HISTORISITAS AL-QURAN
(Membaca Modus Hermeneutika dalam Pemikiran Ahmad Wahib)[1][1]
Kesejarahann Al-Quran adalah upaya
pemahaman pada Al-Quran berdasarkan kesadaran sejarah. Ahmad Waib dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian
Ahmad Wahib yang diterbitkan LP3ES[3][3]
mengangkat kesadaran sejarah dalam kajian AL-Quran. Uraiannya tentang makna
Al-Quran menggelitik penulis untuk mengaitkannya dengan tema hermeneutika.
Sehingga menyebut Ahmad Wahib sebagai salah satu pemikir yang memiliki konsep
hermeneutika sebagaimana Nashr Hamid Abu
Zaid dan Farid Esack dan para
pendahulunya, rasanya terlalu dini. Tapi bahwa pemikiran dan pembacaannnya
terhadap Al-Quran memiliki kesamaan dalam prinsip hermeneutika sudah terlihat
dalam setiap catatannya. Kajian ini memfokuskan pada pembahasan dan pemikiran
Ahmad Wahid pada Al-Quran.
Biografi Ahmad Wahib
Ahmad Wahib adalah
tokoh yang lahir pada tanggal 9 November 1942 di Sampang, Madura dengan kultur
Islam tradisional yang masih sangat kuat. Ayahnya adalah tokoh yang berwawasan
terbuka dan mendalami secara serius gagasan pemikiran Muhammad Abduh. Kuliah di
Jogjakarta di Fakultas MIPA dan aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan.
Keprihatinannya pada kondisi pemahaman Islam mulai tumbuh subur saat dirinya
masih aktif tercatat sebagai mahasiswa. Ia adalah salah satu pemuda yang
memiliki keterbukaan dan toleransi yang tinggi pada agama lain. Mungkin karena
ia pernah tinggal di asrama Realino
di Jogjakarta. Ia bahkan pernah mimpi bertemu dengan Bunda Theresa. Selesai
studi di Jogja ia pergi merantau ke Jakarta dan mencoba peruntungannya menjadi
wartawan Tempo dengan gaji yang sangat pas-pasan. Meskipun begitu Ahmad Wahib
terus berusaha bertahan di Jakarta dengan tetap membangun idealismenya pada
nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Ia adalah tipikal pemuda yang sangat
bersahaja. Kontrakannya di Kebon Bawang Jakarta nampak sangat memprihatinkan
bahkan ia pernah menyatakan buku-bukunya yang dimakan rayap.
Konsep Hermeneutika
Membaca pemikiran Ahmad Wahib dan Hermeneutika
adalah narasi besar tentang bagaimana semestinya Al-Quran diperlakukan. Agar
ajaran Islam membumi dan memberikan solusi terbaik bagi peradaban bukan
sebaliknya. Hermeneutika berasal dari
kata hermes. Pertama sebagai sebuah konsep penafsiran dilakukan oleh orang
Kristen untuk menafsirkan Bibel. Dalam kaitannya dengan bangunan Hermeneutika.
Tokoh-tokoh pemula seperti Schliermacher,
Dilthey, telah meletakan dasar
pemikiran Hermeneutika.
Dari semua pandangan Hermeneutika
nampaknya kita mesti berhenti sejenak dan meminta salah satu para konseptor
Hermeneutika melirik pemikiran Ahmad Wahib. Adakah konsep Ahmad Wahib memiliki
prinsip-prinsip hermeneutika.? Tujuan penulisan ini juga tidak untuk menobatkan
Ahmad Wahib sebagai tokoh yang memiliki pemikiran mendalam tentang
hermeneutika. Tujuan tulisan ini lebih didasarkan pada pentingnya mengajukan alternative
pemahaman yang konprehensif dalam mengkaji al-quran. Jangan sampai al-quran
yang disalahkan sebagai biang kekersan atau terorisme yang melanda dunia. Tapi
sudah semestinya maksud al-quran dapat dibaca dengan pemahaman yang benar.
Tokoh seperti Gadamer mengungkapkan dengan gamblang betapa agama dan pemahaman
kita pada teks akan terkait dengan nilai historikalitas dan proses dialektika.
Heidegger
Fikiran manusia sangat dipengaruhi
Bejana lingkungannya. “Sipa saya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya”
bagaimana ia hidup dan menjalani kehidupan. Ketika manusia menemui sesuatu
dalam hidupnya. Missal seseorang menemui objek dengan cakrawala yang berbeda.
Masing-masing punya Pra Asumsi yang dibentuk dari Historikalitas yang berbeda.
Ini pondasi Heidegger.
Heideger melanjutkanya ke Fenomena
bahasa. Bahasa ini bersumber dari sang ada. Dengan bahasa mansuia bisa belajar
tentang realitas. Harus ada simbolisasi fisik untuk mendekati Tuhan. Menurut
Heideger bahasa adalah Rumah Ada. Kata Kang Hadi disebut Loudspeaker of Being. Sehingga dalam hal ini pemahaman kita
terhadapTuhan, dapat didekati dengan bahasa yang dipakai dalam suatu teks. Jika
itu diberlakukan pada teks agama misal Al-Quran maka Tuhan dalam kaitannya apa
yang dimaui sang Ada itu dpat dikethui lewat bahasa kitab.
Bahasa kita atau bahasa manusialah yang
terbatas, sementara realitas tak terbatas. Menurut Heidegger kita selama ini
terlalu diteorisasi. Ia menyarankan untuk mengabaikan teori-teori itu
berdasarkan fenomena. Nature wujud memang mengada, jadi sudah ada dengan
sendirinya. Ada itu kaya penyakit, karena dia tidak memperlihatkan sesuatu
dengan gejala. Misalnya gejala tipes yang terbaca.
Heidegger bicara realitas manusia
yang muncul secara histories dalam ruang dan waktu. Manusia tidak datang dari
ruang facum (kosong). Manusia ada dalam konteks kelingkunganya. Setiap orang
particular juga manifestasi. Karena manusia punya wawasan masing (baca Prasangka, maka memahami realitas).
Sehingga sangat sulit untuk mencapai kepahaman.
Realitas adalah manifestasi yang tak
terbatas. Bahasa juga manifestasi sang Wujud. Dalam bahasa yang terbatas
terkandung makna yang tanpan batas. Contoh jika ilmu Allah dituliskan, maka 7
lautan tidak akan mampu atau tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu Allah
tersebut. Setiap teks adalah manifestsi sang Wujud. Kita yang terikat ruang dan
waktu, tapi sang wujud itu tak terikat ruang dan waktu.
Biarkan yang ada bicara sendiri,
Heidegger adalah catatan kaki Mulla Shadra, artinya tentu betapa hal ini sangat
penting dalam pemikiran Mulla Shadra. Teks adalah Horizon sintesis antara teks
dan horizaon ----disebut FUSION OF HORIZON. Realitas sangat banyak
meyebabkannya tidak menggunakan Metode. Tujuannya sama tentu agar teks bisa
bicara secara leluasa tentang dirinya. Artinya metode yang diguakan selama ini
sama artinya telah menggunakan ukuran dan takaran yang sangat temporal, sementara
manusia adalah horizon yang sangat luar. Ia ada dengan dirinya. Latar belakang
pemikiran Gadamer antara lain
- Manusia temporal
- Bahasa itu merupakan manifestasi Ada
- Ekspresi dan makna yang tertangkap satu pemahaman individu, itu baru satu butir makna dari kekayaaan makna yang tersembunyi dalam ekspresi.
- Pemahaman manusia Bersifat Historis bukan Presuposisionals understanding
- Konsekuaensinya hermeneutika bersifat terbuka, produktif
- Understanding is co-eksistesial
Masih tentang Gadamer. Memahami menurut
GADAMER bukan produksi atau reconstruksi, penganut Mazhab ini adalah mazhab
rekonstruksi seperti dilthey, Schliemmacher dan Betti. Demikian halnya dengan
mahzab Romantis. Kritik estetik, kesengan dianggap sebagai persepsi. Kata
Gadamer saat aku meneliti realiata yang sangat kaya itu, kamu sendir telah
sangat membatasi realitas itu sendiri. Biarkan Bumi menjadi Bumi arrinya
biarkan fenomena yang ada bicara dengan dirinya sendiri. Tanpa kita
mengintervensi apalagi merubah maknanya. Fusion of Horizon, peleburan Horizon
kita hidup dalam tradisi. Kita dibentuk oleh tradisi dalam pemahaman. Saat
berhadapan dengan teks, Ini adalah satu Horizon, tapi saat kita memahami buku.[4][4]
Dari uraian diatas dapat kami
dirangkumkan beberapa pokok pemikiran hermeneutiki untuk dijadikan alat atau
kacamata untuk meneropong Pemikiran Ahmad Wahib, antara lain:
1.
Adanya Latar Belakang
Hermeneutika
2.
Adanya Upaya
Penafsiran
3.
Adanya Upaya Memahami
4.
Adanya Upaya
Rasional/Filosophis
5.
Adanya Upaya Melawan
Doktrin
6.
Adanya Upaya
Penggalian Makna
7.
Adanya Keinginan yang
Sama tentang Beragama yang Benar
Tokoh terakhir yang secara khusus
menerapkan ilmu Hermeneutika ini dalam penafsiran Al-quran semisal Fazlur Rahman, Farid Esack dan Nashr Hamid Abu Zaid. Tersebut pertama justru
merupakan guru dari Nurcholish Madjid yang merupakan teman dekat Ahmad Wahib
saat aktif di HMI. Tokoh-tokoh tersebut memiliki konsentrasi yang sama yaitu
tetang Islam dan pembaharuan. Meskipun Ahmad Wahib menilaib Nurcholish Madjid
mengalami perubahan orientasi pemikiran[5][5].
Setidaknya melihat dua tokoh Wahid dan Nurcholish Madjid menarik sebab kedua tokoh
ini sesungguhnya sama-sama memiliki pemikiran agama yang dalam. Namun karena
faktor publikasi lah yang menjadikan Ahmad Wahib kurang dikenal di kancah
pemikiran. Ditambah Nurcholish Madjid pernah menjabat ketua HMI saat di IAIN
Jakarta selama dua kali masa kepengurusan.
Saya ingin melihat Ahmad Wahib dengan
tujuh kacamata hermeneutika sebagaimana yang secara umum telah sama-sama kita
baca:
A. Latar Belakang Penafsiran
Terhadap Al-Quran ( sebuah Tinjauan Umum)
Ahmad Wahib prihatin nasib umat Islam
sebab Islam sebagai agama dengan penganut mayoritas di Indonesia tidak mampu
memberikan kontribusi yang nyata bagi bangsanya. Setidaknya ada beberapa hal
yang baginya cukup meggelisahkan dari umat Islam Indonesia, antara lain:
Penafsiran yang salah artinya kondisi
umat Islam yang salah dalam memahami agamanya. Ahmad Wahib membangun argumen
yang cukup keras (baca: kontroversial).
Di salah satu pernyataannya ia mengatakan Jika nabi Muhammad adalah seorang
filusuf maka kata-katanya adalah abadi. Namun nabi Muhammad katanya hanyalah
seorang kepala pemerintahan pada masanya, maka segala kebijakan dan
perilakukanya hanya tepat pada zamannya. Disini Ahmad Wahib ingin mengatakan
bahwa Al-Quran bukanlah teks yang langgeng dalam arti praktis (Fi Kulli Makan, Wakulli Zaman). Apa yang
diceritakan dalam Al-Quran adalah cerita zaman atau masanya. Sehingga ketika
menerapkan Al-Quran untuk zaman sekarang tidaklah relevan. Dalam Ulumul Quran,
A.H. John mengutip satu kata yang cukup mendasar. Seandainya nabi Muhammad
hidup pada masa kini, maka beliau sangat prihatin. Dalam kata-kata ini
terkandung makna bahwa praktek agama umatnya tidak seperti apa yang
dikehendakinya.
Inti Pemaknaan Ahmad Wahib Kesejarahan Al-Quran
Ahmad Wahib tidak membuat pembedaan
yang tegas antara Sunah dan hadits. Tapi ia memiliki pemikiran yang cukup unik tentang
Al-Quran. Pemikiran ini didasarkan pada keprihatianan penafsiran Ayat dalam
Al-Quran yang terkadang hanya menjadi justifiksi bagi kekuasaan dan kepentingan.
Al-quran diartikan secara leterlijk. Padahal saat ayat AL-Quran diartikan
secara apa adanya akan menimbulan banyak persoalan. Contoh yang diajukannya
adaalh Negara teokrasi oleh rasulullah dengan mendirikan negara teokrasi sebab
situasi saat itu memang mengharukan untuk membentuk negara teokrasi itu, tapi
tidak tepat jika hal itu diterapkan pada zaman ini. Tidak ada alasan mengapa ia
membuat contoh negara teokrasi. Kemungkinan situasi saat itu adalah masa-masa
rusuh pasca revolusi 1965.
Kesejarahan AL-Quran menurut Ahmad
Wahib dibangun dari pemahaman akan prinsip-prinsip sejarah. Pertama, ia
menekankan aspek Historical Setting.
Ia termasuk yang meyakini bahwa ayat-ayat dalam Al-quran itu turun dalam
situasi zamannya. Ahmad Wahib menyebutnya dengan istilah meruang dan mewaktu.
Historical Setting adalah setting waktu atau zaman yang melingkupi suatu
kejadian yang dalam hal ini dimaksud adalah ayatnya. Jadi al-quran harus
dipahami dalam konteks historis yang melingkupinya atau situasi zaman masa itu.
Aspek kedua Ahmad Wahib tentang sejarah
adalah proses ideation yang artinya
mengambil ide-ide, makna dan prinsip-prinsip sejarah. Proses ini dalam
pemikiran Nashr hamid Abu Zaid bahwa dalam teks itu mengandung Makna dan Maghza. Sehingga dalam proses penggalian makna seorang penafsir
akan diajak pada zaman Rasulullah dimana teks itu ada dan dari sana ia akan
mengambil makna. Dalam proses pengambilan makan ini, Ahmad Wahib mengajukan
perlunya ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, politik dll sebab permasalahan yang
dihadapi sudah sangat kompleks sehingga membutuhkan pendekatan yang
multidisiplin.
Aspek ketiga, Ahmad Wahib menawarkan
gagasan yang sangat fundamental (baca: cemerlang) Pertama dikenal dengan
istilahh historical direction. Apakah
ini sama dengan gagasan yang dibuat oleh Fazlurahman dengan konsep double movement, yang oleh Fazlurrahman
dimaksud sebagai mengambil makna pada zaman dimana teks itu ada dan membawa
makna itu pada masa kini. historical
direction yang dimaksud Ahmad Wahib adalah bagaimana sejarah Rasulullah
kita gunakan untuk menuntun dan menentukan sikap dan perbuatan pada masa kini.
Dengan cara ini, maka umat islam tidak
perlu melakukan kesalahan dalam penerapan ajaran Islam yang benar sebab yang
dilakukannya adalah sesuai dengan makna yang sebenarnya. Hari terpampang di
depan mata bagaimana agama itu tampil sangat mengerikan. Ia ibarat monster yang
siap membunuh siapapun yang menentangnya. Agama bukan lagi membawa kedamaian
dan rahmatan lil alamiin.
Aspek keempat pemikiran Ahmad Wahid
adalah Comunication with God, yang
dalam konteks ini Ahmad Wahib dinilai sebagai pengikut ajaran Ahmadiyah garis
Lahore yang meyakini masih ada wahyu setelah nabi Muhammad. Padahal dalam
al-quran sangat jelas menyatakan bahwa nabi Muhammad adalah penutup para nabi.
Terlepas dari perdebatan itu bahwa ada satu situasi saat manusia telah pada
tahapan dimana tingkat intelektualitas itu sampai pada level yang sangat
dimungkinkan baginya menggapai kebenaran yang hakiki sebagaimana nabi dan rasul
juga manusia-manusia pilihan. Dalam konsep ini tentu kita hanya meyakini bahwa
itu terjadi hanya pada manusia-manusia sempurna yang bias menjaga ahlak dan
keilmuananya pun di luar manusia biasa. Ibnu Sina menyebutnya dengan tingkatan
intelelek yang menjadikan tiadanya batas antara Tuhan dan manusia. (Isyarat Wa Tan Bihat[6][6])
Pemikiran Ahmad Wahib yang bekaitan
dengan pemikian sejarah terlihat dalam beberapa argumentasinnya antara lain: Pertama, Quran sendiri ia pandang
sebagai sejarah Muhamamad. Dan pandangan ini memberi dampak pada argumen yang
otomatis sejalan dengan argumen pertama. Kedua
Shalat olehnya dipandang sebagai kegiatan memahami dan mengkaji sejarah
Muhamamad. Demikian halnya puasa ataupun haji ditempatkannya dalam konteks
pemahaman terhadap sejarah nabi Muhammad. Ketiga, Al-Quran sebagai puisi
Muhammad, yang itu artinya memberi julukan bahwa Rasulullah adalah Penyair.
Nashr Hamid Abu Zaid punya analisa yang kuat.
Kesejarahan Al-Quran tentu dapat
dibenarkan dalam beberapa aspek seperti rasulullah hidup dalam ruang dan waktu.
Yaitu di Hijaz. Ini unsure utama sejarah, karenanya Al-Quran yang diturunkan
pada waktu itu mengandung unsure sejarah. Tidak perlu juga merasa takut bahwa
saat rasulullah hanya sebagai manusia sejarah bukan berarti mengkerdilkan
rasulullah. Sebab sebagai manusia sejarah rasulullah telah meninggalkan makna-makna
mendalam. Walaupun di aspek yang lain rasulullah juga melakukan tindakan yang
hanya tepat untuk zamannya. Ia melakukan tindakan sesuai zamannya.
Mudah-mudahan bisa memberikan cabaran
yang lebih baik jika dalam tulisan ini juga menyinggung pandangan Ayatullah
Muhammad Baqir Shadr dalam bukunya “Paradigma
dan Kecenderungan Sejarah dalam Al-quran” dengan mengatakan bahwa Al-Quran
itu memiliki norma-norma sejarah. Bahasa Al-Quran adalah bahasa yang mengandung
hukum-hukum sejarah seperti dorongan perkawinan, keberagaman. Dalam poin
pentingnya Ayatullah Muhammad ingin mengatakan bahwa memahami kesejarahan
termasuk dalam hal ini kesejarahan Al-Quran akan mengaktifkan daya pikir
manusia dan tidak mudah pasrah dengan keadaan hanya karena keyakinan bahwa
Tuhan sudah menggariskan di dalam Al-Quran. Sehingga dalam hal ini Al-Quran
memiliki nilai aktif yang memotivasi manusia dengan nilai-nilai sejarah. Muhamad Bagir Shadr secara nyata
menngunggulkan cara memahami Islam yang benar itu dengan penafsiran Maudu’i.
Ahmad Wahib menolak teokrasi karena basic demand pada masa nabi berbeda
dengan basic demand pada masa kini.
Muhammad Baqir Shadr kurang lebih juga memiliki pandangan yang sama dengan
mengatakan bahwa Nabi menjelaskan teori-teori dalam Al-Quran dengan cara yang
sesuai dengan lingkungan beliau di masa itu.
Nash Hamid Abu Zaid
Pemerhati dan juga
pemikir aktif Hermeneutika ini rasanya paling produktif. Beberapa karyanya
cukup menyisakan ruang diskusi dan perhatian umat Islam yang cukup besar.
Bahkan ia hidup satu zaman dengan Ahmad Wahib. Nashr Hamid meinggal belakangan
pada tahun 2011. Karenanya, menhadirkannya sebagai penyulut pemikiran
hermeneutika ini, menjadi sangat relevan. Dalam hal ini kajian Nashr Hamid Abu
Zaid tentang perbudakaan rasanya cukup relevan dijadikan pembanding bahwa
perbudakan ada sebab masa itu memang sedang tumbuh kuat budaya itu. Tahapan
yang dibuat Nashr Hamid misalnya. Pertama,
Kedua, Ketiga dan Kempat. Terakhir, Dalalah atau kesimpulan bahwa
perbudakan ditolak sebab tidak sesuai dengan zamannya. Zaman ini tidak tepat
lagi melakukan perbudakan.[7][7]
Shalat adalah kegiatan mempelajari dan
mengkaji sejarah Muhammad, pemikiran ini tidak ditemukan dalam pemikir Islam
manapun. Dalam hal ini akan timbul satu penilaian bahwa Shalat menjadi hanya
memiliki makna yang sempit. Shalat hanya berarti proses mempelajari, memahami
dan mengkaji sejarah rasulullah. Penolakan padanya didasarkan pada makna yang
luas tentang shalat. Kritik padanya adalah jika ia diartikan sebagai sekedar
mengkaji sejarah Muhammad, apakah itu juga bisa dilakukan dengan seminar-seminar
atau diskusi tentang Muhammad. Sejauh (dalam catatan hariannya) ini Wahib belum
membangun konsep atau argumen yang kuat tentang Shalat yang dimaksudnya.
Ahmad Wahib juga memberikan contoh
tentang relevansi fiqh. Baginya fiqh yang ada selama ini adalah fiqh Muhammad
dan hanya sesuai dengan konteks dan zaman Muhammad. Karenanya dengan tuntutan
waktu yang ada saat sekarang ini perlu adanya fiqh baru.[8][8] Fikih
Muhammad adalah hasil sekulerisasi Transformatif terhadap ajaran Tuhan dalam
situasi zaman Muhamamad pada abad ke-14 Masehi.
Kontroversi Tak terhindarkan
Setelah meninggal, catatan harian Ahmad
Wahib dibukuka Djohan Efendi. Saat itu ada dua naskah yang bersamaan waktunya
dengan Naskah Soe Hok Gie, aktifis pergerakan tahun 1965-an. Unik sebenarnya
sebenarnya kedua tokoh ini, oleh karena memiliki idealism yang sama tentang Negara.
Soe Hk Gie lebih sangat konsern dengan gerakan politik dalam perpektif
sosialisme yang kuat. Sebuah catatan juga bahwa pada masa itu rupanya pemikiran
sosialisme sedang sangat digandrungi. Soekarno dalam kepemimpinan dan politik
Indonesia sangat nyata terpengaruh akan idiologi ini. Sebut saja konsepnya
tentang Nasakom.
Pelajaran menarik dari Wahib ini adalah
betapa ia telah menyuguhkan ide tentang pentingnya sejarah. Ide yang
sesunguhnya sangat original bahakan para pengkaji sejarah belum ada yang secara
khusus dan berani menyebut kitab suci sebagai teks historis. Bahwa yang
dilakukan manusia adalah aktifitas historis. Ini menunjukan demikian intens
Ahmad Wahib memandang pentingnya sejarah. Tugas manusia berikutnya dalam
konteks historis itulah yang penting seperti mengambil makan dan
mengamalkannya. Saat itu terjadi adalah saat dimana manusia dapat mengamalkan
ajaran yang benar sesuai denan tuntutan zamannya masing-masing yang berbeda.
Sejarah adalah sumber inspirasi yang dikemas dalam tiga istilah penting yaitu historical setting, ideation, direction dan
comunication with good. Pada dasarnya sejarah Muhamamd adalah sumber
inspirasi yang mengarahkan dan menggerakkan umat Islam dalam segala
aktifitasnya. Pada akhirnya manusia diposisikan sebagai pengambil pelajaran
dari peristiwa-peristiwa sejarah itu dan dijadikan dasar dalam bertindak atau
berperilaku. Dengan cara pandang yang sama apa yang dilakukannya (kita) pada
dasarnya adalah tindakan yang terikat ruang dan waktu.
[1][1] Hasil
Penelitian saat kuliah di jurusan Sejarah UNJ
[2][2] Arif
Budiman, Mahasiswa S2 Ilmu
Agama Islam ICAS-Paramadina. Alamat Kp Sarang Bango Marunda Cilincing Jakarta
Utara telp. 02141872917. E-mail: tirta_pawitra@yahoo.co.id
[3][3] Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian
Ahmad Wahib, diterbitkan oleh LP3ES. Penerbitannya menimbulkan kontroversi.
[4][4] Ini
adalah rangkuman hasil kuliah Hermeneutika, Dosen Hadi Kharisman
[5][5] Dulu Noercholish Madjid sangat benci dengan
Amerika, setelah diundang untuk study banding, Noercholish berubah. Pergolakan
Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad wahib. LP3ES. Jakarta.1996
[6][6] Tema
ini juga disampaikan saat Diskusi
Periphatetic Philosophy. Prof. Abdel Azis Abaci. Beliau mengatakan bahwa
Jiwa yang makin sempurna akan mampu mengantarkan manusia pada Akal Pertama (The First Intellect).
[7][7] Lima
tahap metode hermeneutika dalam kasus perbudakan ini diambil dalam Makalah Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Dalam “Diskusi
SelasaSore” yang dipresentasikan oleh Tijani.
[8][8] Ahmad
Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam:
Catatan Harian Ahmad Wahib. Edisi Cetak Ulang yang diterbitkan atas
Kerjasama dengan Freedom Institute. Jakarta:Pusataka LP3ES. 2003. Hal 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar