CINDERAMATA
YANG TERTINGGAL
Oleh:
Arif Budiman[1]
Melihat
photo fb guru bahasaku yang beberapa saat lalu telah menikah, fotonya
terpampang jelas di newsfeed fb-ku.
Photo saat berpose di depan arca Borobudur beberapa saat lalu saat bulan madu,
mengingatkanku pada sesuatu di bulan Juni tahun lalu. Taman Borobudur terdiam
tanpa kata, walau sesungguhnya ia telah berbicara dan menuturkan banyak cerita.
Megaproyek arsitektural yang nyaris tak terjangkau akal.
Sudah
sejak lama kulihat senyumnya. Sudah sejak lama aku memperhatikannya. Setidaknya
saat di Borobudur itu aku telah berusaha menyatakannnya dan menunjukkan
perasaan ini padanya tentang apa yang kurasa. Meski tidak dengan kata-kata.
Aku
tahu hari itu tentu sangat lelah. Rangkaian perjalanan panjang wisata
perpisahan bersama kelas XII sekolah kami sangat mengesankan. Itu yang selalu
ada dalam acara perpisahan sekolah kami. Aku sangat bangga dengan bapak dan ibu
guru juga ucapan terima kasih. Setidaknya karena acara itu, kisah kecil ini
tercipta. Terkisah untuk yang selalu di damba, walau kutahu ia akan sulit
memahaminya. Ia tentu tak membanyangkan akan adanya kisah itu di tengah
kelelahan perjalanan yang tak terlalu perlu dimaknai sebagai perjalanan
bernuansa cinta.
Cinta
adalah aliran universal yang mampu menembus semua ruang dan dimensi waktu atau
dimensi apapun yang berusaha menghalanginya. Demikian halnya kisah kecil ini
adalah hati yang terserak di belantara harapan yang luas lagi sulit
didefinisikan. Ijinkan aku terus menuliskannya….!!
Ia
berlari ceria bersama kawan-kawannya di tengah keramaian pengunjung tentang
saat menikmati eksotika Borobudur---The Unbelieveable Architecture. Naik
dan turun tangga di seputar archa-archa dalam posisi Dyani Budha. Atau ketika
sampai lantai teratasnya, bersama pengunjung lain berusaha meraih stupa sebab
dengan begitu akan didapati keterangan berharga dalam hidupnya tentang
laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Setidaknya barang siapa bisa
menyentuh bagian stupa itu, maka akan di dapatinya pasangan sempurna yang
didamba atau diimpikannya selama ini. Cita-cita normal yang dikejar setiap
insan yang dalam dirinya mengalir energi Cinta.
Sebagian
memilih berphoto dalam banyak pose sebab merasa diri paling cantik atau paling
ganteng, wajar dan normal sebab fitrah manusia juga tak bisa lepas dari liputan
dan harapan kesempurnaan. Kabaikan dan kesempurnaan sesunguhnya ada dan terus
dikejar tiap pribadi, karenanya tak semestinya ada kecil hati. Narsis adalah
sikap ekspresionis tentang sejauh apa kesempurnaan dalam dirinya tersaji.
(pastinya hasilnya tak mungkin akan beda dnegan kenyataannya, kecuali minta
bantuan adobe photoshop)
Sejak
pertama turun dari bis, ia masih bersama kawan-kawannya. Sesekali kulihat
tatapannya tertuju padaku. Sesaat kemudian berlari menggandeng temannya, tentu
ingin segera mengubur rasa penasaranya tentang Borobudur yang saat itu baru
dilihatnya. Aku sudah kali yang ketiga, dan dari ketiga kunjungan hampir tak
pernah menyusur setiap lorong dari Kamadatu hingga Stupa. Aku tipikal yang tak
terlalu suka menikmati sesuatu dengan detail. karennya aku memilih di luar
sajaa, menungguinya. Kukira tak mengurangi kekagumanku pada eksotika Borobudur
itu. Menyaksikannya dari luar sama artinya memahami lebih dekat. Menyaksikannya
dari luar kurasa sama seperti menyaksikan kebesaran Tuhan sebab keindahan
Borobudur adalah manifestasi lain dari keindahan-Nya. Tuhan menghadirkan banyak
keindahan dalam manifestasi yang berbeda-beda.
Lebih
dari itu semua, aku sedang lebih tertarik pada pajangan Cinderamata yang
kulihat beberapa kali sejak di pintu masuk hingga areal dalam. Cinderamata itu sangat
menggoda. Kuteringat pada kisah Ramayana sebab cinderamata yang kuperhatikan
itu adalah Patung Dewi Shinta, simbolitas wanita setia dalam pitutur Ramayana.
Kubeli dari seorang ibu yang menggelar dagangannya di pinggir Taman itu. Ukiran
yang indah. Harganya tidak seberapa tapi aku ingin memberikannya. Tak berapa
lama setelah sepakat dengan harga akupun telah memilikinya, cenderamata
untuknya.
"Ibu,,
saya titip dulu, nanti saya kembali...!!" Kutitipkan cenderamata itu pada
ibu sang penjual karena tak mungkin aku menentengnya. Aku ingin memeberikannya
sendiri, saat ia sendiri. Aku ingin memberikan benda itu untuknya. Rasanya
memang benar bahwa jiwa kita hanya punya satu tema, pikiran kita hanya satu
kegelisahan. Itulah yang sesungguhnya terjadi saat aku ingin bicara secara pribadi
dengan seseorang yang masih ada disana. Keringat bercucuran menahan rasa.
Sebagain
peserta tour masih ada disana. Masih ber-photo. Satu dua mulai terlihat turun
sebab waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 deadline yang diberikan sang ketua
tentang berakhirnya waktu kunjungan di Borobudur. Siang itu perjalanan
berlanjut menuju Jakarta.
Kini
ia ada di depan mata, terdiam tapi tetap dengan senyumnya yang menawan.
Cenderamata itu harus segera kusiapkan, aku harus segera mengambilnya di tempat
aku menitipkannya dan memberikannya. Ia bersama teman dekatnya, sahabat dekat
dan juga teman curhatnya.
Tak
berapa lama, beberapa yang lainpun kini telah menyatu dalam aliran panjang para
pengunjung menuju pintu keluar. Tiba-tiba seorang menepuk punggung dari belakang
memintaku menemaninya membeli oleh-oleh. Aku tak bisa menolaknya. Sementara ia
yang ada disana kian jauh. Aku ingin memberikan sesuatu sehingga ada sesuatu di
tangannya yang melenggang, aku ingin memberikan benda itu.
Sayang
sungguh disayang, aku terbawa dalam keramaian pasar seni Borobudur hingga waktu
cukup lama. Aku terbius dalam penawaran tanpa putus dalam alur-alur pasar
panjang berkelok yang sengaja dibuat berkelok agar semua pedagang terlewati
pengunjung. Dengan begitu semua diuntungkan. Aneka jenis makanan dan juga
cinderamata. Aku diminta kawanku untuk memberikan penilaian atas pakaian
yang hendak dibelinya. Rupanya banyak yang hendak ia beli, pastinya uang
dikantongnya sangat mencukupi. tidak sepertiku yang hanya sekedarnya.
Tanpa
sadar aku justru telah menjadi sangat dekat dengan terminal pemberangkatan.
Suara pak Jatmiko terdengar lantang lewat Pengeras Suara (toa) memanggil semua
peserta segera masuk ke dalam bis. Seketika sebagian tampak buru-buru
mempercepat langkahnya sebab bis tour sekolah kami di ujung lapangan parkir itu
siap diberangkatkan. Saat itu baru aku tersadar cinderamata yang kutitipakan
masih ada nun jauh disana. Aku tak bisa lagi meminta kepada panitia untuk
mengambil cenderamata itu….!! Dan aku urung mengungkapkan rasa ini padanya
sebab cenceramata itu tertinggal...!!
[1] Inspirasi dari muridku yang tak sanggup mengungkapkan isi
hati dan perasaannya. Ditulis oleh Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta.
Alamat Kp. Sarang Bango no 2 rt 06/06 Marunda Jakarta Utara. Aktif di CENTER, Komunitas Guru Untuk Karakter
Bangsa
2 komentar:
Wahhh bagus banget pak cerita nya terharu :(
Posting Komentar