TERUSIR
Di Rumah Sendiri
Oleh: Tirta pawitra[1]
Hari ini Minggu, 8 Pebruari 2015, aku
berulang tahun. Aku pulang ke rumah di Jawa. Aku pulang karena ada sesuatu yang
ingin kuantar. Sebulan lalu, saat pindahan ke Jawa, Bapak minta motor yang tak
terpakai di Jakarta itu agar bisa dibawa ke Kampung. Kini Motor ini telah
kubawa sesuai pesan Bapak. Maaf beberapa kali aku membuat ketidakpastian akan
kepulanganku sebab jasa paket pengiriman yang berbiaya mahal dan kuputuskan untuk mengantar motor ini langsung
ke Jawa dengan Bis.
Hari minggu jam 10.00 aku sampai di
Kebumen. Bus terlambat karena mogok di wilayah Larangan Brebes. Karenanya aku belum sampai rumah dan hari itu
juga, minggu sore harinya aku mau
langsung pulang balik ke Jakarta sebab senin harus kembali kerja. Ma, kau
Nampak lebih kurus..? Tentu karena engkau lebih lelah hari-hari ini. Engkau
kulihat diam sebagaimana diammu saat menunggu pembeli di warung kita tempo hari
saat di Jakarta. Emang ngga ada pembeli apa gimana?
“Iya begini dagang di Kampung.., sama seperti di Jakarta pembelinya satu dua
orang saja. Tapi disini kan mending dari pada di Jakarta yang sudah sepi
pembeli, suasannya juga tidak nyaman karena ramai kendaraan. Sepi dagang di
Jakarta sebab posisi ruko yang tidak strategis, kedua karena belum ada
pelanggan. Aku tahu di Jakarta memang tidak setenang di tempat ini sebab ini
adalah rumahmu. Ini tempat tinggal yang biasa kautempati bersama kekasih
sejatimu, Dia, lelaki yang beruban itu adalah kekasihmu. Lelaki yang selama ini
telah dengan sangat setia menemanimu.
Mama, jangan salahkan beliau (Bapak)
yang kini sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Walau karya beliau membuat
grobokan sering tak masuk akal dan di luar nalar kita, sesunguhnya beliau
sedang berusaha membahagiakanmu, mencoba membantumu keluar dari masalah yang
sedang kalian hadapi..? Ia ingin membuat karya itu untukmu…”
Hasilnya sudah ada koq, itu meja
panjang yang sedang kau gunakan untuk berjualan Gado-gado itu kan hasil
karyanya. Ia ingin selalu punya karya yang bisa membuatmu bahagia. Beliau ingin
membuatmu tertawa, dari sedih yang selama bertahun-tahun ini mendera. Ia sangat
mencintaimu. Ia sangat menyayangimu. Mama harus percaya denganku dan jangan
marah dengan tingkah-tingkahnya yang aneh. Beliau sesungguhnya sedang tidak
ingin membuat kekacauan atau berbuat aneh, beliau sedang membuat karya yang itu
bisa membuatmu bahagia, walau yang terjadi sebaliknya. Bersabarlah dengan
suamimu.
Mama, ada Apa, kulihat kini raut
wajahmu sangat berbeda. Ada sesuatu yang membuatmu menyesak dada. Walau engkau
terlihat berusaha tenang dan meyimpan semua masalahmu, tapi aku dapat merasakan
ada hal yang nampaknya ingin kau ceritakan. Tentu bukan hutang yang besar sebab
masalah itu sudah sama-sam aku ketahui. Tapi ini berbeda, Ada apa.? Aku
melihatmu berbeda. Kenapa.?
Ceritalah jika engkau ingin cerita, Bicaralah
jika itu bisa membuatmu bahagia? Engkau menangis, engkau titikkan air mata, Ayo
ceritalah..??
Sungkono…!Panggilmu jelas padaku. Iya.
Aku sudah siap mendengar keluhmu. Bicaralah.
Bertahun-tahun Mama dan Bapak membangun
rumah ini, Bertahun-tahun kami mendirikan rumah yang memang tidak megah, tapi
inilah rumah yang Bapak dan Ibumu bangun. Di tempat ini pula kalian dibesarkan.
