EKSISTENSI
MENTAL
(Dari Ontology ke Epistimologi)
Oleh: Arif Budiman[1]
Sejauh ini belum ada klarifikasi
memuaskan tentang relasi antara penjelasan wujud dalam kaitannya untuk
menjelaskan eksistensi Tuhan. Di masa Suhrawardi, pembahasan ini menjadi sangat
elitis dan terkesan hanya dimiliki atau dipunyai oleh kaum atau kelompok
terpelajar saja[2].
Padahal Persoalan eksistensi atau keberadaan Tuhan adalah realitas tunggal yang
melampaui dan mengatasi semua persoalan yang ada di dalam kehidupan manusia.
Sehingga dalam hal ini sangat wajar jika pada akhirnya yang terjadi adalah
muncul persoalan ketuhanan sebab tiap
bagian menyatakan sebagai entitas sendiri dan mengakui otoritasnya sebagai yang
paling benar. Secara pribadi saya ingin membuat argumentasi ini agar tidak ada
rantai yang terputus (Missing Link). Karenya penjelasan ontologis dan kesadaran
pada aspek ontologism ini menjadi sangat penting, dan sesudah itu tetap ada
baiknya dan menjelaskan epistimologis.
Tinjauan
Sejarah
Perjalanan filsafat Islam atau filsafat memasuki dunia Islam
adalah sebuah realitas yang tak terelakan saat filsafat datang yang dibawa oleh
proses kebudayaan (sebuat saja helenisme). Saya kira pada masa inilah
persentuhan budaya itu mulai terjadi. Sebagai suatu cara berpikir, tentu bukan
sesuatu yang salah jika keberadaannya menarik untuk dipakai atau digunakan. Suhrawardi yang Plato atau Hikmah
Mutaaliya yang Plotinus. Filsafat pada
awalnya sangat concern dengan tema-tema yang sangat ontologism, seiring
perkembangannya, filsafat menjauh dari tema ontologis.
Wajibul Wujud oleh barat disebut dengan being. Sehingga
pembahasan tema ini sangat ontology. Kenapa ada wujud..? Pertanyaan ini
sesungguhnya berangkat dari kenyataan pada pertanyaan akan ada yang sesungguhnya.
Realitas. Sama pertanyaan para filosof pertama yang bertanya siapakah yang
hakikat. Siapakah ada yang pertama. Sejak saat inilah pertanyaan tentang ada
ontologis ini sangat penting.
Seluruh argumentasi ini berujung pada pembuktian akan
eksistensi Tuhan. Wujud zihni adalah mata rantai yang terputus itu dan luput
dalam kajian filsafat empirisisme sebab ketiadaan dan pengingkaran paa realitas
mental.
Pertama dalam makalah ini saya ingin memberikan
definisi umum tentang eksistensi mental. Eksistensi Mental adalah suatu hal yang universal, apakah
konsep atau penghakiman, yang dibuat dalam pikiran, dan, seperti yang kita
tahu, adalah eksistensi abstrak, namun, karena tidak memiliki eksistensi di
dunia luar, melainkan ada di tempat lain, yaitu, di pikiran.
Masalah eksistensi mental yang
memiliki dua aspek. Di satu sisi, ia memiliki dimensi ontologis, karena merupakan semacam eksistensi yang telah
melemah untuk sebagian besar dan kehilangan fitur dan efek dari eksistensi
eksternal. Namun, pada gilirannya sendiri - dan tidak bertentangan dengan
eksistensi eksternal - itu adalah eksistensi eksternal (sejak manusia dan jiwa
dan pikiran memiliki seperti sebuah eksistensi), namun, ketika kontras dengan
ada eksternal objektif, hal itu disebut jiwa eksistensi.
Di sisi lain, masalah ini
merupakan salah satu epistemologis
dan berhubungan dengan pembentukan pengetahuan dan kesadaran manusia dan
hubungannya dengan dunia luar.
Masalah eksistensi mental dapat
dilihat sebagai penghubung antara ontologi dan epistemologi, memperjelas
hubungan antara manusia dan dunia. Isu korespondensi antara dunia luar dan
pikiran ini diajukan dan dianalisis dalam bagian ini. Kebanyakan filsuf Muslim
percaya bahwa apa yang terbentuk dalam pikiran adalah intisari atau hakekat daripada
gambar, sehingga jika suatu hakekat mengacu pada ada eksternal dan, pada
kenyataannya, termasuk kategori pengetahuan, itu akan menjadi sama dengan
hakekat dari obyek eksternal yang telah ditransfer ke pikiran tanpa adanya
tujuan dan efek eksternal
Mulla Sadra membuktikan bahwa
perseptor, obyek mental yang dirasakan, dan pengetahuan, itu sendiri, adalah
sama dan satu. Saat ia, dirinya sendiri, mengatakan, 'intelek, subjek, dan dipahami' 'pengetahuan,
mengetahui, dan langsung dikenal (subjek)', atau dalam kesatuan dengan satu
sama lain. Masalah ini dikenal sebagai 'kesatuan intelek, cerdas, dan
dipahami'.
Ibn-Sina dan sekelompok filsuf
Peripatetik tidak setuju dengan teori ini, karena, menurut mereka, tidak ada
metode rasional dan demonstratif untuk membuktikan hal itu. Akhirnya, Mulla
Sadra menemukannya mulai mempelajarinya, dan dalam perjalanan dari wahyu yang
ia terima selama periode nya praktek asketis di pinggiran kota Qum (dalam 1.037
AH, ketika ia berusia 58 tahun), ia menemukan argumen terkait dan, mengikuti
pendekatan filosofis serta membuktikan teorinya
Dalam rangka untuk memahami
argumen Mulla Sadra dalam hal ini, yang pertama harus memahami arti dari
'kesatuan' (Ittihad). Jelas, persatuan dalam arti memiliki dua Existent yang
berbeda, objek, konsep, atau quiddities menjadi satu tidak mungkin dan tidak
masuk akal. Jelas, dua hal yang terpisah atau dua konsep bertentangan selalu
dua hal dan tidak akan pernah menjadi satu. Ini adalah keberatan yang sama dari
Ibn-Sina dan lain-lain menguat terhadap masalah ini, karena mereka menganggap
bahwa persatuan antara cerdas dan dimengerti adalah dari jenis ini
Dalam rangka untuk memahami
argumen Mulla Sadra dalam hal ini, yang pertama harus dipahami
adalah kesatuan (Ittihad). Jelas, persatuan dalam arti memiliki dua Existent
yang berbeda, objek, konsep, atau quiddities menjadi satu tidak mungkin dan
tidak masuk akal. Jelas, dua hal yang terpisah atau dua konsep bertentangan
selalu dua hal dan tidak akan pernah menjadi satu. Ini adalah keberatan yang
sama dari Ibn-Sina dan lain-lain menguat terhadap masalah ini, karena mereka
menganggap bahwa persatuan antara cerdas dan dimengerti adalah dari jenis ini
Mulla Sadra percaya bahwa
persepsi rasa memiliki tahapan yang berbeda: Tahap Pertama: Tahap ini terdiri dari
refleksi dari fakta-fakta eksternal oleh panca indera. Dia conceives tahap ini
sebagai efek dan refleksi dari sebuah gambar pada fotografi negatif, dan
mempertahankan bahwa itu terlalu sempurna dan rendah untuk disebut persepsi dan
menghasilkan pengetahuan bagi manusia. Tahap ini terdiri dari serangkaian
kode-seperti sinyal yang membuat gambar samar di otak (dan dalam kata-kata
filsuf awal ', dalam arti umum).
Tahap ini hanya setengah
melalui persepsi, dan empiris, yang menyamakan refleksi pada indera dengan
persepsi, sudah cukup untuk setengah dari apa yang sebenarnya terjadi, dan,
dengan demikian, mereka tidak dapat menyangkal proses lengkap persepsi.
Tahap Kedua: Pada tahap ini,
giliran jiwa manusia untuk memperoleh pengetahuan dari gambar-gambar dan kode.
Di sini, dua elemen penting yang diperlukan untuk persepsi akal: 'perhatian'
dan 'kesadaran'. Perhatian adalah fenomena psikologis, dan tidak ada
hubungannya dengan tubuh. Kecuali perhatian jiwa benar-benar terfokus pada
fungsi panca indera, tidak ada sinyal yang dikirim oleh mereka dapat dianggap
sebagai persepsi.
Eksisensi eksternal tidak bisa masuk
pikiran tanpa menurun ke tingkat eksistensi mental
Beberapa filsuf dan teolog
Muslim berusaha untuk menanggapi keberatan ini melalui beralih ke justifikasi
palsu, dan beberapa orang lain, karena tidak tahu jawabannya, benar-benar
membantah isu keberadaan mental. Namun, untuk memecahkan masalah, Mulla Sadra
dikemukakan salah satu karya filsafatnya yang juga dapat digunakan dalam
memecahkan kerumitan lainnya filosofis terkait. Oleh karena itu, masalah
eksistensi mental dapat dianggap sebagai salah satu inovasi sekolah Mulla Sadra
pemikiran.
Saya ingin menggunakan penjelasan Mulla Sadra misalnya saat
bicara antara mana yang lebih esensial atau mana yang realistas sesungguhnya.
Mulla Shadra dalam pandangan Hikmah Al Mutaaliyah melihat bahwa realitas tidak
saja dibatasi pada hal yang empiris atau yang rasional. Mulla Shadra melihat
bahwa yang riil adalah bukan semata yang ada dalam elam ekternal yang bisa
diukur sebagai pendekatan rasionalis dan empirisis. Bagi Mulla Shadra rang riil
itu juga terdapat dalam wujud mental atau menta eksisten. Berikutnya dalam pembahasannya, Mulla Shadra
juga banyak menyajikan gagasan tentang eksistensi mental.
Gagasan mental eksisten ini pula yang mendasari epistimologi
Mulla Shadra tentang bagaimana menjelaskan eksistensi tuhan dalam
keontologiannya. Tiga bangunan atau pilar dalam konsep ini misalnya dikatakan:
tentang persepsi, dan ittihadul aqil wa ma’qul.
Kenyataan atau preposisi lain yang mempertegas bahwa
sang Wujud menjadi penjelas tertinggi akan adanya eksistensi Tuhan adalah saat
eksistensi dan keberadaan manusia adalah keadaan yang terbatas semmentara Tuhan
adalah keberadaan yang tanpa bata. Keberadaan manusia adalah keberadaan yang
lahir atau merupakan iktibar dari kesistensi yang wajib atau Tuhan itu
sendiri. Mulla Shadra menggunakan Burhan
Assiddqiin sebagai upaya untuk menjelaskan eksistensi itu dengan pendekatan
yang sangat elegan.
Manusia dan segala makhluk adalah akibat dari Tuhan. Akibat dalam terminologi Sadra adalah wujud faqir. Maksud wujud faqir disini bahwa akibat secara eksistensi adalah faqir. tak ada wujud sama sekali di dalam dirinya sehingga akibat secara totalitas bergantung pada Tuhan. tak ada satu 'saat' pun dimana akibat berada pada posisi independen secara eksistensi. berdasarkan hal ini, maka setiap 'saat' segala entitas makhluk meminta wujud kepada Tuhan secara terus menerus. karena itu setiap 'saat' kita meminta eksistensi dan karena itu pula dari sisi Tuhan setiap 'saat' senantiasa memberikan eksistensi. Jadi, setiap saat eksistensi kita baru dan baru, dan karena setiap saat eksistensi kita baru dan baru maka pada hakekatnya segala akibat senantiasa dalam keadaan penciptaan yang baru. dalam irfan fenomena seperti ini disebut dengan 'tajaddud amtsal'. Hal ini senada dengan ayat Qur'an dalam surah arrahman; ayat 29 (apa2 yang ada dilangit dan dibumi senantiasa meminta kepada Allah swt) kemudian ayat ini dilanjutkan dengan (setiap 'saat' Dia mencipta).
Ontologi dan Epistimologi
Problem besar kefilsafatan adalah saat filsafat sebagai alat atau “tool” untuk memahami eksistensi Tuhan tak mampu memberikan jawaban memuaskan. Klaim kebenaran mencuat dengan ukuran yang dikodifikasikan oleh sekelompok ilmuwan yang menyebut dirinya kaum scientis dan mendasarkan pemikirannya pada bukti empiris sebagai ukurannya.
Padahal
realitas keilmuan yang empirisis ini terbukti gagal dan kini mulai ditinggalkan
sebab sejumlah fenomena memperlihatkan kegagalan itu. Capra misalnya banyak
bicara soal ini. Muthada Mutahari juga sangat detail menggambarkan kehancuran
atau borok-borok empirissme[3].
Dia malah menambahkan konsep ilmu pengetahuan melalui tanda.
Mulla
Shadra dengan Hikmah Al Mutaaliyah
atau Filsafat Transendent berusaha menjawab kebuntuan dan kemandegan Ilmu
pengetahuan itu. Sebagai filosof terutama filosof muslim melihat bahwa Filsafat
Mulla Shadra mampu menjawab mazhab filsafat sebelumnya baik mahzab Masyaiyah
maupun Isyraqiyah.
Kenapa
Epistimologi. Meski argument ontologi adalah sangat fundamental atau sangat
mendasar dalam peradaban dan ilmu pengetahuan modern bukan berarti antara
keduanya harus dipertentangkan. Menurut saya harus ada pengertian bahwa
ontologi dan epistimologi adalah satu kesatuan. Padahal yang menjadi objek dari
pembahasan epistimologi adalah epistimologi itu sendiri. [4]
Upaya
epistimologi adalah usaha untuk mensistematisir atau membuat susunan yang lebih
komprehensif tentang pemikiran tokoh dalam batas-batas yang lebih dapat
dipahami. Kenyataannya seringkali sebiah pemikiran terlihat “ngacak”. Karenanya
dengan Epistimologi ini akan membantu kita dalam memahami lewat alur pemikiran
yang secara umum diakui dalam ilmu pengetahuan dan kaidah ilmu pengetahuan yang
biasa dipakai.
Karenanya
tidak perlu mempertentangkan keduanya. Saya ingin membuat sebuah penggambaran
dengan analogi saya sendiri tentang epistimologi dan ontology. Jika aspek
filsafat itu ada tiga yaitu Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi, maka saya
ingin menganalogikannya sebagai suatu bangunan.
1.
Ontologi adalah sebuah bangunan
2.
Epistimologi Cara menjelaskan bagaimana
bangunan itu
3.
Arti atau kegunaan Bangunan itu sendiri
Tidak
perlu dipertentangkan diantara ketiganya. Saat kita telah melihat sebuah
bangunan yang berikutnya terjadi adalah seringkali atau bias jadi penjelasan
kita tentang bangunan pada orang lain tidak sama dengan apa yang kita lihat.
Yang juga seringkali terjadi adalah apa yang kita jelaskan dari bangunan tidak
sebagaimana mestinya, lalu apa yang terjadi seandainya cara kita salah
menjelaskan eksistensi Tuhan.???
Kesimpulan
Wujud Zihni adalah gagasan
fundamental dan tak pernah selesai dibahas para flosof. Dalam dan khususnya
filsafat Islam. Kajian Wujud menempati peringkat pertama sebab pemabahasan
wujud sama saja membahsa sesuatu yang sangat fundamental dalam agama itu
sendiri yaitu tentang Tuhan. Wujud dalam segala argumenatsinya berusaha
mewujudkan argumentasi bertanggungjawab tentang Tuhan.
Referensi:
Marias, Julian. History of Philosophy. New York: Dover
Publication, Inc. 1996
Yazdi, Muhammad Taqi Misbah. Philosophical Instructions: An Introduction
to Contempory Islamic Philosophy. Birmingham University Brigham University.
1999
Muthahhari, Murtadha. Pengantar Epistimologi Islam: Sebuah
Pemetaan dan Kritik Epistimologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan
Relevansi Pandangan Dunia.
Sains dan Peradaban Dalam
Islam. Seyyed Hossein Nasr. Penerbit Pusataka. Bandung.1997.
El-Haady, Aminullah Dr. Ibnu Rusd Membela Tuhan: Filsafat Ketuhanan
Ibnu Rusyd. Lpam (lembaga pengkajian
agam dan masyarakat). 2003
Jurnal:
1.
Jurnal Mulla Shadra, Nomor 5
Volume II, No. 5, 2012
2.
Jurnal Mulla Shadra, Nomor 4,
Volume I, 2012
3.
Kansz Philosophia: Jurnal For
Philosophy & Mysticsme. Pengalaman Rasional Eksistensi Tuhan: Pengantar
Ontoteologi. Fariz Pari. Volume 1 Number 1 tahun 2011.
[1] Arif Budiman, Mahasiswa S2
Filsafat Islam. ICAS-Paramadina. Disajikan dalam matakuliah Filsafat Hikmah Al
Mutaaliayah.
[2] Thesis Mulya, S2 Filsafat Fakultas
Ilmu Budaya UI. Tahun 2006
[3] Muthahhari,
Murtadha. Pengantar Epistimologi Islam:
Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistimologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah
dan Relevansi Pandangan Dunia
[4] Kansz
Philosophia: Jurnar for Philosophi and Mistiscisme. Agustus-November Tahun 2011. Volume 1 Nomor 1. Hal 113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar