STUDI
MASYARAKAT BADUI
Oleh:
Arif Budiman[1]
Tulisan
ini adalah sebuah catatan tentang perjalanan study bersama siswa-siswi Madrasah Aliyah Negeri 21 Jakarta saat
mengadakan kunjungan atau study di suku pedalaman Badui. Ada kekaguman yang tak
beranjak sirna dalam pikiran ini tentang betapa uniknya kehidupan mereka.
“Kehidupan yang sangat sederhana”. Itulah sebuah makna yang penulis
rasakan saat melihat kehidupan mereka
dengan tradisionalisme yang hingga hari ini masih bertahan dan tidak mereka
tinggalkan, justru sebaliknya mereka sangat menjaga tradisi itu dan sangat
membanggainya.
Di
tengah terpaan budaya barat yang membabi buta dan pongahnya budaya materialis yang menggerus
eksistensi budaya sendiri, masih kita dapati dengan gagah dan kokoh budaya
Badui di sudut sana. Di balik perbukitan yang menghijau, mereka bertahan dengan kehidupan dan
penghidupannya. Masih putih warna pakaian warga Badui Dalam (Dalem). Masih hitam pakaian warga Badui
Luar (Panamping). Mereka menjalani
keyakinanan dan keataatan pada system nilai secara turun temurun. Mereka adalah
keturunan kerajaan Pajajaran yang mengasingkan diri ke pedalaman karena
pengaruh Islam. Itulah barangkali jawaban tentang tipikal fisik atau wajah
orang Badui yang cantik dan juga tampan serta berkulit putih.
Di
daerah perbukitan yang dipenuhi dengan pepohonan yang menjuntai, jauh dari
hiruk pikuk modernitas yang memenjara jiwa serta menjauhkan manusia dari
kediriannya. Disana, di tempat itu yaitu desa Kanekes kecamatan Leuwidamar,
Kecamatan Lebak Banten mereka tinggal dengan aktifitas dan keinginan yang
sangat sederhana. Kita mungkin tak akan
kuat dengan pola kehidupan yang mereka jalankan sebab pola pikir kita dengan
materialisme yang kuat. Tak akan
bertahan kita tinggal disana dengan medan yang demikian sulit, karena hidup
kita telah dimanjakan dengan segala kemudahan dengan semua fasilitas yang
setiap saat tersaji untuk kita.
Suku
Badui adalah entitas ketahanan dan juga kesederhanaan yang hingga saat ini tak
tergoyahkan. Setidaknya nampak dari penampilan fisik yang hinggi hari ini tidak
mengalami perubahan. Perhatikan aktifitas harian mereka. Mereka masak
menggunakan alat-alat yang masih sangat sederhana (baca:tradisional), tidak ada aktifitas masak-memasak di dapur
menggunakan minyak tanah apalagi kompor gas sebab mereka masak menggunakan kayu
bakar dari kayu-kayu hutan yang melimpah. Mereka manjadi tidak menggunakan
sabun atau bahan diterjen lain, mereka mandi menggunakan bahan-bahan yang
tersedia di alam. Contoh mereka keramas menggunakan jerami atau tepatnya batang
padi yang dibakar. Untuk membersihkan
kulitnya dari kotoran mereka menggunakan batu. Dalam bangunan rumah, mereka
tidak menggunakan paku tapi hanya menggunakan tali yang terbuat dari bambu.
Para
pengunjung tidak diperbolehkan membawa kamera atau alat elektronik lain ke
dalam wilayah Suku Badui, (khususnya suku
Badui Dalam). Saat ditanya mengapa tidak diperbolehkan, jawabannya karena
ketentuan adat yang mengharuskannya. Meski demikian masih ada pengunjung Nakal
yang sengaja dengan sembunyi-sembunyi mendokumentasikan kegiatan orang-orang di
Suku Badui dalam tanpa sepengetahuan pemangku adat, sehingga karena hal ini
sampai dibawa ke ranah hokum atau pengadilan.
Sejumlah
fakta tentang adanya kesederhanaan itu terlihat dalam beberapa hal. Mereka
sangat kuat memegang keyakinan budaya
leluhurnya. Coba lihat bagaimana pola berpakaian mereka yang hingga hari
ini tidak berubah adalah bukti kesederhanaan budaya itu. Saat ini memang telah
terlihat pengaruh budaya luar dan bukan tidak ada sama sekali pengaruh dari
luar itu tapi sifatnya pengaruh berupa masuknya benda-benda atau bahan-bahan
kebutuhan sehari-hari. Di Badui dalam ada seorang penjual makanan kecil atau
warung yang menjual minuman ataupun minuman saset lain sebagaimana minuman yang
diperjual belikan diluar Badui.
Masyarakat
Badui memiliki lumbung-lumbung padi yang
tersebar di tiap sisi kampung. Di depan kampong Marengo terdapat sejumlah lumbung padi yang digunakan untuk
menyimpan persedian pangannya. Ada warga Badui yang menyimpan padinya hingga
berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Ini adalah sebuah fenomena sistem
ketahanan pangan yang kuat, yang menopang kehidupan Suku Badui. Di sisi depan
saat hendak memasuki kampong Cibeo yang merupakan salah satu kampung inti suku
Badui, disana kita saksikan adanya lumbung-lumbung yang tersebar dibeberapa
titik di sepanjang jalan mendekati kampong Cibeo.
Ada
sebuah ungkapan yang menggambarkan sikap orang Badui atau pemangku adat yang patut kita cermati untuk kemudian
perlu kita menghargainya. “Lojor teu
meunang dipotong, Pondok teu
meunang disambung. Kurang teu meunang ditambah. Leuwih teu meunang dikurang”.
Artinya Apa yang sudah panjang tak boleh dipotong, Apa yang pendek tidak boleh
disambung, Apa yang kurang tidak boleh ditambah sebaliknya apa yang lebih tidak
boleh dikurangi. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa apa yang sudah ada dan
menempel pada masyarakat Badui jangan ditambah-tambah ataupun dikurang-kurangi.
Disana terkandung sebuah pesan untuk membiarkan Suku Badui tumbuh atau
melangsungkan kehidupannya secara apa adanya. Inilah barangkali yang
menyebabkan masyarakat Badui mampu tetap kokoh dan bertahan hingga saat inni.
Berkunjung
ke Badui, seperti menemukan sebuah oase yang menyejukan Jiwa di tengah sahara
kegetiran dan keganasan budaya materialis. Selama ini kita jarang mendapatkan suasana kesederhanaan itu
sebab kota justru telah menyuguhkan gemerlap dunia yang jauh dari sederhana.
Melihat orang-orang Badui seperti disuguhi kesadaran baru bahwa betapa tak
semestinya manusia diperbudak keinginan-keinginan. Orang Badui tidak seperti orang
kota dengan banyak keinginan. Orang Badui memiliki keinginan yang sangat
sederhana. Jika orang Badui punya banyak keinginan, maka suasana malam tentu
akan terang dengan cahaya sebab sampai saat ini malam di Kampung Badui tanpa
cahaya. Jika malam datang mereka lebih suka menutup pintu untuk istirahat.
Kalaupun terjaga hanya obrolan kecil tentang aktifitas rutin mereka di ladang.
Keinginan mereka sangat sederhana, maka begitu malam tiba, mereka tidak
beraktifitas lain. Mereka tidak dibuai keinginan macam-macam sebagaimana
macam-macamnya keinginan kkita yang terbukti membuat resah.
Kota
Jakarta pusara keinginan yang berbeda-beda, juga tempat pergulatan yang tak
berkesudahan antara beragam keinginan, nafsu dan konflik. Kota Jakarta nyaris
tak pernah sepi, saat malampun dipenuhi dengan banyak kegiatan. Detak keinginan
orang Jakarta tak pernah berhenti sebab keinginan-keinginan manusia modern
tidak sederhana. Kehidupan Jakarta tak pernah diam sebab tiap hari sibuk dengan
kegiatan untuk mewujudkan keinginan. Belum terwujud keinginan sebelumnya, malah
telah memproduksi atau menciptakan keinginan baru yang menuntut pemenuhan.
Wajar jika di kota atau pun Jakarta banyak ditemui orang yang mengalami “stress” hingga hingga “stroke”.
Seandainya
keinginan kita sesederhana keinginan-keinginan orang Badui itu, minimal kita
mengurangi keinginannya tentu tidak ada kekeringan dan kegetiran-kegetiran
dalam jiwanya. Senyatanya Jakarta telah memaksa manusia menjadi budak
keinginan-keinginan yang makin hari makin tinggi, makin mahal dan makin
memenjara jiwa kita yang semestinya bisa bebas mengembara. Tempat yang jauh
dari hiruk pikuk modernitas secara fisik menjadikan pandangan dan ruang gerak
mereka sederhana.
Masyarakat
Badui bisa bertahan dalam kesederhanaan itu tidak ada yang mereka lihat lakukan
diluar apa yang ada dalam diri mereka yaitu kesederhanaan itu. Coba bayangkan
jika mereka dipenuhi atau disuguhi dengan keinginan yang macam-macam
sebagaimana keinginan-keinginan kita, maka mereka akan sama dengan kita. Ada sesuatu
yang menjadikan mereka bertahan. Inilah kekuatan atau power Badui. Mereka sadar
bahwa keinginan itu cukup apa yang ada, apa yang bisa mereka jangkau, misalnya
apa yang mereka makan ya apa yang tersedia di alam. Tidak perlu mengada-ada
sesuatu yang sulit dijangkau. Mereka telah mencukupkan keinginannya dengan
sesuatu apa adanya. Mereka tidak butuh TV atau Film-film dengan gambar-gambar
yang justru telah mengasingkan manusia yang mengaku modern itu jauh dari
kediriannya. Mereka orang badui juga tak perlu facebook, sebab facebook
yang dibanggai itu telah menyisakan sejumlah petaka. Contoh adanya kejahatan
lewat dunia maya seperti penculikan dan kerugian lain.
Pelajaran penting dari Badui adalah bagaimana
kita bisa mengelola keinginan kita. Bilamana perlu “membunuh keinginan” tapi membunuh yang dimaksud adalah keinginan yang
berlebihan dalam diri kita seperti keinginan makan berlebih, keinginan pada
glamoritas dan semua keinginan-keinginan
yang duniawi dan berlebihan itu, setelah itu tentu kita bisa merasa
lebih bahagia.
Walau
aturan adat sangat ketat, realitasnya kesederhanaan adalah hasil akhir yang
memperlihatkan betapa budaya mereka tak tergoyahkan. Suku badui menyegarkan
pikiran kita tentang pelajaran sederhana meski tidak harus sesederhana
kehidupan mereka. Wallahu
A’lam Bis shawab
.
[1]
Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21
Jakarta. Aktifis CENTER (Komunitas Guru
Untuk Pembentukan Karakter Bangsa). Alamat Jl Sarang bango No 2 Marunda
Cilincing. E-mail:tirta_pawitra@yahoo.co.id. telp 02141872917
Tidak ada komentar:
Posting Komentar