Senang, sedih dan bahagia kita berkumpul bersama. Di tempat ini…>
Iya Ma, Sungkono tahu. Mama mau cerita
pegawai Bank yang akan menagih lagi? Bukan..!! Bukan Itu..?
“Soal pegawai Bank itu soal yang Mama
dan Bapak juga akan bisa terima. Seandainya pun Rumah dan tanah itu terpaksa
disita oleh pihak Bank, Mama pun sudah pasrah. Mama sudah ikhlaskan jika itu
harus terjadi. Selalu meminta bantuan anak-anak dan termasuk dirimu, itu juga
terlampau memberatkan kalian. Mama tidak tega melihat kalian. Apalagi engkau Sungkono
yang hingga kini belum juga menikah..?
“Mama mau menjodohkanku?” Aku menebak apa yang dipikirnya. Ia menghela
nafas panjang.
“Memintamu menikah saat seperti ini
juga akan membuatmu tertawa karena sepertti biasa kamu akan jawab menikah pake
Apa?. Hutang saja belum beres..? Itu kan yang akan kau katakana..!! Aku
tersenyum kecil. “Walau apapun akan mama lakukan, asal engkau Mau segera
menikah. Inayati, anak Pak Sugeng kembali kau tawarkan padaku kemaren.
“Benarkah itu yang sedang Mama
pikirkan?”
“Itu juga jadi pemikiran Mama. Tapi bukan itu yang mau
Mama sampaikan.
Bukan, Bukan Soal itu.
Lalu Apa.? Ceritakanlah?
Ini soal rumah dan tanah ini. Bukan
Bank yang mau menyita rumah ini atau Kamu yang belum juga menikah. Setahun
sudah Mama di Jakarta dan tinggal bersamamu. Dan membuka usaha untuk melunasi
hutang agar rumah ini tak disita. Dan nyatanya usaha itu pun belum ada
hasilnya. Ke Jakarta itu dilakukan untuk sesaat menghindar dari para penagih
hutang yang sering dating ke rumah meminta uang setoran. Tak sedikit dari
mereka yang berbicara kasar..
Kemaren para penagih itu juga dating,
mereka sudah tahu kalau mama ada di
kampong karenanya mereka dating dan meminta agar hutang itu diselesaikan. Dan
lagi-lagi Mama hanya bisa berjanji akan mengembalikan dan tekanan dan situasi itu
kembali datang. Karenanya Mama dan Bapakmu dating ke Jakarta. Semata untuk
menenangkan pikiran.
Mama dan Bapakmu telah setahun pergi
meninggalkan Rumah jelek ini. Rumah yang telah renta setua umur kami yang tak
akan lama..?
Mama Ngomong Apa? Jangan bicara yang
ngga-ngga.
Setahun sudah kami tinggal di rumahmu
meninggalkan apa yang sangat kami cintai tanah ini, rumah ini. Udara bersih
yang selalu kami hirup tanpa harus membayar. Tinggal di Jakarta ternyata tidak
semudah dan seindah yang ada dalam
banyangan…>>
Mama dan Bapak Maafkan Sungkono Ngga
bisa bahagian Mama saat di Jakarta. Sungkono malah sering merepotkan Mama dan
Bapak?
Sungkono…, bukan karena sikapmu ke kami?
Sebab selama di Jakarta, Aku karo bapkmu merasa sangat berterima kasih sebab
engkau telah sangat perhatian pada kami
sebab hanya engkau satu-satunya yang bisa dimintai pertolongan di saat kami terpuruk,
dan terjatuh dihina orang. Hanya engkau
yang belum menikah, yang lain telah sibuk dengan keluarganya masing-masing.
“Mama
merasa terusir di rumah sendiri, Mama dan bapakmu seperti diusir dari tanah
kelahiran ssendiri. Adimulyo adalah tempat kelahiran Mama dan Bapakmu. Artinya tanah
ini adalah asal kami. Hutang-hutang itu telah membuat kami pergi dari tanah
ini, bersembunyi sesaat, dari masalah berat. Ya setahun kami tinggal di
tempatmu, di Jakarta.”
“Sudahlah Ma…, jangan diingat-ingat
lagi masalah itu, semakin kita berpikir tentang masalah itu semakin berat dan
itu akan membuatmu sakit.”
Hari Ini Mama kelihatan lebih kurus.
Tidak seperti kemaren saat di Jakarta. Tentu karena sedang ngurus Cucu-cucumu
yang tidak sedikit. Walau lelah bersama Cucu tentu akan membuatmu bahagia sebab
tiada paling indah nikmatnya hari tua kecuali dapat berkumpul bersama
cucu-cucumu yang lucu itu.
“Mama dan Bapakmu hanya minta waktu
sesaat saja di sini, beristirahat di usia kami yang tinggal beberapa saat lagi.
Mama hanya ingin tenang di Usia Mama ini. Uban kami telah rata di sekujur
kepala. Jalan kami pun sudah tak bisa tegak.
Tiap hari kami berjualan sekedar untuk
kami bisa makan, memanfaatkan sisa uang pemberianmu yang akan cepat habis jika
tak dipakai untuk jualan. Sesungguhnya Mama sudah sangat lelah. Mama lelah
berjualan ini. Bapakmu tidak mau bantu, malah asyik dengan kerjaan apa itu yang
ngga jelas. Mama tahu itu dilakukan bapakmu karena ia sangat bingung dengan
beban ini.
Mama butuh istirahat. Siang Malam Mama
bekerja, semata agar kalian bisa sekolah dan jadi orang berhasil semua. Mama
tidak minta apa-apa, yang penting kalian semua sukses.
Mama tidak menyangka jika keadaannya
akan seperti ini. Hutang terlanjur menumpuk. Uang gajian Bapakmu telah habis
untuk menutup hutang. Kini kami makan seadanya, ya makan gado-gado dagangan
ini.
Cukup Mama. Jangan menangis. Sudahlah?
Percayalah kita akan segera keluar dari masalah ini. Aku pernah bilang sebelum
Engkau kembali ke Jawa tentang tempat ini akan dapat membuatmu teringat kembali
dengan beban-beban atau ramai para penagih yang tidak sedikit itu akan kembali
datang. Mengancam dan mengambil satu-satunya harta tersisa yang engkau miliki…>
Dan kini yang mau mengambil rumah ini
adalah adikmu sendri.? Apa maksud Mama..?
Iya Khodijah berniat menutup hutang-hutang
Mama dan Bapakmu yang sesaat terdengar seperti angin surga yang kuat bertiup
dan menyejukkan dada yang selama ini sesak lama. Tapi..>
Nama dalam sertifikat tanahnya harus
dialih nama bukan lagi atas Nama Mamamu ini tapi atas nama adikmu…?
“Khadijah punya rencana seperti itu?
Tanyaku ke Mama.
“Mama juga tidak menyangka, Koq tega
dia sama Mama.? Mama kurang apa, saat Khadijah kuliah, Mama tidak sedikit bantu
biaya. Dan Mama juga ngga pernah minta kembali.
Boleh sertifikat tanahnya dialih nama,
tapi Mama mohon nanti, kalau Mama dan Bapakmu sudah di kuburan, bolehlah
diganti nama sertifikatnya. Tapi nanti, Sungkono bilang sama Khadijah biarkan
Mama merasakan tanah Mama ini, Mama dan Bapakmu yang beli dan bangun rumah ini,
Kalian juga tinggal dan dibesarkan di sini. Sungkono ijinkan Mama tinggal di
rumah Mama sendiri ya?
Mama pengin mati di rumah sendiri.
Tolong bilang sama Khadijah, Mama ngga lama lagi di dunia ini. Bapakmu juga
mungkin tak lama. Setelah kami mati dan dikubur, sertifikat tanah itu boleh
diganti Nama atas Nama Adikmu, Tidak perlu menunggu tujuh haripun taka pa-apa
yang penting aku dapat mati diatas tanahku sendiri.
Cukup Mama. Jangan dilanjutkan. Aku tak
sanggup lagi mendengarnya. Deras air mataku mendengar ceritanya. Tidak di
Jakarta, tidak di kampong, nasib kalian tak jua memperlihatkan perubahan
positif. Seandainya aku bisa membantumu keluar dari kemelut hutang ini, akan
kulunasi hutang-hutang itu dan beristirahatlah di tanah dan rumahmu sendiri.
Aku sendiri sedang sulit. Satu juta yang kukirimkan untukmu itupun aku harus
pinjam.Anakmu yang lain sedang membangun masa depannya sendiri. Ia mungkin lupa
bahwa keberhasilannya saat ini, tak mungkin terwujud tanpa pengorbanan kalian.
Ia juga mungkin lupa bahwa
hutang-hutang yang Engkau tanggung adalah untuk membiayai sekolahnya dan juga
pernikahannya.
Mama, setelah ini aku mau bilang ke
Khadijah. Supaya ia sadar. Aku yakin ia masih Khadijah yang dulu. Setelah ini
aku juga mau bilang ke anakmu yang lain sebab aku yakin ia juga masih seperti
anak bungsumu yang dulu, yang akan menangis saat melihatmu terluka dan
menderita seperti ini.
Itulah yang membuat Mama sangat sedih. Awalnya
Kembali kesini, di kampong ini, kampong sendiri ini, kami berharap dapat tenang
karena hutang yang telah sebagian ditutup oleh Adikmu tapi justru yang terjadi
sebaliknya. Apa yang menimpa jauh lebih menyesakkan. Mama tidak tahu mengapa ia
punya pikiran itu. Sungguh ini sangat menyesakkan sebab ancaman hilang tanah
itu justru dating dari adikmu sendiri.”
Luluh lantak perasanku mendengar ceritanya. Hati
Mama hancur sehancur-hancurnya. Anak yang diharapkan dapat membantunya, anak
yang diharapkan akan membuatnya bahagia, anak yang selama ini dibiayai
kuliahnya, malah menikamnya. Ia ingini harta satu-satunya yang tersisa ini…>>>
Bagaimana mungkin seorang ibu yang
telah bersusah payah membangun rumah diatas tanah yang dia beli dengan
keringatnya sendiri harus kehilangan tanah miliknya. Bagaimana perasaanseorang
ibu saat ia harus tinggal “menumpang” sebab merubah nama dalam sertifikat tanah
itu sama artinya Mama tak punya apa-apa lagi. Mama tak punya hak lagi atas
tanah itu. Meskipun kenyatannya ia boleh tinggal disana. Tapi mama tak punya kebanggaan tanah ini. Ia tak
bisa dengan bangga mewariskan tanah ini pada anaknya. Bagaimana ia bisa hidup bebas dan tenang.?
“Mama dan Bapakmu tak mau mati
meninggalkan hutang dan beban. Kami ingin mati meninggalkan kerja keras, darah
dan air mata untuk kalian anak-anaku yang tetap akan kucinta meski dari kalian
akan marah dan membenci kami karena hutang yang banyak ini. Maafkan Mama ya..?”
Mama dan Bapak tidak perlu khawatir
sebab semua yang mama khawatirkan itu tidak akan terjadi. Aku anakmu yang
memastikan tanah ini tetap milikmu, walau sejengkal tak akan kuberikan pada
siapapun sebab aku ingin engkau tetap merasakan bahwa tanah ini adalah
milikmu.. Sertifikat Tanah ini akan tetap atas Namamu..>
Dan jika para “pengancam” tanahmu tetap
memaksa dan tak ada lagi daya kita, kembalilah ke Jakarta. Tinggalah bersamaku
sebab aku adalah hartamu yang tersisa. Walau di Jakarta ramai
dan bising, Kalian mungkin tak tahu betapa aku sangat sedih saat kalian
putuskan untuk kembali ke Jawa. Kalian tak tahu bahwa setahun bersamamu di
Jakarta aku sangat bahagia..
Sekarang jangan menangis lagi ya..! Tempat
tinggalku ini terbuka jika kalian mau kembali lagi ke Jakarta.
Adimulyo, 8 Pebruari 2015
[1]
Nama Pena, nama sebenarnya Arif Budiman,
Guru Sejarah MAN 21 Jakarta. Cilincing Jakarta Utara. Teroesir dengan Ejaan
lama adalah Inspirasi dari Karya Buya Hamka “Tenggelamnay Kapal Van Der Wick”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar