong atau suruhan asing.
Bangsa Indonesia semestinya menjadi bangsa yang kokoh di atas tanahnya sendiri.
Bukan menjadi pengemis di negeri lain yang dihinakan. Mereka para TKI yang
merantau di Negara lain seoleh memperspsikan bangsa ini sebagai bangsa yang
miskin, tak mampu membiaya kebutuhan hidup warganya sehingga janji keberhasilan
dan kesuksesan selalu dengan ukuran harus bekerja di luar negeri meski hanya
menjadi seorang babu sekalipun. Kenyataan ini sama artinya kita telah
mnghinakan diri sendiri. Seharusnya para petinggi Negara ini malu. Seharusnya
nasib mereka diperjuangkan dan bukan diam seribu bahasa dengan alasan softdiplomacy wlaupun yang sebenarnya
tak ada keberanian.
Sebelum muncul soal TKI di negeri ini, penjajahan telah
berurat dan berakar terlihat dalam penguasaan sector-sektor ekonomi penting, 90
% dikuasai oleh pihak asing dan pemerintah dengan mudah memberikan Ijin pada
perusahaan asing tersebut untuk mengeksploitasi kekayaan Alam Indonesia,
sementara kondisi ekonomi rakyat sendiri masih sangat memprihatinkan.
Ironi melihat proyek pertambangan di daerah Bekasi
Utara yang megah berdiri, sementara warga di sekitarnya miskin, rumahnya reot
bahkan nyaris roboh. Sementara mereka dengan mobil-mobil mewah tiap hari
melewati depan rumah mereka yang reot itu. Apakah ini yang dinamakan dengan
kesadaran berbangsa. Kesadaran yang sama sebagai sebuah bangsa.?? Yang ada
justru adalah antek-antek asing yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Itu
contoh kecil. Kasus pengerukan terbesar di negeri yang telah dilakukan asing
terhadap Indonesia adalah, eksploitasi Emas di Gunung Papua. Nasib warga Papua
dengan kontrak karya sampai tahun 2040, apa yang bisa dinikmati oleh warga asli
sebagai orang yang tiap hari mendiami wilayah tersebut. Yang ada justru
kelestarian adat yang dicabik-cabik oleh budaya asing atau budaya luar Papua.
Kehidupa ekonomi pun tak beranjak menju perbaikan. Sama seperti bunyi sebuah
pepatah “Ayam mati Di Lumbung Padi”. Jadi bangsa Indonesia justru menjadi
bangsa yang miskin dan menderita di tengah kekayaan alamnya sendiri yang
melimpah.
Ernest Renant mengatakan yang dinamakan sebuah
bangsa adalah ketika dalam setiap pribadi itu tumbuh semangat dan keinginan
yang sama untuk menggapai tujuan sebuah bangsa. Pertanyaannnya adalah apakah
ada keinginan yang sama dalam kehidupan berbangsa kita saat ini. Jika dalam
kenyataannya adalah hanya memikirkan kepentingan masing-masing golongan dan
kelompok atau pertainya sendiri. Adakah pemimpin yang akan lahir dan mendengar
dengan hati nuraninya berpikir tentang kepentingan bersama sebagai sebuah
bangsa, melakukan pembelaaan hingga titik darah penghabisan untuk kejayaan
bangsa.?
Ada yang hilang di negeri ini..? Tak ada lagi
semangat menggelora sebagaimana semenagat Bung Tomo dalam pidatonya sisertai
pekik Takbir. Pidatonya membahana di Surabaya mengobarkan perlawanan terhadap
anasir asing yang ingin kembali bercokol di negeri ini. Sesungguhnya bangsa ini
membutuhkan pemimpin yang kuat. Orang-orang pemberani yang berjuang dengan
penuh ketulusan untuk negeri ini ada kemaslahatan manusia. Sesungguhnya negeri
ini sangat merinduai pemimpin yang kuat yang mengobarkan kesadaran dan
kebangsaan akan angsanya. Mungkinkah ia sedang ada dan mulai muncul di negeri
ini. Akan pemimpin itu akan segera hadir dan memenuhi harapa-harapan kita untuk
kejayaan Indonesaia.
Selama banteng-banteng itu asih ada selama darahnya
masih berwara merah yang akan membuat secari kain putih menjadi merah putih
selama itu pula perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan neger ini akan
terus dilakukan. Allahu Akbar. ALlahu Akbar.
Merdeka..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar